Ulasan Buku Manusia dan Gunung: Transisi Cara Pandang Manusia Terhadap Gunung

Saya pernah mendaki Gunung Lawe bersama teman-teman pencak silat SMA dengan tujuan melatih fisik, mental, dan spiritual. Gunung Lawe terletak di Banjarnegara. Tidak terlalu jauh dengan rumah saya. Gunung ini tidak terlalu tinggi sehingga relatif mudah untuk pemula.

Di titik awal pendakian, saya berdiri sambil menengadahkan kepala menatap puncak Lawe yang menjulang. Saya menggigil. Saya merasa kecil dan bukan apa-apa di bawah kemegahan Lawe. Namun, di sisi lain saya bersemangat untuk sampai di puncaknya. Ini pengalaman pertama saya.

Udara beraroma segar dan dingin melingkupi saya. Pepohonan tumbuh lurus tidak membentuk kanopi. Namun, tetap saja sangat rapat.

Di awal rute pendakian, ada aktivitas masyarakat memanen getah pinus. Semakin jauh ke dalam, aktivitas masyarakat semakin jarang ditemui dan akhirnya tinggalah kesunyian hutan yang menenangkan namun sekaligus mencemaskan.

Kalau Anda beruntung, dari puncak Lawe Anda dapat melihat taburan bintang di malam hari dan pesona matahari terbit yang membara saat fajar. Lanskap Kabupaten Banjarnegara juga akan sangat mempesona dilihat dari puncak Lawe di malam hari. Pengalaman ini sangat mengesankan dan membuat saya ingin mendaki puncak gunung lain.

Pada bulan Maret lalu, saat sedang “jalan-jalan” di toko buku daring, saya bertemu buku Manusia dan Gunung dan lantas teringat pengalaman mendaki gunung. Ingatan itu membuat saya tertarik untuk membeli buku tersebut. Penulisnya, Pepep DW, adalah peneliti yang secara konsisten bergerak di bidang konservasi, terutama konservasi kawasan dan kearifan lokal.

Secara umum buku ini adalah ajakan kepada semua elemen masyarakat untuk sadar akan pentingnya menjaga kawasan gunung dan hutannya.

Pepep menjabarkan cara pandang manusia (khususnya manusia Indonesia) terhadap gunung dan dampaknya terhadap gunung itu sendiri dan kehidupan manusia di sekitarnya. Dia memulai bukunya dengan paparan catatan lawas para pendaki gunung dari masa pra-kolonial, kolonial, hingga sekarang. Catatan-catatan itu menjadi saksi transisi cara pandang manusia terhadap gunung.

Pada masa pra-kolonial, ada catatan pendakian gunung dari seorang tokoh bernama Bujangga Manik yang berhasil mendaki berbagai gunung di pulau Jawa. Dia meninggalkan catatan pendakiannya dalam bentuk sajak-sajak pendek yang terkumpul dalam buku Tiga Pesona Sunda Kuna. Dari catatan ini, dapat dilihat sekilas pandangan manusia pra-kolonial terhadap gunung.

Pada masa ini, manusia Indonesia memandang gunung sejajar dengan makhluk lain termasuk manusia. Bahkan lebih sering gunung dipandang lebih unggul dari manusia. Gunung sendiri berarti “guru anu luhung lan agung” yang artinya guru yang luhur dan agung. Pandangan ini mempengaruhi sikap manusia terhadap gunung. Orang-orang mendaki gunung untuk memperoleh pencerahan, ketenangan batin, jati diri, dan bahkan untuk moksa. Istilah “mendaki gunung” bahkan tidak dikenal di masa ini. Istilah yang lebih dikenal adalah “ziarah gunung”.

Menurut Pepep pandangan bahwa gunung adalah makhluk yang justru sering lebih unggul dari manusia berasal dari ajaran Islam. Banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan hal ini. Salah satunya QS. Al Ahzab ayat 72, yang artinya “Sesungguhnya kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, maka semua enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh.”

Walisongo menggunakan gunungan dalam pembabakan pentas wayang. Kita tahu bahwa wayang adalah media yang digunakan mereka untuk menyebarkan Islam. Gunungan itu sendiri menyimbolkan awal mula kisah manusia di bumi dan gunungan pula yang menyimbolkan akhir kisah manusia di bumi. Sebagaimana dalam Al-Qur’an disebutkan “Dan apabila gunung-gunung telah dihancurkan menjadi debu...”

Pada masa pra-kolonial gunung dan wilayah hutan di sekitarnya sangat dihormati. Ada wilayah-wilayah yang disakralkan dengan disebut sebagai hutan larangan. Hutan larangan ini adalah sebuah privasi gunung yang tak boleh dilanggar manusia. Pada masa-masa ini, gunung dipandang sebagai subjek yang juga berperan aktif dalam kehidupan manusia. Namun, pandangan tersebut terkikis pada masa kolonial karena pengaruh pendaki dari Eropa.

Pendaki dari Eropa lebih memandang gunung sebagai objek yang harus mereka taklukkan dan kalau bisa dieksploitasi. Catatan yang ditelaah oleh Pepep berasal dari beberapa pendaki Eropa, di antaranya Wormser (1809-1864) dan Stamford Raffles (1781-1826). Pada masa ini dimensi pendakian gunung yang mulanya bersifat sakral berangsur bergeser menjadi bersifat profan.

Dengan alat-alat yang canggih pada masa itu, gunung-gunung dapat ditaklukkan dengan mudah. Orang tidak mudah tersesat dalam hutan di kaki gunung dengan bantuan kompas. Puncak-puncak gunung jadi lebih sering dikunjungi. Hutan di kaki gunung dibuka untuk lahan perkebunan. Meski demikian, tidak serta merta semua gunung dan hutannya kehilangan kesakralan.

Pandangan pendaki Eropa mempengaruhi masyarakat sekitar gunung dan sebaliknya pandangan masyarakat sekitar gunung juga mempengaruhi pandangan pendaki Eropa. Namun, kepentingan penguasa kolonial untuk mengeksploitasi alam Indonesia pada akhirnya yang paling berpengaruh terhadap masyarakat serta gunung dan wilayahnya.

Setelah mengulas pandangan masyarakat Indonesia pada masa pra-kolonial dan masa kolonial, Pepep mengajak kita, terutama pihak yang terkait langsung dengan kelestarian lingkungan untuk berkaca. Bagaimana pandangan kita terkait gunung di era sekarang? Apakah kita mengeksploitasi atau berusaha menghormati gunung? Nampaknya, kita lebih condong pada yang pertama.

Sebagai tambahan, Pepep juga membeberkan banyak aktivitas para pecinta alam yang justru merusak alam, alih-alih mewujudkan cinta mereka lewat tindakan yang menguntungkan alam. Di sini, saya tidak perlu memaparkan kerusakan alam yang diakibatkan oleh manusia. Anda dapat menemukannya dengan mudah di internet.

Kalau yang mengaku pecinta alam saja bisa merusak, meski mungkin tidak bermaksud begitu, bagaimana dengan manusia yang memang berkepentingan untuk mengeksploitasi alam?

Membaca buku ini membuat saya merenungkan kembali keinginan saya untuk mendaki gunung; apakah saya pantas mendaki gunung hanya karena saya ingin minikmati alamnya atau yang lebih menggelikan, untuk sekadar berfoto.

Info Buku:

Judul Buku: Manusia dan Gunung; Teologi-Bandung-Ekologi; Penulis: Pepep DW; Penerbit: Djeladjah Pustaka, Agustus 2018 (terbit pertama kali April 2018); Tebal: 207 halaman; ISBN: 978-602-51633-0-0

Baca ulasan lain:

Menjadi Manusia di Abad 21

Ulasan Buku The Danish Way Of Parenting: Cara MembesarkanAnak yang Tangguh dan Bahagia Seperti Orang Denmark

Ulasan Buku SebuahSeni Untuk Bersikap Bodo Amat; Meninjau Ulang Nilai yang Kita Hidupi

Ulasan Buku Filosofi Teras: Hidup Kalem Bersama FilosofiTeras

Review Buku Gentle Discipline; Sebuah Upaya MendisiplinkanAnak dengan Lembut

Review Buku Perfume: The Story Of A Murderer; Sebuah UsahaMenegaskan Eksistensi

Ulasan Buku BH Karya Emha Ainun Nadjib: Narasi Orang-OrangTerpinggirkan

Review Buku Learning How To Learn: Mempelajari Keterampilanyang Sangat Penting di Abad 21

Review Buku A Brief Histori Of Time; Pertanyaan-PertanyaanBesar Umat Manusia dan Upaya Menjawabnya






Komentar

Postingan Populer