![]() |
"Kalau dipikir-pikir, ada persamaan antara wartawan dengan guru. Sama-sama mendidik. Wartawan mendidik masyarakat melalui tulisan-tulisannya. Sementara guru mendidik siswa melalui pembelajarannya." |
Buat apa seorang guru membaca buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo”? Guru tak bertugas menulis berita. Jadi, buat apa?
Saya lupa kapan membeli buku tipis ini. Saya menemukannya setelah sekian lama berada di tumpukan buku-buku yang tak terbaca dan tak terurus.
Saya mengumpulkan semua buku yang ada kaitannya dengan bahasa Indonesia. Hasilnya banyak didominasi buku-buku kuliah. Ada kamus bahasa Indonesia yang sudah robek, esai-esai bahasa, dan buku ini.
Di antara buku-buku yang saya kumpulkan, saya memilih membaca buku ini. Mungkin karena buku ini lebih tipis dari buku-buku lain. Isinya hanya 96 halaman.
Buku ini sebenarnya dicetak sebagai bahan pendidikan bagi para wartawan yang bekerja di majalah Tempo, terutama dalam menulis dan menyusun berita bentuk feature. Demi manfaat yang lebih luas buku ini disebarluaskan.
Buku ini mengkhususkan pembahasan mengenai feature, yaitu jenis tulisan jurnalistik yang tak mudah basi. Informasi atau suatu peristiwa disampaikan ke pembaca dalam bentuk cerita. Namun, tentu saja berbeda dengan cerita fiksi. Dalam penulisan feature, imajinasi penulis maupun opini pribadinya tak boleh dicampur aduk dengan fakta.
Buku mungil ini tak hanya berisi hal-hal teknis dalam penulisan feature. Di dalamnya ada juga kiat-kiat menembus dan mewawancarai narasumber. Inilah salah satu yang membuat saya tertarik.
Saya penasaran bagaimana para wartawan melakukan wawancara dan apakah semua orang akan selalu menjawab pertanyaan yang mereka ajukan.
Kembali lagi ke pertanyaan apa pentingnya buat seorang guru seperti saya?
Saya mencoba menarik manfaat dari buku ini. Ada pembahasan mengenai lead misalnya. Lead adalah awalan suatu tulisan. Biasanya lead dalam berita adalah informasi terpenting yang akan disampaikan penulis. Lead berfungsi menarik minat pembaca untuk terus mengikuti tulisan yang telah dibuat oleh wartawan. Ada banyak sekali jenis lead dalam membuat feature.
Para wartawan berusaha dengan sungguh-sungguh menarik perhatian pembaca. Dari pembahasan mengenai lead ini saya mencoba menghubungkannya dengan profesi seorang guru. Jika para wartawan berusaha sebisa mungkin menarik minat pembacanya, maka saya sebagai seorang guru juga punya tugas menarik perhatian siswa.
Ada beberapa yang saya pelajari dari pembahasan lead ini. Lewat lead menggoda, misalnya. Dengan lead jenis ini, penulis berusaha memancing rasa ingin tahu pembaca. Para wartawan menggunakan lead untuk memancing rasa ingin tahu pembaca dengan berbagai cara, misalnya dengan menampilkan hal-hal unik, peristiwa langka, atau misteri.
Contoh: Angka yang ditunggu-tunggu itu keluar juga: sekitar 50.
Ada apa dengan angka 50 itu? Dari pembahasan lead ini seorang guru bisa belajar bagaimana menarik rasa ingin tahu siswanya.
Ada lead ringkasan. Dalam lead ini penulis menaruh peristiwa paling penting dan paling menarik di bagian awal. Ini umum di jurnalistik. Peristiwa atau informasi paling penting ditulis di bagian paling awal. Prinsip ini sering disebut piramida terbalik. Seorang guru juga bukankah harus demikian? Menempatkan materi paling penting dan paling menarik di awal pembelajaran dapat menarik minat siswa. Selain itu, hal ini bisa relatif mengatasi keterbatasan waktu yang dimiliki guru dalam melaksanakan pembelajaran.
Ada pula lead bertanya. Seorang wartawan mengawali tulisanya dengan bertanya kepada pembaca. Guru juga seharusnya memiliki kemampuan bertanya yang mumpuni agar mampu menarik perhatian siswanya. Dan yang lebih penting, kemampuan bertanya guru dapat membantu siswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya.
Kalau dipikir-pikir, ada persamaan antara wartawan dengan guru. Sama-sama mendidik. Wartawan mendidik masyarakat melalui tulisan-tulisannya. Sementara guru mendidik siswa melalui pembelajarannya.
Dari buku ini saya juga mengetahui sedikit trik seorang wartawan dalam mengorek informasi dari narasumbernya.
Ada seorang nenek yang tidak mau apa yang dia lakukan ditulis menjadi sebuah berita. Padahal apa yang dilakukannya adalah sebuah kebaikan. Nenek tersebut tak mau orang-orang tahu dan mengira ia hanya mencari muka.
Dengan memanfaatkan nilai-nilai yang dipegang teguh nenek tersebut, wartawan berhasil membujuknya dan akhirnya menuliskan kisahnya menjadi sebuah feature.
Awalnya saya membaca buku ini untuk sekadar mengasah lagi kemampuan menulis yang telah lama saya abaikan. Namun, saya malah menjadikannya sebagai bahan refleksi seorang guru.
Sebagai seorang guru, saya harus mampu mengorek informasi-informasi penting dari para siswa untuk dapat memahami mereka. Dengan pemahaman yang lebih baik, mungkin saya bisa menjadi guru yang lebih baik pula.
Buku ini cukup membantu. Mungkin!
Informasi Buku:
Judul Buku : Seandainya Saya Wartawan Tempo | Penulis : Goenawan Muhammad | Editor : Bambang Bujono & Toriq Hadad | Tahun Penerbitan : 1997 | Penerbit : Institut Studi Arus Informasi dan Yayasan Alumni Tempo |
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!