![]() |
Bukankah setelah Adam diusir dari surga, setan selalu dituduh sebagai biang kerok atas semua kesalahan manusia? Perkara membuang bayi, pastilah gagasan setan. - Bayi Itu Masih di Sana - |
Malam dimulai ketika puluhan anjing melolong dan ratusan tikus sebesar kucing bercericit dalam gorong-gorong. Bulan bulat sempurna. Air sungai hitam berkilauan memantulkan cahaya bulan. Baunya yang sengak dan bacin mengambang di udara.
Bayi itu masih di sana, di tumpukan sampah di dekat sungai. Siapa mengira pengalaman pertamanya melihat dunia dimulai di atas tumpukan sampah? Tentu tak ada yang mengira. Bahkan wanita yang telah membuangnya mungkin tak mengira bakal membuang anaknya ke sana. Bukankah semua wanita ingin anaknya bahagia?
Siapa percaya seorang wanita hamil punya gagasan membuang bayinya setelah lahir? Gagasan itu pasti bukan dari dirinya, melainkan dari setan. Bukankah setelah Adam diusir dari surga, setan selalu dituduh sebagai biang kerok atas semua kesalahan manusia? Perkara membuang bayi, pastilah gagasan setan.
Sudah hampir pagi. Bayi itu masih di sana, di tumpukan sampah di dekat sungai. Bayi itu menangis terlalu lama sampai suaranya serak. Ia minta tolong. Tapi, orang-orang masih tidur. Di dekat bayi itu, tergeletak sekotak susu bayi terbungkus plastik hitam. Plastik itulah, barangkali plastik termahal di antara jutaan plastik lain yang terserak di sana. Plastik-plastik lain hanya berisi sisa-sisa makanan yang sudah basi.
Orang-orang yang akan menemukan bayi itu pasti orang-orang miskin: para pemulung sampah. Mereka tak mampu beli susu, barangkali begitu pikir si ibu. Itulah satu dari dua kebaikan ibunya. Kebaikannya yang lain selain satu kotak susu itu adalah rahimnya, tempat ternyaman buat si bayi sebelum melihat dunia yang busuk.
Seandainya bayi itu selamat dan tumbuh dewasa, lantas secara tidak sengaja ia bertemu dengan ibunya, apakah ia harus berterima kasih kepada ibunya atas dua kebaikan itu?
Bayi itu harus menunggu sampai pagi menjelang siang. Orang-orang yang bekerja di sana—para pemulung, sopir truk sampah, dan kernetnya—baru bangun sekitar pukul delapan. Biasanya mereka minum kopi dulu sambil makan beberapa potong pisang goreng dan menonton berita pagi atau sekadar duduk-duduk di depan rumah mereka yang terbuat dari papan-papan bekas yang mereka temukan saat memulung. Mereka juga suka mendengarkan siaran radio yang digeber keras-keras, menggetarkan udara pagi. Tak seorangpun tertarik mengunjungi padang sampah pagi-pagi sekali. Kecuali hari Minggu. Dua anak kecil akan pergi ke sana pagi-pagi sekali. Mereka menunggu truk sampah datang untuk memuntahkan isinya. Mungkin mereka beruntung bisa menemukan tas bekas, sepatu bekas, buku-buku, atau makanan yang masih “bisa” dimakan, atau menemukan bayi itu sebelum orang lain menemukannya.
Sayang sekali, bayi itu dibuang malam Kamis. Jadi, tak akan ada cerita dua anak kecil menemukan sesosok bayi yang masih basah, merah, dengan ari-ari dan sekotak susu di tumpukan sampah.
Bayi itu masih di sana, di atas serakan sampah. Ribuan lalat terbang berputar-putar mendengungkan sayap-sayap mereka yang hijau. Mereka hinggapi cangkang-cangkang telur, sisa-sisa nasi yang telah basi, bekas pembalut, dan apapun yang berbau busuk. Kita boleh yakin, tidak lama lagi ribuan lalat itu akan menghinggapi tubuh si bayi yang masih licin. Si bayi akan menangis sambil menjejak-jejakkan kakinya dan meninju-ninju udara dengan tangan mungilnya. Berusaha mengusir lalat-lalat itu.
Di kejauhan, seekor anjing menyalak beberapa kali, lalu melolong panjang. Mungkin memanggil teman-temannya. Anjing itu tentu akan segera pergi ke padang sampah mencari apa saja yang bisa dimakan. Tak kecuali bayi itu. Kita tak bisa berharap anjing-anjing itu mau mengasuh si bayi. Kalau anjing-anjing itu menemukan si bayi, pastilah mereka berpesta.
Anjing itu semakin dekat ke padang sampah. Sesekali berhenti kalau menemukan makanan. Sesekali melolong. Lolongannya selalu dibalas anjing lain di kejauhan yang sama-sama mencari makan. Anjing-anjing jalanan selalu lapar.
Beberapa ekor tikus keluar dari gorong-gorong. Tikus-tikus di sini hampir sebesar kucing. Bulu-bulunya hitam dan basah, dan ekornya berwarna merah tidak berbulu. Menjijikan. Makhluk pengerat ini bisa menghancurkan apa saja dengan gigi-giginya. Mereka bisa menghancurkan kayu, pralon, kabel, apalagi seonggok bayi. Pasti sangat mudah bagi tikus-tikus ini mengoyak si bayi.
Bayi itu menggeliat, tapi tidak menangis. Ia tak tahu ada bahaya mengancamnya. Ada anjing-anjing dan tikus dan ribuan lalat dan kadal dan kucing liar dan burung bangkai yang datang dari langit. Semuanya bisa saja mengoyak si bayi. Hanya Tuhan bisa menjaga si bayi.
Waktu terus melepas detik-detik yang dimilikinya ke semesta, mengikis kegelapan, membawa cahaya dari timur. Langit mulai merekah. Daun-daun masih basah. Si bayi masih di sana, di tumpukan sampah. Angin bertiup lembut membawa debu-debu halus yang segera menempel pada kulit si bayi yang masih basah. Si bayi hanya bergerak-gerak lemah. Anjing-anjing semakin mendekat mencium aroma darah.
Para pemulung bersiap-siap sambil tetap mendengar siaran radio yang digeber keras-keras. Tak banyak yang harus disiapkan seorang pemulung. Mereka hanya perlu karung besar dan satu pengail dari setangkai besi. Mereka tak menyiapkan keranjang bayi meskipun kerap menemukan bayi di tumpukan sampah.
Kalau anjing-anjing sampai di padang sampah sebelum para pemulung datang, kita dapat bayangkan apa bakal terjadi pada si bayi. Anjing-anjing itu akan mengoyak lengan mungil si bayi. Satu anjing menariknya ke kanan, yang lain menariknya ke kiri. Anjing-anjing tak butuh waktu lama untuk memisahkan lengan mungil si bayi dari tubuhnya lantas menyantapnya di lain tempat. Tubuh si bayi akan dilumuri darah sekali lagi, namun ia tak akan menangis lagi. Anjing-anjing lain akan datang menancapkan taringnya ke tubuh si bayi dan menariknya seperti perlombaan tarik tambang. Mereka tak akan kesulitan mengoyak perut si bayi dan mengeluarkan isinya. Tikus-tikus akan datang untuk menggondol jeroan yang berceceran sebagai makanan bayi-bayi mereka.
***
Ribuan lalat berwarna hijau masih terus mendengungkan sayapnya. Tikus-tikus bercericit di gorong-gorong. Anjing-anjing sesekali menyalak, sambil terus berjalan menuju padang sampah. Para pemulung asik berdebat tentang siapa yang akan jadi presiden sambil berjalan ke padang sampah. Sopir truk sampah dan kernetnya mengendarai mobilnya dengan santai menuju ke padang sampah sambil merokok. Bayi itu masih di sana, di atas tumpukan sampah. Ia menunggu siapa yang lebih dulu sampai; anjing-anjing, tikus-tikus, atau para pemulung, atau sopir truk sampah dan kernetnya. Dan, kita tahu, anjing-anjing lapar selalu lebih cepat dari manusia. Mereka sudah sampai di padang sampah, di ujung bagian timur serakan sampah, sementara si bayi di ujung bagian barat serakan sampah. Anjing-anjing itu datang dari arah sungai.
Mereka mengendusi hampir semua benda di padang sampah. Seekor anjing betina menemukan potongan tulang ayam. Ia menyantapnya dengan rakus sampai terdengar bunyi gemeretak tulang yang hancur. Seekor anjing lain mendekati si betina, tapi tulang itu sudah lenyap.
Anjing-anjing itu terus mengendus. Mencari apa saja yang dapat mereka makan. Mereka tidak punya waktu lama di sana. Kalau para pemulung sudah sampai di padang sampah, tak ada lagi tempat untuk anjing-anjing. Anjing-anjing memusuhi para pemulung, terutama yang berambut gondrong. Si gondrong tidak akan segan-segan menembak mati satu atau dua ekor anjing untuk dijual di pasar gelap sebagai campuran daging sapi. Hasilnya lumayan, bisa digunakan untuk beli beras beberapa kilo.
Seekor anjing berekor hitam sampai di tempat si bayi. Si ekor hitam itu tentu tidak menyangka akan menemukan bayi manusia. Bayi yang masih merah, basah, dan licin itu, bergerak-gerak lemah. Tenaganya sudah habis untuk menangis semalaman. Si ekor hitam itu mengendus-endus, mengitarinya beberapa kali, lalu menyalak ringan. Tidak lama, anjing-anjing lain datang.
Dua orang pemulung masih serius berdebat tentang siapa yang bakal jadi presiden sambil berjalan malas ke padang sampah. Sudah beberapa kali presiden mereka berganti, tapi mereka tetap berdebat di sana juga, di jalan menuju padang sampah. Tidak ada yang berubah. Negara hanya sibuk mengganti presiden-presiden, wakil-wakil, mentri-mentri, gubernur, bupati, lurah, sampai pak RT. Tapi tidak masalah, toh setiap kali menjelang pemilu, mereka suka bagi-bagi duit. Dan, itu yang paling ditunggu-tunggu si gondrong dan temannya, Pardi.
Ketika mereka hampir sampai di padang sampah, kira-kira seratus meter dari sana, si gondrong berhenti untuk menjajal bedilnya. Ia mengokang bedil itu dengan semangat seorang pejuang yang akan berangkat perang. Suara bedil itu menyalak cukup keras, menggetarkan udara, membuat anjing-anjing diam beberapa saat, mendongak waspada.
“Wah, lumayan juga,” kata Pardi.
Si gondrong cukup puas dengan bedilnya sehingga ia tidak menjajalnya lagi. Anjing-anjing menurunkan kewaspadaannya karena tak mendengar lagi letusan bedil milik si gondrong.
“Nanti kita turun dulu,” kata si gondrong sambil menyelempangkan bedilnya, “pagi-pagi begini biasanya banyak tupai dekat sungai. Kalau kena lumayan. Anakku suka daging tupai.”
Mereka kembali berjalan menuju padang sampah. Mereka berjalan sambil membicarakan manfaat daging tupai buat kesehatan. Mereka terus berjalan, hingga pada jarak lima puluh meter dari padang sampah, si gondrong berhenti demi melihat beberapa ekor anjing sedang makan pagi. Ia lantas bersembunyi di dekat semak sambil mengokang bedilnya. Pardi ikut sembunyi, meski belum tahu benar ia bersembunyi untuk apa.
“Ada apa?”“
"Ada anjing,” kata si gondrong. “Diamlah! Akan aku tembak.”
Pardi diam. Ia mengamati bagaimana si gondrong menyipitkan satu matanya, mendekatkan matanya ke laras bedilnya. Si gondrong nampak ragu. Beberapa kali ia mengalihkan pucuk bedilnya berganti-ganti dari anjing berwarna coklat ke anjing yang berwarna hitam.
“Yang coklat saja. Lebih besar,” kata pardi.
Pucuk bedil si gondrong kembai mengarah pada si anjing yang berwarna cokelat. Biasanya, si gondrong akan membidik kepala. Tapat bagian mata. Bagian ini akan langsung membunuh si anjing. Saat telunjuk si gondrong hendak menarik pelatuk bedilnya, ia tersentak. Ia melihat bayi itu. Bayi itu sudah tidak bergerak. Tangan kanannya sudah putus.
“Astaga!”
“Kenapa?” tanya Pardi. Dia masih belum melihat bayi itu.
“Ada bayi. Kamu tidak lihat?”
“Mana?”
“Tuh,” kata pardi sambil menunjuk bayi itu dengan pucuk senapannya.
“Mana?”
“Itu, dekat plastik hitam.”
Si gondrong kembali membidik kepala si anjing, dan setelah yakin dengan bidikannya, ia menarik pelatuk bedilnya. Suara letusan bedilnya keras menggetarkan udara. Seekor anjing yang dibidik si gondrong roboh menimpa si bayi. Anjing-anjing lain terlonjak kaget lalu berlari kencang dikejar letusan bedil si gondrong.
“Ayo, cepat!”
Si gondrong berlari sambil menyelempangkan bedilnya, diikuti Pardi dibelakangnya. Sampai di sana, di tempat anjing bidikannya itu roboh, si gondrong mendorong tubuh anjing itu dengan bedilnya sehingga ia bisa melihat seonggok bayi merah penuh darah.
“Wah, sudah mati.”
“Terus mau diapakan?”
“Lapor polisi.”
“Jangan, ah, berurusan sama polisi terlalu repot.”
“Terus bagaimana?”
“Kita jual saja, potong kecil-kecil, campurkan dengan daging anjing ini. Tidak akan ada yang tahu.”
Si gondrong bimbang. Dia memang sering membunuh, tapi mana mungkin dia tega memotong tubuh bayi menjadi potongan-potongan kecil. Tapi gagasan Pardi terdengar cukup masuk akal.
Sejenak, si gondrong mempertimbangkan gagasan Pardi. Tiba-tiba ia merasa muak dan jijik kepada dirinya sendiri.
Semarang, 27 November 2018
-----------------------
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!