Langsung ke konten utama

Bayi Itu Masih di Sana

Bukankah setelah Adam diusir dari surga, setan selalu dituduh sebagai biang kerok atas semua kesalahan manusia? Perkara membuang bayi, pastilah gagasan setan.
-
Bayi Itu Masih di Sana -

Malam dimulai ketika puluhan anjing melolong dan ratusan tikus sebesar kucing bercericit dalam gorong-gorong. Bulan bulat sempurna. Air sungai hitam berkilauan memantulkan cahaya bulan. Baunya yang sengak dan bacin mengambang di udara.

Bayi itu masih di sana, di tumpukan sampah di dekat sungai. Siapa mengira pengalaman pertamanya melihat dunia dimulai di atas tumpukan sampah? Tentu tak ada yang mengira. Bahkan wanita yang telah membuangnya mungkin tak mengira bakal membuang anaknya ke sana. Bukankah semua wanita ingin anaknya bahagia?

Siapa percaya seorang wanita hamil punya gagasan membuang bayinya setelah lahir? Gagasan itu pasti bukan dari dirinya, melainkan dari setan. Bukankah setelah Adam diusir dari surga, setan selalu dituduh sebagai biang kerok atas semua kesalahan manusia? Perkara membuang bayi, pastilah gagasan setan.

Sudah hampir pagi. Bayi itu masih di sana, di tumpukan sampah di dekat sungai. Bayi itu menangis terlalu lama sampai suaranya serak. Ia minta tolong. Tapi, orang-orang masih tidur. Di dekat bayi itu, tergeletak sekotak susu bayi terbungkus plastik hitam. Plastik itulah, barangkali plastik termahal di antara jutaan plastik lain yang terserak di sana. Plastik-plastik lain hanya berisi sisa-sisa makanan yang sudah basi.

Orang-orang yang akan menemukan bayi itu pasti orang-orang miskin: para pemulung sampah. Mereka tak mampu beli susu, barangkali begitu pikir si ibu. Itulah satu dari dua kebaikan ibunya. Kebaikannya yang lain selain satu kotak susu itu adalah rahimnya, tempat ternyaman buat si bayi sebelum melihat dunia yang busuk.

Seandainya bayi itu selamat dan tumbuh dewasa, lantas secara tidak sengaja ia bertemu dengan ibunya, apakah ia harus berterima kasih kepada ibunya atas dua kebaikan itu?

Bayi itu harus menunggu sampai pagi menjelang siang. Orang-orang yang bekerja di sana—para pemulung, sopir truk sampah, dan kernetnya—baru  bangun sekitar pukul delapan. Biasanya mereka minum kopi dulu sambil makan beberapa potong pisang goreng dan menonton berita pagi atau sekadar duduk-duduk di depan rumah mereka yang terbuat dari papan-papan bekas yang mereka temukan saat memulung. Mereka juga suka mendengarkan siaran radio yang digeber keras-keras, menggetarkan udara pagi. Tak seorangpun tertarik mengunjungi padang sampah pagi-pagi sekali.  Kecuali hari Minggu. Dua anak kecil akan pergi ke sana pagi-pagi sekali. Mereka menunggu truk sampah datang untuk memuntahkan isinya.  Mungkin mereka beruntung bisa menemukan tas bekas, sepatu bekas, buku-buku, atau makanan yang masih “bisa” dimakan, atau menemukan bayi itu sebelum orang lain menemukannya.

Sayang sekali, bayi itu dibuang malam Kamis. Jadi, tak akan ada cerita dua anak kecil menemukan sesosok bayi yang masih basah, merah, dengan ari-ari dan sekotak susu di tumpukan sampah.

Bayi itu masih di sana, di atas serakan sampah. Ribuan lalat terbang berputar-putar mendengungkan sayap-sayap mereka yang hijau. Mereka hinggapi cangkang-cangkang telur, sisa-sisa nasi yang telah basi, bekas pembalut,  dan apapun yang berbau busuk. Kita boleh yakin, tidak lama lagi ribuan lalat itu akan menghinggapi tubuh si bayi yang masih licin. Si bayi akan menangis sambil menjejak-jejakkan kakinya dan meninju-ninju udara dengan tangan mungilnya. Berusaha mengusir lalat-lalat itu.

Di kejauhan, seekor anjing menyalak beberapa kali, lalu melolong panjang. Mungkin memanggil teman-temannya. Anjing itu tentu akan segera pergi ke padang sampah mencari apa saja yang bisa dimakan. Tak kecuali bayi itu. Kita tak bisa berharap anjing-anjing itu mau mengasuh si bayi. Kalau anjing-anjing itu menemukan si bayi, pastilah mereka berpesta.

Anjing itu semakin dekat ke padang sampah. Sesekali berhenti kalau menemukan makanan. Sesekali melolong. Lolongannya selalu dibalas anjing lain di kejauhan yang sama-sama mencari makan. Anjing-anjing jalanan selalu lapar.

Beberapa ekor tikus keluar dari gorong-gorong. Tikus-tikus di sini hampir sebesar kucing. Bulu-bulunya hitam dan basah, dan ekornya berwarna merah tidak berbulu. Menjijikan. Makhluk pengerat ini bisa menghancurkan apa saja dengan gigi-giginya. Mereka bisa menghancurkan kayu, pralon, kabel, apalagi seonggok bayi. Pasti sangat mudah bagi tikus-tikus ini mengoyak si bayi.

Bayi itu menggeliat, tapi tidak menangis. Ia tak tahu ada bahaya mengancamnya. Ada anjing-anjing dan tikus dan ribuan lalat dan kadal dan kucing liar dan burung bangkai yang datang dari langit. Semuanya bisa saja mengoyak si bayi. Hanya Tuhan bisa menjaga si bayi.

Waktu terus melepas detik-detik yang dimilikinya ke semesta, mengikis kegelapan, membawa cahaya dari timur. Langit mulai merekah. Daun-daun masih basah. Si bayi masih di sana, di tumpukan sampah. Angin bertiup lembut membawa debu-debu halus yang segera menempel pada kulit si bayi yang masih basah. Si bayi hanya bergerak-gerak lemah. Anjing-anjing semakin mendekat mencium aroma darah.

Para pemulung bersiap-siap sambil tetap mendengar siaran radio yang digeber keras-keras. Tak banyak yang harus disiapkan seorang pemulung. Mereka hanya perlu karung besar dan satu pengail dari setangkai besi. Mereka tak menyiapkan keranjang bayi meskipun kerap menemukan bayi di tumpukan sampah.

Kalau anjing-anjing sampai di padang sampah sebelum para pemulung datang, kita dapat bayangkan apa bakal terjadi pada si bayi. Anjing-anjing itu akan mengoyak lengan mungil si bayi. Satu anjing menariknya ke kanan, yang lain menariknya ke kiri. Anjing-anjing tak butuh waktu lama untuk memisahkan lengan mungil si bayi dari tubuhnya lantas menyantapnya di lain tempat. Tubuh si bayi akan dilumuri darah sekali lagi, namun ia tak akan menangis lagi. Anjing-anjing lain akan datang menancapkan taringnya ke tubuh si bayi dan menariknya seperti perlombaan tarik tambang. Mereka tak akan kesulitan mengoyak perut si bayi dan mengeluarkan isinya. Tikus-tikus akan datang untuk menggondol jeroan yang berceceran sebagai makanan bayi-bayi mereka.

***

Ribuan lalat berwarna hijau masih terus mendengungkan sayapnya. Tikus-tikus bercericit di gorong-gorong. Anjing-anjing sesekali menyalak, sambil terus berjalan menuju padang sampah. Para pemulung asik berdebat tentang siapa yang akan jadi presiden sambil berjalan ke padang sampah. Sopir truk sampah dan kernetnya mengendarai mobilnya dengan santai menuju ke padang sampah sambil merokok. Bayi itu masih di sana, di atas tumpukan sampah. Ia menunggu siapa yang lebih dulu sampai; anjing-anjing, tikus-tikus, atau para pemulung, atau sopir truk sampah dan kernetnya. Dan, kita tahu, anjing-anjing lapar selalu lebih cepat dari manusia. Mereka sudah sampai di padang sampah, di ujung bagian timur serakan sampah, sementara si bayi di ujung bagian barat serakan sampah. Anjing-anjing itu datang dari arah sungai.

Mereka mengendusi hampir semua benda di padang sampah. Seekor anjing betina menemukan potongan tulang ayam. Ia menyantapnya dengan rakus sampai terdengar bunyi gemeretak tulang yang hancur. Seekor anjing lain mendekati si betina, tapi tulang itu sudah lenyap.

Anjing-anjing itu terus mengendus. Mencari apa saja yang dapat mereka makan. Mereka tidak punya waktu lama di sana. Kalau para pemulung sudah sampai di padang sampah, tak ada lagi tempat untuk anjing-anjing. Anjing-anjing memusuhi para pemulung, terutama yang berambut gondrong. Si gondrong tidak akan segan-segan menembak mati satu atau dua ekor anjing untuk dijual di pasar gelap sebagai campuran daging sapi. Hasilnya lumayan, bisa digunakan untuk beli beras beberapa kilo.

Seekor anjing berekor hitam sampai di tempat si bayi. Si ekor hitam itu tentu tidak menyangka akan menemukan bayi manusia. Bayi yang masih merah, basah, dan licin itu, bergerak-gerak lemah. Tenaganya sudah habis untuk menangis semalaman. Si ekor hitam itu mengendus-endus, mengitarinya beberapa kali, lalu menyalak ringan. Tidak lama, anjing-anjing lain datang.

Dua orang pemulung masih serius berdebat tentang siapa yang bakal jadi presiden sambil berjalan malas ke padang sampah. Sudah beberapa kali presiden mereka berganti, tapi mereka tetap berdebat di sana juga, di jalan menuju padang sampah. Tidak ada yang berubah. Negara hanya sibuk mengganti presiden-presiden, wakil-wakil, mentri-mentri, gubernur, bupati, lurah, sampai pak RT. Tapi tidak masalah, toh setiap kali menjelang pemilu, mereka suka bagi-bagi duit. Dan, itu yang paling ditunggu-tunggu si gondrong dan temannya, Pardi.

Ketika mereka hampir sampai di padang sampah, kira-kira seratus meter dari sana, si gondrong berhenti untuk menjajal bedilnya. Ia mengokang bedil itu dengan semangat seorang pejuang yang akan berangkat perang. Suara bedil itu menyalak cukup keras, menggetarkan udara, membuat anjing-anjing diam beberapa saat, mendongak waspada.

“Wah, lumayan juga,” kata Pardi.

Si gondrong cukup puas dengan bedilnya sehingga ia tidak menjajalnya lagi. Anjing-anjing menurunkan kewaspadaannya karena tak mendengar lagi letusan bedil milik si gondrong. 

“Nanti kita turun dulu,” kata si gondrong sambil menyelempangkan bedilnya, “pagi-pagi begini biasanya banyak tupai dekat sungai. Kalau kena lumayan. Anakku suka daging tupai.”

Mereka kembali berjalan menuju padang sampah. Mereka berjalan sambil membicarakan manfaat daging tupai buat kesehatan. Mereka terus berjalan, hingga pada jarak lima puluh meter dari padang sampah, si gondrong berhenti demi melihat beberapa ekor anjing sedang makan pagi. Ia lantas bersembunyi di dekat semak sambil mengokang bedilnya. Pardi ikut sembunyi, meski belum tahu benar ia bersembunyi untuk apa.

“Ada apa?”

"Ada anjing,” kata si gondrong. “Diamlah! Akan aku tembak.”

Pardi diam. Ia mengamati bagaimana si gondrong menyipitkan satu matanya, mendekatkan matanya ke laras bedilnya. Si gondrong nampak ragu. Beberapa kali ia mengalihkan pucuk bedilnya berganti-ganti dari anjing berwarna coklat ke anjing yang berwarna hitam.

“Yang coklat saja. Lebih besar,” kata pardi.

Pucuk bedil si gondrong kembai mengarah pada si anjing yang berwarna cokelat. Biasanya, si gondrong akan membidik kepala. Tapat bagian mata. Bagian ini akan langsung membunuh si anjing. Saat telunjuk si gondrong hendak menarik pelatuk bedilnya, ia tersentak. Ia melihat bayi itu. Bayi itu sudah tidak bergerak. Tangan kanannya sudah putus.

“Astaga!”

“Kenapa?” tanya Pardi. Dia masih belum melihat bayi itu.

“Ada bayi. Kamu tidak lihat?”

“Mana?”

“Tuh,” kata pardi sambil menunjuk bayi itu dengan pucuk senapannya.

“Mana?”

“Itu, dekat plastik hitam.”

Si gondrong kembali membidik kepala si anjing, dan setelah yakin dengan bidikannya, ia menarik pelatuk bedilnya. Suara letusan bedilnya keras menggetarkan udara. Seekor anjing yang dibidik si gondrong roboh menimpa si bayi. Anjing-anjing lain terlonjak kaget lalu berlari kencang dikejar letusan bedil si gondrong.

“Ayo, cepat!”

Si gondrong berlari sambil menyelempangkan bedilnya, diikuti Pardi dibelakangnya. Sampai di sana, di tempat anjing bidikannya itu roboh, si gondrong mendorong tubuh anjing itu dengan bedilnya sehingga ia bisa melihat seonggok bayi merah penuh darah.

“Wah, sudah mati.”

“Terus mau diapakan?”

“Lapor polisi.”

“Jangan, ah, berurusan sama polisi terlalu repot.”

“Terus bagaimana?”

“Kita jual saja, potong kecil-kecil, campurkan dengan daging anjing ini. Tidak akan ada yang tahu.”

Si gondrong bimbang. Dia memang sering membunuh, tapi mana mungkin dia tega memotong tubuh bayi menjadi potongan-potongan kecil. Tapi gagasan Pardi terdengar cukup masuk akal.

Sejenak, si gondrong mempertimbangkan gagasan Pardi. Tiba-tiba ia merasa muak dan jijik kepada dirinya sendiri. 


Semarang, 27 November 2018


-----------------------


Postingan Terkait:

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memanfaatkan Buku "Seandainya Saya Wartawan Tempo" Sebagai Bahan Refleksi Seorang Guru

"Kalau dipikir-pikir, ada persamaan antara wartawan dengan guru. Sama-sama mendidik. Wartawan mendidik masyarakat melalui tulisan-tulisannya. Sementara guru mendidik siswa melalui pembelajarannya." Buat apa seorang guru membaca buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo”? Guru tak bertugas menulis berita. Jadi, buat apa? Saya lupa kapan membeli buku tipis ini. Saya menemukannya setelah sekian lama berada di tumpukan buku-buku yang tak terbaca dan tak terurus. Saya mengumpulkan semua buku yang ada kaitannya dengan bahasa Indonesia. Hasilnya banyak didominasi buku-buku kuliah. Ada kamus bahasa Indonesia yang sudah robek, esai-esai bahasa, dan buku ini. Di antara buku-buku yang saya kumpulkan, saya memilih membaca buku ini. Mungkin karena buku ini lebih tipis dari buku-buku lain. Isinya hanya 96 halaman. Buku ini sebenarnya dicetak sebagai bahan pendidikan bagi para wartawan yang bekerja di majalah Tempo, terutama dalam menulis dan menyusun berita bentuk feature . Demi manfaat yang le...

Materi PPT Garis dan Sudut Matematika Kelas 4

  Assalamualaikum, bapak/ibu guru semuanya.  Kali ini guru mulang.com akan membagikan materi presentasi garis dan sudut dalam bentuk PPT.  Garis dan sudut merupakan salah satu materi yang menjadi dasar untuk mempelajari materi-materi geometri yang lain. Garis adalah rangkaian titik-titik yang saling terhubung. Sedangkan sudut adalah wilayah yang terbentuk dari dua buah garis lurus yang saling berpotongan.  Siswa yang mengetahui konsep garis dan sudut akan sangat terbantu dalam materi bangun datar maupun bangun ruang yang mulai diajarkan pada kelas 4 SD.  Untuk itu bapak/ibu, tentu kita tak mau anak-anak didik kita sampai gagal paham apa yang dimaksud garis dan apa yang dimaksud sudut. Nah, kali ini kami bagikan materi garis dan sudut dalam bentuk ppt interaktif.  Dalam materi yang kami bagikan kali ini, ada soal-soal interaktif di dalamnya yang bisa dikerjakan bersama-sama ketika mempelajari garis dan sudut.  Baiklah, tak perlu berlama-lama lagi, berik...

Tutorial Membaca Nilai Rapor

"Nilai rapor tak lagi mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nilai rapor adalah nilai yang sudah dikatrol" Kalau kamu malas belajar, bodoh, jarang berangkat sekolah, tak pernah mengerjakan tugas dari gurumu, sering bikin ulah di sekolah, dan mengerjakan ujian asal-asalan, siap-siaplah terkejut dengan nilai rapormu. Mungkin kamu mengira nilai rapormu jelek semua, bahkan mungkin kamu mengira tidak akan naik kelas. Eiitss.... Kamu akan terkejut. Itu semua tak akan terjadi. Percayalah! Rapor zaman dulu ada nilai merah. Nilai merah berarti kemampuan anak kurang memadai. Zaman dulu hal seperti ini wajar saja. Sekarang, saat aku jadi guru, rupanya tak ada lagi nilai merah. Semua siswa "harus" diberi nilai di atas KKM, meskipun nyatanya ada siswa yang benar-benar tak layak dapat nilai di atas KKM. Nilai rapor tak lagi mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nilai rapor adalah nilai ya...

Bahagia Menjalani Hidup Seperti Anak-Anak

Saya rasa, satu kualitas hidup yang dimiliki anak-anak dan membuat mereka mudah bahagia adalah kemampuan mereka untuk memaafkan kesalahan orang lain. Sebagai guru SD jarang sekali saya mendapati murid-murid saya bersedih atas suatu masalah. Mereka memang mudah menangis kalau mengalami satu masalah yang sulit mereka atasi. Misalnya, saat berantem dengan temannya. Namun, itu tak pernah berlangsung lama. Hari itu juga mereka bisa berbaikan lalu kembali ketawa-ketiwi seolah tak terjadi apa-apa. Mereka terlihat selalu bahagia. Apa rahasianya? Saya penasaran mengapa anak kecil selalu terlihat bahagia. Sebagai guru SD, saya punya banyak waktu dan kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka dan mencoba mencari tahu mengapa mereka selalu terlihat bahagia. Setidaknya, ada beberapa hal yang saya kira menjadi penyebab anak kecil relatif terlihat selalu bahagia. 1. Mudah memaafkan Saat mengajar kelas 4, ada seorang siswa yang berkelahi dengan temannya. Waktu itu saya sedang memeriksa kelom...

Meninggalkan Jejak Kebaikan

"Aku tak cuma seorang guru di sana. Aku menjelma menjadi tukang cat dinding, tukang potong rumput dan tanaman hias, tukang membetulkan atap yang bocor, tukang antar siswa pulang sekolah, petani singkong dan jagung, sampai menjadi tukang air." - Guru Mulang - Ketika aku masih kuliah di semester delapan, aku mendapat tawaran bekerja di salah satu sekolah di desaku. Tepatnya di MI GUPPI Rakitan. Aku menolak. Saat itu, aku masih mengerjakan skripsi. Mengerjakan skripsi saja rasanya sudah keteteran sekali, apalagi ditambah dengan beban pekerjaan. Aku merasa tak mampu. Aku berencana mengejar target lulus sebelum pembukaan rekrutmen CPNS dimulai dan akan mengikuti rekrutmen CPNS. Namun, sialnya aku lulus ketika proses rekrutmen telah berakhir. Dan sejak saat itu proses rekrutmen CPNS tak kunjung dibuka.  Aku teringat tawaran untuk bekerja di MI GUPPI Rakitan, tempat dulu aku bersekolah. Aku datang ke sana memakai baju lengan panjang berwarna biru dan mengajukan lamaran pekerjaan. ...

Tidak Ada Anak Bodoh di Dunia Ini

" Mencintai anak-anak tidaklah cukup, yang juga penting adalah membuat anak-anak menyadari bahwa mereka dicintai orangtuanya ." - St. John Bosco - Tidak ada anak bodoh. Mereka yang kamu anggap bodoh sebenarnya hanya anak-anak yang kurang beruntung. Aku tak tahu ini naif atau tidak. Menurutku semua anak pada dasarnya cerdas dan baik. Tak ada anak bodoh. Tak ada anak jahat. Dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), Howard Gardner mengidentifikasi setidaknya delapan kecerdasan berbeda yang digunakan manusia untuk bertahan hidup, berkembang, dan membangun peradaban. Kecerdasan yang dimaksud yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalistik. Setidak-tidaknya anak-anak pasti memiliki salah satu dari delapan kecerdasan tersebut sebagai bekal tumbuh kembangnya. Bekal unik inilah yang harus dima...

Negeri Jagung dan Anak-Anaknya | Ulasan Buku Bocah Penjinak Angin, William Kamkwamba

"Penggambaran suasana saat terjadinya bencana kelaparan benar-benar bikin merinding. Orang-orang berjalan gontai seperti zombi. Tubuh mereka kurus seperti menyisakan tulang dan kulitnya saja." “Bocah Penjinak Angin” adalah sebuah novel yang bisa kutebak alur ceritanya dengan membaca uraian singkat di belakang buku. Memang ada jenis novel yang seperti itu. Buku ini salah satunya. Aku membeli dan membacanya, sebab yang menarik bukanlah alur cerita buku itu, melainkan gambaran kondisi di suatu lingkungan yang asing buatku. Afrika. Ketertarikanku terhadap buku ini juga karena kisah dalam buku ini diambil dari kisah nyata penulisnya. Latar tempatnya di Malawi, salah satu negara di wilayah benua Afrika. Aku belum pernah membaca novel dengan latar wilayah Afrika. Jadi, sepertinya menarik.  Malawi termasuk negara miskin. Saking miskinnya dari seluruh wilayah, hanya sekitar 11 % yang menikmati listrik. Aktivitas warga setelah matahari terbenam otomatis terhenti dan yang ada tinggal lo...

Resensi Buku Senja dan Cinta yang Berdarah Karya Seno Gumira Ajidarma

  Mulai dari seorang pendekar yang meloncat dari satu rumah ke rumah lain, percintaan di dalam kereta api, anak pelacur yang kebingungan menulis cerita, senja yang dicuri, pemain bola yang menggiring bolanya sampai ke ujung dunia; apapun bisa ditulis oleh Seno. OPEN ENDING DAN CERITA YANG TELAH SELESAI DITULIS Selama liburan semester, tak banyak yang bisa saya lakukan selain membaca buku. Dari pada tidak melakukan apapun, saya duduk di sofa, buku di tangan kiri, kopi di tangan kanan, jodoh di tangan Tuhan. Mantap! Mulailah saya membaca. “Senja dan Cinta yang Berdarah,”adalah salah satu buku yang saya baca. Buku ini berisi 85 cerita pendek yang ditulis Seno Gumira Ajidarma di Harian Kompas 1978-2013. Cerita pertama yang saya baca adalah “Pembunuhan”(1978). Seorang pengarang cerita detektif (pensiunan intel melayu yang sangat dibenci bandit-bandit) menulis cerita tentang seorang pencari kayu bakar di hutan yang melihat mayat perempuan dan seorang lelaki yang berlari membawa gol...

Mengisap Asap

"Masyarakat kita didominasi orang-orang miskin. Masalah sampah tentu saja bukan menjadi prioritas. Prioritas orang-orang miskin tentu saja bagaimana memperoleh uang untuk membiayai kehidupan mereka. Jadi, kalau lingkungan kita masih berantakan, masih ada sampah di mana-mana, bisa jadi kita masih tergolong orang-orang miskin. Ya, miskin harta. Ya, miskin ilmu."  MENGISAP ASAP Salah satu harapan hidup di desa adalah dapat menghirup udara segar di pagi hari. Namun, harapan hanya harapan. Nyatanya, orang-orang di desa kerap membakar sampah mereka tak kenal waktu dan tak kenal tempat. Orang-orang telah menganggap biasa hal ini. Mereka mungkin tidak merasa bersalah dan tidak tahu bahwa sebenarnya yang mereka lakukan melanggar hukum. Asap dari sampah yang mereka bakar menjadi polutan yang terisap masuk sistem pernapasan manusia. Aku kesal sekali dengan hal ini. Pasalnya, perjalananku berangkat kerja diwarnai asap pekat hasil pembakaran sampah di pinggir jalan. Dari Desa Ampel...

Membaca Percikan Pemikiran Dr. M. Arfan Mu’ammar, M.Pd.I dalam Nalar Kritis Pendidikan

"Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” menjadi sesuatu yang diterima    sebagai “yang memang seharusnya demikian.” - Pierre Bourdieu - Buku “Nalar Kritis Pendidikan” ditulis oleh M. Arfan Mu’ammar, seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Di sampul depan buku ini ada gambar wajah manusia dengan bagian kepala dibuat transparan sehingga otak di dalamnya terlihat. Gambar ini sesuai sekali dengan judul buku. Nalar kritis tentu erat kaitannya dengan otak yang merupakan sarana berpikir kritis. Kalau otak tidak beres bagaimana mau berpikir kritis? Bagian latar belakang gambar wajah manusia itu adalah benda-benda yang erat kaitannya dengan pendidikan. Banyak sekali. Pulpen, pensil, bola, gitar, buku, kok, tas sekolah, mesin ketik, kuas, cat, dan telepon pintar. Benda-benda ini boleh jadi melambangkan betapa pendidikan itu kompleks sekali. Ia tak semata-mata mengurus perihal kecerdasan otak. Ia juga mengurus kelembutan perasaan yang dipero...