Di Tepian Realitas

 


Kala itu jalanan lengang. Ranting dan daun masih basah oleh sisa hujan tadi malam. Genangan air berwarna coklat di mana-mana. Udara begitu dingin. Kabut tipis menyebar di udara. Perempuan itu, yang baru beberapa bulan tinggal di Wanayasa, melompat kecil menghindari genangan di sana-sini sambil mengangkat sedikit roknya dengan tangan kiri.

Perempuan itu sesekali berhenti di tepian jalan yang agak kering. Perutnya yang sudah membesar tak memungkinkannya berlari tergesa-gesa.

Dia usap-usap perut itu dengan lembut sambil bicara pada jabang bayi di dalamnya: Nak, sabar ya. Sebentar lagi sampai. Nanti kamu bisa main-main lagi dengan teman-temanmu. Untunglah ibu berani ambil resiko jadi guru. Meski gaji ibu sekarang lebih kecil dari gaji ibu saat masih jadi pegawai bank, tapi sekarang ibu bahagia, Nak. Ibu berurusan dengan anak-anak yang ceria. Coba kalau masih jadi pegawai bank! Setiap hari mengurus uang orang lain. Setiap hari menghitung angka. Setiap hari hanya duduk di depan komputer. Hidup kita kering, Nak.

Jabang bayi di dalam perutnya menendang-nendang seolah menjawab perkataan ibunya.

Tidak ada kendaraan yang bisa dia tumpangi untuk sampai di sekolah tempat dia mengajar. Baginya, tak jadi masalah. Dia menikmatinya. Dia menikmati pekerjaannya yang baru sebagai seorang guru. Dia menikmati pegal-pegal di kakinya. Dia menikmati kesegaran pagi itu dan pagi-pagi yang lain yang telah dia lewati di tempat barunya. Dia menikmati berkas-berkas cahaya mentari pagi yang kekuningan yang menembusi celah dedaunan. Kabut tipis. Kicau burung. Jalanan yang basah. Senyum ramah penduduk desa. Semua ini masih jauh lebih baik dari pada terjebak macet di tengah kota saat ia harus berangkat kerja sebagai pegawai bank.

Sampai di persimpangan dekat rumah salah satu muridnya, dia berhenti. Dilihatnya Danang, salah satu muridnya, sedang membantu bapaknya mengangkut sayuran ke sebuah mobil. Perempuan itu menghampiri Danang.

“Kamu kok tidak sekolah, Nang. Kok, belum berangkat?”

Danang nampak terkejut melihat ibu gurunya. Seketika di berhenti mengangkuti kubis. Dia tidak berani menjawab.

“Larene kulo niki malah mboten purun sekolah, Bu Guru. Mau jadi kayak bapaknya mungkin dia ini! Mau jadi wong tani. Tiap hari kerjanya macul. Sudah capek saya Bu Guru. Sudah tidak tahu mesti gimana lagi sama anak ini supaya mau sekolah.”

Perempuan itu tertegun mendengar perkataan Pak Karmin. Ia disadarkan bahwa selama ini banyak murid-muridnya yang tidak mau sekolah.

 “Oalah, besok sekolah lagi, ya, Nang!” Ucap perempuan itu sambil mengelus kepala Danang lantas berpamitan pada Pak Karmin.

Ada perasaan sedih yang tiba-tiba menjalari hatinya. Ia tidak bisa mengatasi perasaan sedih itu, jadi ia putuskan untuk bergegas ke sekolah meski sebenarnya ia ingin sekali mengobrol dulu dengan Pak Karmin terkait sekolah Danang.

Di sisa jarak perjalananya menuju sekolah ia memikirkan murid-muridnya. Lasmi yang tahun depan akan dinikahkan. Sekar yang lebih suka ikut bibinya kerja di pasar. Malik yang lebih suka pergi mancing di kali. Ilham, Danang, Rido, dan Refa. Mereka yang hampir tidak pernah masuk sekolah tiba-tiba memenuhi pikiran perempuan itu.

Semangatnya tadi pagi berhamburan di jalan. Betapa menjadi guru ternyata tak mudah. Apakah aku telah gagal menjadi seorang guru?! Apakah selama ini semuanya sia-sia belaka? Apa yang sudah aku lakukan selama ini! Apakah aku harus menyerah dengan mereka. Perempuan itu maratap dalam hati. Baginya, sekolah sangat penting buat anak-anak.

Perempuan itu merasa perlu melakukan tindakan. Tapi bagaimana? Ia terus berpikir sampai-sampai tak terasa ia sudah sampai di depan gerbang sekolah.

Perempuan itu bergegas menghadap kepala sekolah.

“Ada apa, Bu Sasti?” tanya Pak Sigit. Melihat wajah Bu Sasti yang seperti diliputi mendung, Pak Sigit langsung tahu ada masalah yang sedang mengganjal di pikiran Bu Sasti.

“Tadi saya ketemu Danang di jalan, Pak. Dia tidak sekolah lagi. Saya kira, anak-anak lain di kelas saya juga banyak yang tidak masuk. Saya takut mereka nanti putus sekolah, Pak.”

“Saya mengerti kegelisahan Bu Sasti. Tapi, Bu Sasti, hal seperti ini sudah biasa terjadi di desa-desa seperti macam ini. Bu Sasti tidak perlu terlalu risau.”

“Baik, Pak,” ucap perempuan itu lirih. Dalam hati ia kecewa dengan jawaban dari kepala sekolah.

Di depan kelas, perempuan itu mengelus kembali perutnya yang sudah besar.

Ia memulai pembelajaran seperti biasa.

Namun, sepanjang pelajaran ia terus memikirkan tentang murid-muridnya yang tidak berangkat sekolah. Tanpa ia sadari, suasana hatinya yang sedang tak karuan ternyata menular ke murid-muridnya. Mereka tampak tidak bersemangat mengikuti pelajaran matematika.

Perempuan itu berpikir sejenak. Ia tahu dirinya sedang dilanda suasana hati yang tak karuan. Namun, ia tak ingin murid-muridnya menjadi korban atas perasaannya. Maka, ia kemudian berinisiatif mengajak anak-anak untuk belajar di sawah yang sedang dibajak. Ia meminta izin kepala sekolah dan lantas mengajak anak-anak ke sawah.

Jaraknya tidak terlalu jauh. Cukup satu menit berjalan kaki mereka sampai di sawah yang sedang dibajak. Dengan hati-hati perempuan itu duduk beralas rumput kering di bagian tanggul sawah. Murid-muridnya mengikuti. Perempuan itu menyuruh murid-muridnya untuk bebas bermain sesuka hati mereka.

Meski sudah diperbolehkan untuk bermain-main, anak-anak hanya duduk-duduk saja di pematang sawah sambil mencabuti rumput karena iseng. Tak ada yang berlarian seperti saat jam istirahat di sekolah.

Mereka pasti takut bajunya kotor, batin perempuan itu.

Dari jauh nampak seorang lelaki sedang memandikan sapi yang habis dipakai untuk membajak sawah. Karena penasaran murid-muridnya menghampiri lelaki itu.

Perempuan itu mengelus lagi perutnya yang berisi calon buah hati pertamanya. Sebentar lagi kamu akan bermain-main seperti mereka, Nak.

Saat sedang asyik berbincang dengan anaknya yang masih dalam kandungan, seorang lelaki tua memikul dua keranjang besar penuh rumput berjalan di depannya.

“Nuwun sewu, Bu Guru,” kata lelaki tua itu sambil sedikit membungkukkan badannya yang sebenarnya memang sudah bungkuk. Lelaki tua itu berhenti di sampingnya lantas meletakkan pikulan berisi rumput ke atas tanah dan duduk bersila.

“Pagi-pagi begini sudah ngarit sebanyak itu, Mbah?” tanya perempuan itu kagum.

“Mau gimana lagi, Bu Guru. Saya ini, ya pekerjaannya cuma ngarit. Ya, kayak gini ini. Tidak punya kerjaan lain. Kalau ngarit memang bagus waktu pagi. Rumputnya masih segar. Sapi, kambing, terwelu suka rumput yang diarit pagi-pagi. Wong manusia saja sukanya yang segar-segar.”

“Sapinya banyak, Mbah?”

“Mboten, Bu Guru. Sapi saya Cuma satu. Yang lain sudah mipil saya jual. Buat biaya anak sekolah di kota.”

“Anaknya kelas berapa, Mbah?”

“Anu, Bu Guru. Anak saya kuliah kelas 2,” ucap laki-laki tua itu tersipu malu. “Anak saya kuliah di Jogja sekarang sudah kelas 2, apa itu istilahnya saya lupa, S2 atau apa saya kurang paham masalah begituan,” lanjut lelaki tua itu dengan bangga.

“O, kuliah S2. Wah, hebat sekali, Mbah anaknya bisa kuliah sampai S2. Anak Mbah pasti pintar sekali, ya.”

“Satu-satunya di desa ini, Bu Guru. Cuma anak saya satu-satunya yang kuliah sampai S2. Tapi saya ini heran, kok ya dari S1 sampai S2 itu lama sekali. Empat tahun. Saya ini sampai habis semua. Sawah sudah saya jual. Sapi tinggal satu. Kambing apalagi. Sudah habis semua. Tapi ini anak saya tidak selesai-selesai kuliahnya. Mau bayar pakai apa lagi saya ini. Saya ini cuma wong deso, rak ngerti opo-opo. Cuma saya seneng liat anak saya bisa sekolah tinggi.”

“Saya saja hanya S1, Mbah. Mbah ini berarti hebat sekali, bisa menyekolahkan anaknya sampai S2.”

“Bu Guru nanti juga pasti bisa. Anaknya pasti nanti bisa sekolah sampai setinggi S2 bahkan lebih. Bisa jadi presiden kalau perlu,” ucap lelaki tua itu sambil melihat ke arah perut Bu Guru Sasti yang besar.

Bu Guru Sasti mengelus-elus perutnya yang besar, “Aamiin,” katanya sambil tersenyum.

“Tapi saya kangen sama anak saya, Mba. Eh, maksud saya Bu Guru.”

“Apa sudah lama tidak pulang, Mbah?”

“Sudah empat tahun. Sudah jadi orang kota sekarang dia. Sudah tidak kenal lagi dengan sawah. Sudah tidak memper glopot lemah. Apa masih mau pulang dia?” lelaki tua itu seperti bertanya pada dirinya sendiri. Tampak di wajahnya gurat kesedihan yang buru-buru disembunyikan sambil berkata:

“Bu Guru mampirlah ke gubuk saya. Itu yang ada kolam ikan lelenya.”

“Terima kasih, Mbah. Nanti lain kali saya mampir, Mbah.”

“Kalau begitu saya permisi Bu Guru, mau lanjut ngarit lagi. Mumpung masih kuat.”

Lelaki tua itu memikul keranjang rumputnya. Ia berjalan di pematang sawah pelan-pelan. Punggungnya tampak membungkuk menyangga berat dua keranjang rumput di pikulannya.

Bu Guru Sasti mengelus lagi perutnya. Ia memikirkan percakapannya dengan lelaki tua itu. Apakah nanti murid-muridku juga akan meninggalkan desanya seperti anak pak tua tadi, pikir Bu Guru Sasti. Kalau semua meninggalkan desa siapa nanti yang akan jadi penerus di desa ini. Tanah sesubur ini tanpa generasi yang mau mengolahnya. Apakah benar jika kubiarkan saja murid-muridku berhenti sekolah agar mereka tetap jadi warga desa yang mengolah sawah-sawah bapaknya? Tidak! Mereka tetap membutuhkan pendidikan. Mereka harus menjadi generasi intelektual yang tak canggung berurusan dengan alam. Tak merasa risih harus berjibaku di tanah berlumpur. Tak merasa sungkan mengembangkan desanya sendiri.

Semua ini hanya masalah cara, ini hanya masalah metode, kata Bu Guru Sasti dalam hati. Ia tahu, setiap anak punya kebutuhan yang berbeda-beda. Ia juga tahu bahwa setiap anak punya kemampuan yang berbeda-beda. Selama ini aku hanya mengajar saja tanpa berusaha memenuhi kebutuhan yang berdasarkan kemampuan anak-anakku. Tentu aku bukan guru yang baik. Aku sadar. Tapi, aku akan terus belajar dan berbenah.

Penulis: Aji Budi Riyanto

Baca juga: Hidup Kalem Bersama Filosofi Teras


Komentar

Postingan Populer