![]() |
"Kekasihnya berjanji akan datang setelah berhasil membunuh iblis. Namun, kita tahu, iblis tak bisa dibunuh. Maka wanita itu menunggu kekasihnya sampai jadi patung." |
Andai
ada cara untuk mencuri bibirmu, tak akan ada dosa sebanyak ini. Ciuman-ciuman
yang kita curi di sudut sunyi itu, juga pelukan dan bujuk rayu. Meski cinta
adalah sesuatu yang sah-sah saja kita miliki, tapi seringkali aku merasa tak
nyaman menyimpan cinta kita.
Aku
masih selalu ingat suara hujan yang menyejukkan juga semua gerak yang kita ciptakan
berdua di ruang kelas yang hangat. Napas yang kita bagi untuk saling membakar. Harum
rambutmu dan semua sentuhan. Itu saat terbaik untuk melepas semua beban kerja
yang menghimpitku. Kertas-kertas yang menumpuk di meja, catatan-catatan tentang
hidrokarbon yang musti diajarkan minggu depan.
Alangkah
membosankan hidup dari rutinitas yang sama setiap hari tanpa tantangan. Bangun
pagi-pagi sekali, tanpa sempat sarapan dan minum kopi langsung kutancap gas
agar tak kena macet. Pulang sore hari, lantas menunggu malam dan terlelap
melepas lelah hanya untuk bangun dengan segar lagi di pagi hari. Begitu terus
setiap hari kecuali Sabtu dan Minggu.
Aku
beruntung dapat mengenalmu. Gadis dengan bibir paling manis sedunia. Kadang aku
sesali mengapa tak dari dulu aku bertemu denganmu. Aku juga tak cukup punya
keberanian untuk mendekatimu. Sehingga setiap kali aku mengajar di kelasmu, rasanya
ingin segera selesai saja.
Untunglah
kau gadis perasa. Kau tahu betul kalau aku memperhatikanmu. Dan untunglah kau
juga tertarik padaku. Kau kirim pesan WhatsApp padaku. Awalnya aku kira kau
hanya akan bertanya soal rumus-rumus reaksi kimia saja. Tapi setelah aku pikir,
kau kan tak suka kimia. Maka kita akhirnya membicarakan soal lain. Kita
membicarakan soal masalah kita masing-masing.
Cinta
memang bisa berawal dari mana saja, kan? Kadang kita malah tak tahu dari mana
datangnya. Seperti aku ini. Tiba-tiba, aku mencintaimu. Ah, kalimat yang
barangkali sudah diucapkan oleh jutaan pasang kekasih sejak zaman Nabi Adam. Tapi
entah mengapa terasa begitu indah saat aku ucapkan di depanmu, lantas kamu
membalas, aku juga mencintaimu.
Aku
harus selalu bersusah payah untuk sembunyikan kangenku saat kita dalam satu
kelas. Kamu menulis rumus-rumus reaksi kimia dengan tekun meski murid-murid
laki-laki terus saja usil. Kamu memang cantik. Maka aku tak heran kalau mereka
terus-terusan usil kepadamu. Kamu membangkitkan mimpi-mimpi paling dalam dan
purba yang dapat diciptakan laki-laki. Mereka menulis puisi-puisi cinta
untukmu. Namun, kau anggap mereka hanya lelucon saja.
Aku
juga pernah menulis puisi untukmu. Tapi kau bilang tak perlu bersusah menulis
puisi-puisi cinta seperti mereka.
“Nanti
cintamu basi kalau terlalu sering diucapkan lewat puisi,” katamu. “Sesekali
bolehlah. Tapi tak usah sering-sering. Lagi pula puisimu jelek. Lebih mirip
ucapan orang gila. Tak ada indahnya sama sekali.”
Lantas
kita berdua menertawakan puisiku yang kau bilang jelek. Kita juga sering
menertawakan diri sendiri. Kekonyolan-kekonyolan yang kadang membuat kita geli.
Kau paling suka menertawakan dirimu saat tak bisa selesaikan satu soal
matematika bahkan walau sudah berlembar-lembar kertas kau gunakan untuk
coret-coretan. Angka-angka seperti selalu mengejekku, katamu.
Inilah
salah satu bagian yang paling aku suka darimu. Kamu suka menertawakan dirimu.
Menurutku ini sehat.
Kamu
pernah berseloroh, kalau kita menikah nanti, barangkali bisa jadi film bagus
dengan judul, Suamiku Adalah Guruku. Hemm,
boleh juga.
***
Bayanganku
sudah lama meringkuk di dekat bangku itu. Dia tak mau lagi menemaniku
menunggumu. Jangankan dia, aku saja teramat bosan menunggumu. Dia tetap
memutuskan untuk tidur saja. Meski sudah kukatakan pada bayanganku kalau
bayanganmu sebentar lagi akan datang dan mereka bisa bercinta sepuas mereka.
Langit
sedang cerah. Berbintik-bintik bintang tak dapat kuhitung satu-satu. Bulan bulat
sempurna. Sepi, namun indah. Sayangnya kau lama sekali.
Seekor
kucing melintas. Berhenti sebentar untuk menatapku. Lalu melengos saat aku
balas menatapnya. Lantas pergi. Tinggal aku di sini. Orang-orang sudah pulang.
Apa kamu sengaja menunggu sepi?
“Nanti
malam ya, jangan lupa,” begitu katamu sore tadi.
“Jam
berapa?”
“Terserah.”
“Aduh,
jangan terserah.”
“Kamu
mau jam berapa?”
“Jam
sembilan.”
“Oke,
aku gak janji ya.”
Sekarang
aku menunggumu. Aku jadi ingat sebuah cerita. Begini ceritanya: seorang wanita
menunggu kekasihnya di sebuah taman. Kekasihnya berjanji akan datang setelah
berhasil membunuh iblis. Namun, kita tahu, iblis tak bisa dibunuh. Maka wanita
itu menunggu kekasihnya sampai jadi patung.
Jangan-jangan
nanti aku juga jadi patung gara-gara menunggu kamu. Tapi, barangkali aku tak berani
sekonyol itu. Untuk apa menunggu sesuatu yang jelas tak akan datang.
Buang-buang waktu saja.
Aku
tahu kamu akan datang. Itulah sebabnya aku belum pulang.
Sebenarnya,
tak layak aku mengeluh macam apapun. Aku
tahu kamu pasti mati-matian mencari alasan supaya bapak memberi izin keluar. Bukan
perkara mudah. Apalagi kamu perempuan. Tapi aku tahu kamu tak mudah menyerah.
Maka
aku pun tak akan mudah menyerah. Aku lawan nyamuk-nyamuk sialan yang
mendengung-dengung di telinga. Aku lawan dingin dan sepi.
Aku
terus menunggu. Ponselku berbunyi. Satu
pesan WhatsApp darimu: bapak gak kasih izin, Mas. Maaf.
Ah,
betapa sia-sia.
Mungkin kali lain lebih beruntung. Baiknya aku pulang saja.
Istriku pasti menunggu.
--------------------
- Terinspirasi dari puisi dengan judul yang sama, Andai Ada Cara Untuk Mencuri Bibirmu, karya Theo & Weslly.
- Cerita yang dimaksud adalah cerpen Patung karya Seno Gumira Adjidarma.
--------------------
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!