![]() |
"Masyarakat kita
didominasi orang-orang miskin. Masalah sampah tentu saja bukan menjadi
prioritas. Prioritas orang-orang miskin tentu saja bagaimana memperoleh uang
untuk membiayai kehidupan mereka. Jadi, kalau lingkungan kita masih berantakan,
masih ada sampah di mana-mana, bisa jadi kita masih tergolong orang-orang
miskin. Ya, miskin harta. Ya, miskin ilmu."
MENGISAP ASAP
Salah satu
harapan hidup di desa adalah dapat menghirup udara segar di pagi hari. Namun, harapan hanya harapan. Nyatanya,
orang-orang di desa kerap membakar sampah mereka tak kenal waktu dan tak kenal
tempat. Orang-orang telah menganggap biasa hal ini. Mereka mungkin tidak merasa
bersalah dan tidak tahu bahwa sebenarnya yang mereka lakukan melanggar hukum.
Asap dari sampah
yang mereka bakar menjadi polutan yang terisap masuk sistem pernapasan manusia.
Aku kesal sekali dengan hal ini. Pasalnya, perjalananku berangkat kerja
diwarnai asap pekat hasil pembakaran sampah di pinggir jalan.
Dari Desa
Ampelsari hingga Desa Rakitan, terhitung tiga kali aku dapati orang membakar
sampah di pinggir jalan. Asapnya menguar ke mana-mana. Mau tak mau aku menahan
napas semampuku saat melewatinya. Tapi, kemampuan menahan napasku terbatas. Mau
tak mau paru-paruku terpaksa mengisap asap itu juga.
Nasib jadi orang
kecil, ke mana-mana naik motor, tak terlindung dari polusi udara. Terkadang
masih disemprot asap knalpot mobil-mobil besar. Masih pula harus mengisap asap
pembakaran sampah oleh orang-orang yang tak tahu aturan ini. Cuk!
Kadang ingin
memaki orang-orang itu. Tapi, apa gunanya. Toh, aku juga menyumbang polusi
lewat sisa pembakaran motorku. Sama-sama penyumbang polusi. Mereka membakar
sampah-sampahnya juga bukan tanpa alasan. Mau di buang ke TPA tak tahu ada di
mana. Bahkan tak tahu ada atau tidak. Kalau pun ada apakah mereka mau
repot-repot membawa sampah mereka ke TPA?
Di desa, cara
orang menangani sampah mereka yang paling umum adalah membakarnya, membuangnya
ke sungai, atau menguburnya. Ketiganya sama-sama buruk. Mungkin mengubur masih
lebih baik dari pada membakar sampah atau membuangnya di sungai.
Masalah sampah
ini apakah menjadi perhatian pemerintah daerah? Kok, rasanya orang-orang yang
membakar sampah semakin hari bukan semakin berkurang, malah semakin bertambah.
Sungai-sungai juga bukannya semakin bersih, malah semakin kotor oleh
sampah-sampah.
Semua ini
membuatku jadi bertanya-tanya, jika manusia-manusia yang tinggal di
Banjarnegara semakin banyak dan semakin banyak, apa yang akan terjadi dengan
lingkungannya?
Masyarakat kita
didominasi orang-orang miskin. Masalah sampah tentu saja bukan menjadi
prioritas. Prioritas orang-orang miskin tentu saja bagaimana memperoleh uang
untuk membiayai kehidupan mereka. Jadi, kalau lingkungan kita masih berantakan,
masih ada sampah di mana-mana, bisa jadi kita masih tergolong orang-orang
miskin. Ya, miskin harta. Ya, miskin ilmu.
Ya, begitulah.
Mungkin.
--------------------
Baca Postingan Lain di Guru Mulang :
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!