Langsung ke konten utama

Tidak Ada Anak Bodoh di Dunia Ini

"Mencintai anak-anak tidaklah cukup, yang juga penting adalah membuat anak-anak menyadari bahwa mereka dicintai orangtuanya."
- St. John Bosco -

Tidak ada anak bodoh. Mereka yang kamu anggap bodoh sebenarnya hanya anak-anak yang kurang beruntung. Aku tak tahu ini naif atau tidak. Menurutku semua anak pada dasarnya cerdas dan baik. Tak ada anak bodoh. Tak ada anak jahat.

Dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), Howard Gardner mengidentifikasi setidaknya delapan kecerdasan berbeda yang digunakan manusia untuk bertahan hidup, berkembang, dan membangun peradaban.

Kecerdasan yang dimaksud yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalistik. Setidak-tidaknya anak-anak pasti memiliki salah satu dari delapan kecerdasan tersebut sebagai bekal tumbuh kembangnya. Bekal unik inilah yang harus dimanfaatkan sebaik-baiknya.

Sayangnya, banyak anak-anak yang kurang beruntung karena terlahir dari orang tua bodoh. Orang tua bodoh tidak tahu dan tidak mau tahu bagaimana mendidik anaknya. Orang tua bodoh tidak mampu membantu anak memanfaatkan bekal unik yang dimilikinya untuk tumbuh kembang terbaiknya. Bahkan mungkin, mereka tak peduli dengan anak-anaknya.

Anak-anak yang kamu anggap bodoh sering kali hanyalah anak-anak yang kurang beruntung karena tak dilahirkan dari orang tua yang bertanggung jawab, mereka tak bertemu orang yang peduli, mereka tak dididik guru yang kompeten, mereka tidak tinggal di lingkungan yang mendukung tumbuh kembangnya.

Keyakinan seperti ini membawa konsekuensi bahwa sebagai seorang guru, aku tak boleh menjustifikasi murid-muridku dengan sebutan bodoh, nakal, malas, atau biadab. Mereka hanya anak-anak yang kurang beruntung.

Sebut saja Sani. Dia termasuk anak yang kurang beruntung. Ibunya meninggal saat dia masih kecil. Jelas dia kekurangan kasih sayang ibunya. Padahal, kasih sayang dan perhatian seorang ibu amat penting untuk tumbuh kembang anak.

Ketidakberuntungan Sani masih ditambah dengan perilaku ayahnya yang sering mabuk-mabukan. 

“Aku kemarin diajak mabok sama bapak, sama Pak Muji juga,” begitu kata Sani saat kutanyai tentang bapaknya. Dia diberi segelas ciu oleh bapaknya. Padahal, Sani baru kelas lima. Bayangkan! Anak yang harusnya dibimbing ke arah yang benar malah diajak mabok sejak kecil.

Sani juga pernah melihat ayahnya sedang mencopet di terminal. Bapaknya tak segan-segan memperlihatkan perbuatan buruk di depan anaknya seolah-olah itu adalah hal yang wajar. Alhasil, perilaku Sani pun tak jauh beda dengan ayahnya.

Di sekolah ia kerap mencuri uang teman-temannya. Bukan sekali atau dua kali. Aku berkali-kali harus memanggilnya ke kantor untuk memberinya nasehat dan sanksi atas tindakannya itu.

Perilaku menyimpangnya tak hanya mencuri. Dia kerap mengganggu teman-temannya baik yang laki-laki maupun perempuan.

Saat aku menjadi wali kelasnya, para guru membombardir dengan "nasehat" untuk berhati-hati dengan Sani sambil menceritakan pengalaman mereka menjadi wali kelas Sani. Mereka bilang Sani bodoh, nakalnya sudah kelewat batas, sinting, bahkan ada yang bilang Sani sudah tak "tertolong" lagi.

Sani mendapat cap buruk dari banyak orang. Padahal, dia sebenarnya seperti anak yang lainnya, hanya saja dia kurang beruntung.

Lain Sani lain lagi Ipul. Ayah dan ibunya bercerai sejak ia masih kecil. Ayahnya kembali ke kampung halamannya di daerah Sukabumi. Sedangkan ibunya merantau ke luar negeri. Bertahun-tahun ia tak pernah berjumpa dengan ayah dan ibunya. Ayahnya tak pernah berkirim pesan atau menanyakan kabarnya. Ibunya hanya pulang beberapa tahun sekali.

Dia kini tinggal dengan kakek, nenek, paman, serta bibinya. Ipul sedikit lebih beruntung dari Sani karena orang-orang di sekitarnya tak melakukan perbuatan-perbuatan buruk seperti yang dilakukan bapak Sani. Namun tetap saja dia adalah anak yang kurang beruntung.

Orang tua adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Sialnya Ipul tak pernah mendapatkan sekolah pertamanya itu. Ipul menunjukkan motivasi yang sangat rendah dalam belajar. Ia tak mengerjakan tugas-tugas dariku. Ia membawa semua buku pelajaran ke sekolah atau tak membawanya sama sekali.

Aku pernah bertanya kepadanya apakah dia belajar di rumah. Dia bilang tidak. “Nggak ada yang marahin aku kalau aku nggak belajar, Pak,” kata Ipul kepadaku.

Orang-orang di sekitarnya mungkin merasa kasihan kepada Ipul sehingga ia dimanjakan. Tapi, cara memanjakannya sungguh keliru. Ipul mestinya masih harus didorong untuk belajar. Apalagi ia masih di tahap sekolah dasar. Tapi, mau bagaimana lagi.

Tak semua keluarga menganggap pendidikan sebagai prioritas utama. Kakek dan neneknya sudah sangat senang Ipul bisa sekolah. Perihal dia belajar atau tidak yang penting sudah ikut sekolah.

Menurut Ki Hajar Dewantara keluarga adalah salah satu dari trisentra pendidikan yang punya peran paling penting dalam tumbuh kembang anak. Dalam keluarga anak belajar budi pekerti dan bersosialisasi. Namun nyatanya ada anak-anak yang justru terabaikan oleh keluarganya.

Seperti Azhar yang baru kelas empat. Dia tinggal bersama ibu dan ayah tirinya. Namun, ekonomi ibu dan ayah tirinya tak begitu baik. Azhar seringkali tak diberi uang jajan saat sekolah. Orang tuanya sangat kasar kepadanya. Pernah suatu ketika Azhar meminta uang jajan seribu rupiah dan dia malah diusir dari rumah.

Salah satu temanku, pernah menemukan Azhar sedang berjalan gontai sambil membawa tas besar berisi pakaian. Ternyata Azhar sedang minggat dari rumah karena dimarahi ibunya sebab dia meminta makan. Coba bayangkan, anak sendiri meminta makan malah dimarahi. Azhar juga pernah diusir dari rumahnya.

Orang tua Azhar jarang berada di rumah. Kerap kali Azhar pulang sekolah dan tak menemukan siapa pun di rumah. Ia juga kerap tak menemukan apa-apa untuk dimakan. Kebutuhan fisiologisnya tak terpenuhi. Padahal ini merupakan kebutuhan di tingkat paling dasar.

Menurut Maslow terdapat lima tingkat kebutuhan dasar, yaitu: kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan rasa aman, kebutuhan akan rasa memiliki dan kasih sayang, kebutuhan akan penghargaan dan kebutuhan akan aktualisasi diri. Anak-anak tidak akan termotivasi mengaktualisasi dirinya jika kebutuhan paling dasarnya tak terpenuhi. Bagaimana mungkin anak bisa belajar jika perutnya selalu lapar? Karena hal inilah Azhar kerap mencuri di sekolah untuk membeli jajan. Secara tak sadar ia terdorong oleh insting bawah sadarnya untuk bertahan hidup.

Pernah suatu ketika dia tertangkap basah mencuri di rumah warga. Dia jadi bahan tontonan seluruh warga desa. Semua orang memandangnya dengan jijik. Tak kecuali bapak dan ibunya. Menurutku ini saja sudah hukuman yang sangat berat buatnya. Namun rupanya ia masih mendapatkan hukuman tambahan dari orang tuanya. Dia direndam dalam kolam ikan seharian. Dalam dirinya sudah ada cap seorang pencuri. Orang tua dan masyarakatlah yang telah memberi cap itu. Azhar baru kelas empat sekolah dasar. Bagaimana dia bisa menghapus cap itu?

Tentu ada banyak anak yang lebih tak beruntung lagi dibanding mereka. Mereka yang dicap bodoh, nakal, malas, pecundang, seringkali sebenarnya tak pernah menginginkannya. Mereka dibentuk oleh orang tua, guru, atau lingkungan di sekitarnya.

Dari mereka aku belajar untuk tak perlu menghakimi siswa-siswaku, bahkan untuk tak perlu menghakimi siapa pun. Tak perlu memberi label-label baik, pintar, rajin, malas, jahat, dan sebagainya.

Cukup bagiku untuk berusaha memahami mereka, memahami kebutuhan mereka, dan berusaha memberikan yang terbaik buat mereka.

Aku berharap kelak mereka akan bertemu dengan guru yang lebih baik dariku, yang lebih mampu memahami, yang lebih mampu mendampingi, dan lebih mampu mengarahkan mereka menjadi manusia yang lebih beruntung.

Disclaimer:

Nama-nama yang kuceritakan di tulisan ini bukanlah nama sesungguhnya, ini semata-mata untuk melindungi privasi mereka.

Referensi:

Gardner, H. (2024). Pandangan penting Howard Gardner tentang pendidikan . New York: Teachers College Press.


Rahmat Hidayat, Deden (2011). Zaenudin A. Naufal, ed. Teori dan Aplikasi Psikologi Kepribadian dalam Konseling. Ghalia Indonesia. hlm. 165–166. ISBN 978-979-450-654-7.


Tauchid, M. (2013). Ki Hajar Dewantara; Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka; Jilid 1 Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Tamansiswa


---------------------------


Postingan Terkait:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Memanfaatkan Buku "Seandainya Saya Wartawan Tempo" Sebagai Bahan Refleksi Seorang Guru

"Kalau dipikir-pikir, ada persamaan antara wartawan dengan guru. Sama-sama mendidik. Wartawan mendidik masyarakat melalui tulisan-tulisannya. Sementara guru mendidik siswa melalui pembelajarannya." Buat apa seorang guru membaca buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo”? Guru tak bertugas menulis berita. Jadi, buat apa? Saya lupa kapan membeli buku tipis ini. Saya menemukannya setelah sekian lama berada di tumpukan buku-buku yang tak terbaca dan tak terurus. Saya mengumpulkan semua buku yang ada kaitannya dengan bahasa Indonesia. Hasilnya banyak didominasi buku-buku kuliah. Ada kamus bahasa Indonesia yang sudah robek, esai-esai bahasa, dan buku ini. Di antara buku-buku yang saya kumpulkan, saya memilih membaca buku ini. Mungkin karena buku ini lebih tipis dari buku-buku lain. Isinya hanya 96 halaman. Buku ini sebenarnya dicetak sebagai bahan pendidikan bagi para wartawan yang bekerja di majalah Tempo, terutama dalam menulis dan menyusun berita bentuk feature . Demi manfaat yang le...

Materi PPT Garis dan Sudut Matematika Kelas 4

  Assalamualaikum, bapak/ibu guru semuanya.  Kali ini guru mulang.com akan membagikan materi presentasi garis dan sudut dalam bentuk PPT.  Garis dan sudut merupakan salah satu materi yang menjadi dasar untuk mempelajari materi-materi geometri yang lain. Garis adalah rangkaian titik-titik yang saling terhubung. Sedangkan sudut adalah wilayah yang terbentuk dari dua buah garis lurus yang saling berpotongan.  Siswa yang mengetahui konsep garis dan sudut akan sangat terbantu dalam materi bangun datar maupun bangun ruang yang mulai diajarkan pada kelas 4 SD.  Untuk itu bapak/ibu, tentu kita tak mau anak-anak didik kita sampai gagal paham apa yang dimaksud garis dan apa yang dimaksud sudut. Nah, kali ini kami bagikan materi garis dan sudut dalam bentuk ppt interaktif.  Dalam materi yang kami bagikan kali ini, ada soal-soal interaktif di dalamnya yang bisa dikerjakan bersama-sama ketika mempelajari garis dan sudut.  Baiklah, tak perlu berlama-lama lagi, berik...

Tutorial Membaca Nilai Rapor

"Nilai rapor tak lagi mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nilai rapor adalah nilai yang sudah dikatrol" Kalau kamu malas belajar, bodoh, jarang berangkat sekolah, tak pernah mengerjakan tugas dari gurumu, sering bikin ulah di sekolah, dan mengerjakan ujian asal-asalan, siap-siaplah terkejut dengan nilai rapormu. Mungkin kamu mengira nilai rapormu jelek semua, bahkan mungkin kamu mengira tidak akan naik kelas. Eiitss.... Kamu akan terkejut. Itu semua tak akan terjadi. Percayalah! Rapor zaman dulu ada nilai merah. Nilai merah berarti kemampuan anak kurang memadai. Zaman dulu hal seperti ini wajar saja. Sekarang, saat aku jadi guru, rupanya tak ada lagi nilai merah. Semua siswa "harus" diberi nilai di atas KKM, meskipun nyatanya ada siswa yang benar-benar tak layak dapat nilai di atas KKM. Nilai rapor tak lagi mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nilai rapor adalah nilai ya...

Bahagia Menjalani Hidup Seperti Anak-Anak

Saya rasa, satu kualitas hidup yang dimiliki anak-anak dan membuat mereka mudah bahagia adalah kemampuan mereka untuk memaafkan kesalahan orang lain. Sebagai guru SD jarang sekali saya mendapati murid-murid saya bersedih atas suatu masalah. Mereka memang mudah menangis kalau mengalami satu masalah yang sulit mereka atasi. Misalnya, saat berantem dengan temannya. Namun, itu tak pernah berlangsung lama. Hari itu juga mereka bisa berbaikan lalu kembali ketawa-ketiwi seolah tak terjadi apa-apa. Mereka terlihat selalu bahagia. Apa rahasianya? Saya penasaran mengapa anak kecil selalu terlihat bahagia. Sebagai guru SD, saya punya banyak waktu dan kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka dan mencoba mencari tahu mengapa mereka selalu terlihat bahagia. Setidaknya, ada beberapa hal yang saya kira menjadi penyebab anak kecil relatif terlihat selalu bahagia. 1. Mudah memaafkan Saat mengajar kelas 4, ada seorang siswa yang berkelahi dengan temannya. Waktu itu saya sedang memeriksa kelom...

Meninggalkan Jejak Kebaikan

"Aku tak cuma seorang guru di sana. Aku menjelma menjadi tukang cat dinding, tukang potong rumput dan tanaman hias, tukang membetulkan atap yang bocor, tukang antar siswa pulang sekolah, petani singkong dan jagung, sampai menjadi tukang air." - Guru Mulang - Ketika aku masih kuliah di semester delapan, aku mendapat tawaran bekerja di salah satu sekolah di desaku. Tepatnya di MI GUPPI Rakitan. Aku menolak. Saat itu, aku masih mengerjakan skripsi. Mengerjakan skripsi saja rasanya sudah keteteran sekali, apalagi ditambah dengan beban pekerjaan. Aku merasa tak mampu. Aku berencana mengejar target lulus sebelum pembukaan rekrutmen CPNS dimulai dan akan mengikuti rekrutmen CPNS. Namun, sialnya aku lulus ketika proses rekrutmen telah berakhir. Dan sejak saat itu proses rekrutmen CPNS tak kunjung dibuka.  Aku teringat tawaran untuk bekerja di MI GUPPI Rakitan, tempat dulu aku bersekolah. Aku datang ke sana memakai baju lengan panjang berwarna biru dan mengajukan lamaran pekerjaan. ...

Negeri Jagung dan Anak-Anaknya | Ulasan Buku Bocah Penjinak Angin, William Kamkwamba

"Penggambaran suasana saat terjadinya bencana kelaparan benar-benar bikin merinding. Orang-orang berjalan gontai seperti zombi. Tubuh mereka kurus seperti menyisakan tulang dan kulitnya saja." “Bocah Penjinak Angin” adalah sebuah novel yang bisa kutebak alur ceritanya dengan membaca uraian singkat di belakang buku. Memang ada jenis novel yang seperti itu. Buku ini salah satunya. Aku membeli dan membacanya, sebab yang menarik bukanlah alur cerita buku itu, melainkan gambaran kondisi di suatu lingkungan yang asing buatku. Afrika. Ketertarikanku terhadap buku ini juga karena kisah dalam buku ini diambil dari kisah nyata penulisnya. Latar tempatnya di Malawi, salah satu negara di wilayah benua Afrika. Aku belum pernah membaca novel dengan latar wilayah Afrika. Jadi, sepertinya menarik.  Malawi termasuk negara miskin. Saking miskinnya dari seluruh wilayah, hanya sekitar 11 % yang menikmati listrik. Aktivitas warga setelah matahari terbenam otomatis terhenti dan yang ada tinggal lo...

Resensi Buku Senja dan Cinta yang Berdarah Karya Seno Gumira Ajidarma

  Mulai dari seorang pendekar yang meloncat dari satu rumah ke rumah lain, percintaan di dalam kereta api, anak pelacur yang kebingungan menulis cerita, senja yang dicuri, pemain bola yang menggiring bolanya sampai ke ujung dunia; apapun bisa ditulis oleh Seno. OPEN ENDING DAN CERITA YANG TELAH SELESAI DITULIS Selama liburan semester, tak banyak yang bisa saya lakukan selain membaca buku. Dari pada tidak melakukan apapun, saya duduk di sofa, buku di tangan kiri, kopi di tangan kanan, jodoh di tangan Tuhan. Mantap! Mulailah saya membaca. “Senja dan Cinta yang Berdarah,”adalah salah satu buku yang saya baca. Buku ini berisi 85 cerita pendek yang ditulis Seno Gumira Ajidarma di Harian Kompas 1978-2013. Cerita pertama yang saya baca adalah “Pembunuhan”(1978). Seorang pengarang cerita detektif (pensiunan intel melayu yang sangat dibenci bandit-bandit) menulis cerita tentang seorang pencari kayu bakar di hutan yang melihat mayat perempuan dan seorang lelaki yang berlari membawa gol...

Mengisap Asap

"Masyarakat kita didominasi orang-orang miskin. Masalah sampah tentu saja bukan menjadi prioritas. Prioritas orang-orang miskin tentu saja bagaimana memperoleh uang untuk membiayai kehidupan mereka. Jadi, kalau lingkungan kita masih berantakan, masih ada sampah di mana-mana, bisa jadi kita masih tergolong orang-orang miskin. Ya, miskin harta. Ya, miskin ilmu."  MENGISAP ASAP Salah satu harapan hidup di desa adalah dapat menghirup udara segar di pagi hari. Namun, harapan hanya harapan. Nyatanya, orang-orang di desa kerap membakar sampah mereka tak kenal waktu dan tak kenal tempat. Orang-orang telah menganggap biasa hal ini. Mereka mungkin tidak merasa bersalah dan tidak tahu bahwa sebenarnya yang mereka lakukan melanggar hukum. Asap dari sampah yang mereka bakar menjadi polutan yang terisap masuk sistem pernapasan manusia. Aku kesal sekali dengan hal ini. Pasalnya, perjalananku berangkat kerja diwarnai asap pekat hasil pembakaran sampah di pinggir jalan. Dari Desa Ampel...

Membaca Percikan Pemikiran Dr. M. Arfan Mu’ammar, M.Pd.I dalam Nalar Kritis Pendidikan

"Kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” menjadi sesuatu yang diterima    sebagai “yang memang seharusnya demikian.” - Pierre Bourdieu - Buku “Nalar Kritis Pendidikan” ditulis oleh M. Arfan Mu’ammar, seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Di sampul depan buku ini ada gambar wajah manusia dengan bagian kepala dibuat transparan sehingga otak di dalamnya terlihat. Gambar ini sesuai sekali dengan judul buku. Nalar kritis tentu erat kaitannya dengan otak yang merupakan sarana berpikir kritis. Kalau otak tidak beres bagaimana mau berpikir kritis? Bagian latar belakang gambar wajah manusia itu adalah benda-benda yang erat kaitannya dengan pendidikan. Banyak sekali. Pulpen, pensil, bola, gitar, buku, kok, tas sekolah, mesin ketik, kuas, cat, dan telepon pintar. Benda-benda ini boleh jadi melambangkan betapa pendidikan itu kompleks sekali. Ia tak semata-mata mengurus perihal kecerdasan otak. Ia juga mengurus kelembutan perasaan yang dipero...