Ulasan Buku Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka; I (Pendidikan) karya Ki Hadjar Dewantara
![]() |
“Pengajaran harus bersifat kebangsaan. Kalau pengajaran bagi anak-anak tidak berdasarkan kenasionalan, anak-anak tak mungkin mempunyai rasa cinta bangsa dan makin lama terpisah dari bangsanya, kemudian barangkali menjadi lawan kita. Pengajaran nasional itulah hak dan kewajiban kita.” ― Ki Hadjar Dewantara, 1928
Upaya Menghapus Kolonialisme
Dalam Pendidikan
Kalau harus menyebutkan salah satu buku yang wajib dibaca seorang guru minimal sekali dalam seumur hidupnya, aku yakin buku inilah jawabannya. Buku bersampul kuning berjudul Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka; I (Pendidikan) diterbitkan Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa. Buku tersebut berisi pemikiran Ki Hadjar Dewantara dalam naskah-naskah pidatonya dan berbagai artikel yang terserak di media massa. Artikel dan naskah pidato beliau dikelompokkan sesuai tema dalam delapan bab: (1) Pendidikan Nasional, (2) Politik Pendidikan, (3) Pendidikan Kanak-Kanak, (4) Pendidikan Kesenian, (5) Pendidikan Keluarga, (6) Ilmu Jiwa, (7) Ilmu Adab, dan (8) Bahasa.
Aku serius! Buku ini wajib kalian baca. Tapi, aku ingatkan, buku ini berjarak hampir 100 tahun dari kehidupan kita. Gaya bahasa dalam buku ini mungkin sedikit asing buat kita. Kalau kalian jarang baca buku, kemungkinan kalian akan segera bosan membaca buku ini. Sesuatu yang bermanfaat memang sering kali membosankan.
Meski berjarak hampir 100 tahun dari zaman ini, gagasan di dalam buku ini masih sangat relevan untuk kita kaji. Konsep trisentra
pendidikan misalnya, Ki Hadjar Dewantara mengemukakan pentingnya tiga elemen
pendidikan, yaitu
keluarga, sekolah, dan pergaulan. Tiga elemen ini harus saling terkait untuk suksesnya pendidikan nasional.
Di dalam hidupnya anak-anak
adalah tiga-tempat pergaulan yang menjadi pusat pendidikan yang amat penting
baginya, yaitu: alam-keluarga, alam perguruan, dan alam pergerakan pemuda. Hlm 70.
Dalam trisentra pendidikan,
keluarga berperan mendidik budi pekerti dan laku sosial; sekolah mengajarkan pengetahuan
atau intelektualitas; dan pergerakan pemuda sebagai pembentuk watak dan sarana aktualisasi diri.
Tak sedikit orang tua
menyerahkan anaknya ke sekolah lantas melepas tanggung jawab mendidik budi
pekerti anaknya. Mereka cuci tangan; sebab setelah membayar guru tak merasa
perlu mendidik anaknya. Tapi lucunya, banyak yang tak terima ketika guru
berupaya mendidik anak-anak mereka.
Banyak kasus wali siswa
mempolisikan guru setelah anaknya dihukum karena melanggar tata tertib sekolah.
Mereka tak menerima cara sekolah mendidik anak-anaknya. Kasus-kasus seperti ini
mencerminkan kurangnya kerja sama antara sekolah dan wali siswa. Kita perlu mendalami
lagi konsep trisentra pendidikan lantas mengimplementasikannya dalam sistem
pendidikan. Butuh kerja sama dan kesungguhan. Tapi, ini tak semudah
mengucapkannya!
Bab pertama dan kedua cukup banyak
membahas prinsip-prinsip pendidikan nasional. Menurut Ki Hadjar Dewantara
pengajaran harus bersifat kebangsaan. Artinya, jangan sampai siswa tercerabut
dari akar budaya bangsanya. Ki Hadjar kerap mengkritik sekolah-sekolah Belanda
yang hanya fokus pada pengembangan intelektualitas siswa, semata-mata demi
mendapatkan tenaga kerja pribumi yang murah dan sekadar mampu baca tulis.
Pada jaman itu nampak teranglah,
bahwa pendidikan dan pengajaran yang diberikan oleh pemerintah Belanda kepada
rakyat kita, semata-mata didasarkan pada asas dan dasar kolonial, yaitu
semata-mata untuk kepentingan penjajahan dari pihak bangsa Belanda. Walaupun
pada waktu yang akhir-akhir pemerintah terpaksa, karena dorongan pergerakan
rakyat kita, sedikit demi sedikit memberi pengluasan dalam lapangan pengajaran,
akan tetapi pengluasan itu hanya diperuntukkan bagi lapisan kecil, yaitu
lapisan dari rakyat kita yang tertinggi, sedangkan rakyat murba terus tinggal
hidup di dalam suasana yang gelap gulita. Hlm 147.
Melalui Taman Siswa, Ki Hadjar
Dewantara memperjuangkan bentuk ideal pendidikan nasional yang beliau
cita-citakan. Ia sangat berharap seluruh lapisan rakyat memiliki akses ke
pendidikan yang tidak berorientasi semata-mata kepentingan kolonial. Pendidikan
harus memberi manfaat sebesar-besarnya bagi diri, masyarakat, lingkungan, dan
negara.
Kelak setelah merdeka harus ada
manusia-manusia yang sedia dan cakap mengurus diri dan bangsanya, sebab merdeka
tak hanya berarti lepas dari penguasaan orang lain. Begitulah pendidikan yang
berhasil menurut Ki Hadjar Dewantara.
Pendidikan tak pernah lepas dari
kepentingan-kepentingan. Para penjajah mendidik pribumi untuk mendapatkan jongos
yang bisa baca tulis. Para pejuang mendidik rakyat agar tahu posisinya dan
berharap kelak mampu memimpin negerinya sendiri. Pemerintah Belanda menamai
sekolah-sekolah yang tidak sesuai dengan kepentingan mereka sebagai sekolah
liar. Sebutan sekolah liar membuat ijazah tak diakui di mana-mana. Namun,
melalui dan bersama Taman Siswa, Ki Hadjar Dewantara tetap berupaya menghapus
kolonialisme dalam pendidikan demi terwujudnya pendidikan nasional yang beliau
cita-citakan. Menurutnya, pendidikan itu tak hanya membangun, namun juga
membongkar: membangun yang nasional dan membongkar yang kolonial.
Permainan untuk Mendidik
Anak-Anak
Dalam bab selanjutnya, banyak
dibahas bagaimana menggunakan permainan dalam mendidik anak-anak. Pada masa
prasekolah atau yang lebih dikenal Taman Kanak-Kanak (TK) Ki Hadjar
mengungkapkan sebaiknya anak-anak belajar melalui permainan kanak-kanak. Tak
perlu belajar membaca atau menulis terlebih dahulu. Anak-anak perlu berlatih
menguasai diri sendiri dan menyadari keterlibatan dirinya dengan orang lain.
Permainan kanak-kanak sungguh
bermanfaat sekali untuk mendidik perasaan diri dan sosial, selfdisiplin, ketertiban,
kesetiaan atau ketaatan pada janji dan kesanggupan, membiasakan bersikap awas
dan bijaksana serta siap sedia menghadapi keadaan dan peristiwa dengan berpikir
re-eel agar tak gampang putus asa. Hlm 248.
Anak-anak punya energi yang tak
habis-habis mereka pakai. Pagi hingga malam mereka kuat berlari-lari dan
mencoba berbagai hal baru. Rasa ingin tahu mereka yang begitu kuat dengan
energi yang seolah tak terbatas membuat mereka selalu aktif bergerak. Memaksa
anak belajar membaca atau menulis dalam satu ruang kelas sama saja memenjarakan
mereka. Nampaknya, Ki Hadjar Dewantara terpengaruh ide-ide pendidikan Frobel
dan Montessori. Beliau banyak membahas gagasan-gagasan dari dua tokoh
pendidikan terkenal ini dan membandingkannya dengan sistem among di Taman
Siswa. Menurutnya, sistem among tak jauh berbeda dengan gagasan-gagasan Frobel
dan Montessori.
Saat ini pada fase TK, anak-anak
tak diperbolehkan belajar membaca dan menulis. Namun, banyak yang memprotes hal
ini lantaran di tingkat SD kelas 1 materi-materi yang diajarkan sudah cukup
berat. Harusnya, jika pada fase TK anak-anak tidak belajar membaca dan menulis,
maka di kelas 1 anak-anak baru belajar membaca dan menulis. Sayangnya tak
demikian, buku-buku kelas satu berisi bacaan-bacaan yang panjang dengan materi
yang cukup berat. Saya bahkan pernah menemukan materi dalam buku kelas 1 yang
isinya penerapan nilai-nilai Pancasila dilengkapi soal-soal yang harus mereka
kerjakan. Bayangkan, materi kelas 1 SD seperti materi yang diujikan dalam SKD
CPNS bidang tes wawasan kebangsaan. Saya tahu maksud baik pemerintah dan
penulis buku: ingin anak-anak berjiwa dan berkarakter Pancasila. Namun, apakah
harus dengan membaca dan menjawab soal-soal yang membosankan itu?
Menurut Ki Hadjar Dewantara
pendidikan budi pekerti bukan dengan mengajarkan teori-teori kebaikan dan
keburukan serta dalil-dalinya, beliau menghendaki pembiasaan berbuat baik dalam
kehidupan sehari-hari. Teori-teori hanyalah alat dan jangan sampai dijadikan
tujuan.
“Terhadap anak-anak cukuplah
kita membiasakan mereka bertingkah laku baik, sedangkan bagi anak-anak yang
sudah dapat berpikir, diberikan keterangan-keterangan yang perlu, agar mereka dapat
pengertian dan keinsyafan tentang kebaikan dan keburukan pada umumnya. Barang
tentu perlu juga kepada yang dewasa kita berikan anjuran-anjuran untuk
melakukan pelbagai laku yang baik dengan cara disengaja. Dengan begitu maka
syarat pendidikan budi pekerti yang dahulu biasa disebut metode menyadari,
menginsyafi, dan melakukan dapat terpenuhi.”
Gagasan-gagasan dalam buku ini yang masih relevan untuk kita kaji antara lain konsep pendidikan holistik, sistem among yang mengharuskan guru menjadi seorang fasilitator, pendidikan karakter, dan trisentra pendidikan. Buku ini dapat menjadi sumber inspirasi bagi para guru atau orang-orang yang peduli dengan dunia pendidikan. Kita juga bisa menggunakannya sebagai sarana refleksi dan evaluasi pendidikan nasional saat ini.
Informasi Buku:
Judul: Pemikiran, Konsepsi,
Keteladanan, Sikap Merdeka Pendidikan Ki Hadjar Dewantara
Penulis: Ki Hadjar Dewantara
Tebal: xxiv+555 hlm.
Genre: Pendidikan
Cetakan: II, 1977
ISBN: 978-602-17212-3-0
Penerbit: Majelis Luhur
Persatuan Tamansiswa, Yogyakarta
--------------------
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!