CONGKAK
Dengar, dunia telah dipenuhi orang-orang dengan sifat congkak; merasa dan bertindak dengan memperlihatkan diri sangat mulia; menyombongkan apa yang tak pernah benar-benar dimilikinya.
Barangkali, hal ini karena sejak kecil kita didikte untuk menjadi yang terbaik. Orang tua menggembleng kita agar meraih prestasi tertinggi. Kita ikut banyak perlombaan untuk membuktikan bahwa kita unggul. Kita memperjuangkan sesuatu yang menurut orang lain layak diperjuangkan.
Kita jadi sombong jika berhasil meraihnya; menganggap bahwa semua itu hasil usaha kita sendiri. Saat gagal, kita terjerumus dalam kesombongan karena tak mau menerima bahwa kegagalan adalah bagian hidup manusia.
Dengar, jika kamu tak mampu menerima kegagalan sebagai bagian hidupmu, kamu akan selamanya didikte orang lain. Kita harus menerima bahwa terkadang dan bahkan sering, kita bukanlah siapa-siapa.
Setelah lebih dewasa, kamu mencoba lepas dari orang tua; tidak ingin lagi mereka mendikte hidupmu. Kamu ingin menentukan sendiri apa yang benar-benar penting dan layak untukmu. Tapi, benarkah kita bisa menentukan sendiri apa yang penting dan tidak buat hidup kita? Jawabannya: kemungkinan besar tidak!
Setelah lepas dari orang tua, kita bertemu diktator yang lebih besar dan lebih berbahaya: media massa.
Hari ini, kita diseret derasnya arus informasi media massa. Keputusan-keputusan yang kita ambil, dari yang filosofis hingga yang praktis, apa yang kita anggap penting, apa yang kita pikir layak diperjuangkan, hampir tidak mungkin tidak dipengaruhi oleh media massa. Bahkan, ukuran kecantikan kita pun dipengaruhi oleh media massa.
Seorang wanita yang ingin terlihat cantik tak bisa lepas dari pengaruh media yang secara gencar mengidentikkan sosok kecantikan dengan orang berkulit putih mulus, berhidung mancung, berambut hitam dan memesona, tinggi semampai, dan lain-lain. Saat kita tak punya hidung mancung, kulit putih, rambut yang indah, dan hal-hal artifisial lainnya, kita merasa buruk. Ukuran tentang bagaimana wanita boleh dikatakan cantik ditentukan oleh media. Bukan kita sendiri! Meskipun kita kerap mengelak dengan berkata bahwa cantik itu relatif.
Melihat orang lain meraih prestasi sementara kita belum atau bahkan tidak pernah, seringkali membuat kita merasa tak berguna.
Saat kita sedang merasa buruk, hari minggu hanya tidur-tiduran di kamar, lantas kita membuka media sosial dan menemukan puluhan unggahan orang lain yang sepertinya sedang sangat menikmati hari minggunya, seperti liburan di pantai, makan-makanan di resto, menekuni hobinya, kita semakin merasa buruk. Kita dicecar unggahan-unggahan yang memuat kebahagiaan orang lain yang belum tentu benar lantas kita merasa hidup ini seperti tahi ayam.
Kita terdorong oleh standar-standar yang ditetapkan orang lain, dan menjadi sombong jika berhasil meraihnya. Kita telah terdoktrin bahwa kita harus menjadi istimewa dengan lebih unggul dari orang lain, atau minimal dengan menjadi seperti yang dikatakan oleh media. Kita sulit menerima bahwa kita ini sebenarnya biasa-biasa saja. Perasaan sulit menerima bahwa kita biasa-biasa saja juga merupakan sebuah kesombongan. Jenis kesombongan yang sering tidak kita sadari.
Mengakui bahwa kita tak sehebat yang kita kira adalah bentuk kerendahan hati yang akan mendorong kita melakukan perbaikan-perbaikan dalam hidup. Kerendahan hati akan menyelamatkan kita dari arus deras tirani media massa.
Sebenarnya, ada panduan yang sangat cantik mengenai bagaimana mengukur diri kita secara benar dengan melihat orang lain. Panduan itu diberikan oleh seorang manusia pilihan, Nabi Muhammad SAW. “Lihatlah orang di atasmu agar kamu tidak merasa sombong....” Sayangnya, bukan kerendahan hati yang lebih sering kita pilih. Sering kali kita melihat orang-orang yang lebih dulu sukses dari kita bukan dalam rangka menghilangkan kesombongan kita, melainkan untuk terobsesi menjadi seperti orang itu.
Pada akhirnya ketika kita tidak bisa menjadi seperti orang itu kita kecewa dan menyalahkan diri sendiri dan merasa hidup kita tak berguna dan benar-benar seperti tahi.
Di tengah dunia yang terus mencecar kita dengan pancapaian-pencapaian barangkali suatu ketika kita sangat terpuruk sebab merasa tak pernah melakukan apapun. Ketika kita merasa sangat buruk dan tak bisa menerimanaya, itu adalah sebuah kesombongan.
Kita terjerumus dalam kesombongan ketika berhasil memenuhi standar-standar orang lain, namun kita juga terjerumus dalam kesombongan saat tidak berhasil memenuhi standar itu seolah-olah kita terlalu mulia untuk gagal.
Kesombongan menyertai kita, dalam kesuksesan maupun dalam kegagalan.
-----------------------
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!