![]() |
Mulai dari seorang pendekar yang meloncat dari satu rumah ke rumah lain, percintaan di dalam kereta api, anak pelacur yang kebingungan menulis cerita, senja yang dicuri, pemain bola yang menggiring bolanya sampai ke ujung dunia; apapun bisa ditulis oleh Seno.
OPEN ENDING DAN CERITA YANG TELAH SELESAI DITULIS
Selama liburan semester, tak banyak yang bisa saya lakukan selain membaca buku. Dari pada tidak melakukan apapun, saya duduk di sofa, buku di tangan kiri, kopi di tangan kanan, jodoh di tangan Tuhan. Mantap!
Mulailah saya membaca.
“Senja dan Cinta yang Berdarah,”adalah salah satu buku yang saya baca. Buku ini berisi 85 cerita pendek yang ditulis Seno Gumira Ajidarma di Harian Kompas 1978-2013.
Cerita pertama yang saya baca adalah “Pembunuhan”(1978). Seorang pengarang cerita detektif (pensiunan intel melayu yang sangat dibenci bandit-bandit) menulis cerita tentang seorang pencari kayu bakar di hutan yang melihat mayat perempuan dan seorang lelaki yang berlari membawa golok. Si pencari kayu jadi sering melamun di dalam hutan meskipun polisi sudah menetapkan bahwa tersangka pembunuhan adalah bekas pasien rumah sakit jiwa yang melarikan diri.
Tanpa diduga-duga oleh si pencari kayu, laki-laki yang tempo hari ia lihat membawa golok itu muncul di hadapannya sambil bertanya, “Apa kabar?”
Cerita
terputus di sini, karena tanpa diketahui si pengarang, seseorang telah
menyelinap masuk ke dalam ruang kerjanya dan mengacungkan pistol tepat ke
jantungnya, sambil bertanya, “Apa kabar?”
Nah, permainan ada pada kata “apa kabar” yang menjadi petunjuk munculnya plot twist; dalam cerita, si pembawa golok—dalam realita (yang padahal juga fiksi), orang berpistol yang bisa siapa saja.
Kita bisa lihat, sudah sejak muda Seno menggemari gaya open ending. Seno memberi kesempatan kepada pembaca untuk berimajinasi mengakhiri cerita sesuai selera. Namun bagi kalian yang suka didongengi sampai tuntas, siap-siaplah untuk bersungut-sungut karena cerita yang terasa menggantung dan nanggung.
Dalam dunia cerita pendeknya, Seno dapat menulis apa saja yang ia mau. Mulai dari seorang pendekar yang meloncat dari satu rumah ke rumah lain, percintaan di dalam kereta api, anak pelacur yang kebingungan menulis cerita, senja yang dicuri, pemain bola yang menggiring bolanya sampai ke ujung dunia; apapun bisa ditulis oleh Seno. Seno bisa mengakhiri cerita sekehendak hatinya. Ia bisa membuat tokoh utama menderita atau bahagia. Apapun bisa dilakukan Seno dalam dunia ceritanya. Namun, Seno kerap kali membuat cerita seolah-olah belum selesai dan memberikan kesempatan kepada pembaca untuk menentukan sendiri nasib tokoh utama dalam ceritanya.
Keberagaman tema dalam cerpen-cerpen Seno dan gaya kepenulisan fragmentaris membuat cerpen-cerpen Seno meninggalkan kesan yang dalam di hati saya dan membuat saya selalu ingin membaca cerpen Seno yang lain. Saya seolah-olah melihat kehidupan tokoh-tokoh dan cerita yang mereka bawa sedang berlangsung di hadapan saya. Seperti menonton sebuah film saja.
Benar-benar
seperti nyata.
Jika Seno Gumira Ajidarma—yang hanya seorang manusia—dapat menulis cerita sekehendak hatinya lantas menyerahkannya kepada pembaca, bagaimana dengan Tuhan? Apakah Tuhan juga menulis cerita? Ya. Barangkali Tuhan juga menulis cerita. Tuhan punya kuasa untuk menulis cerita apa saja sekehendak-Nya.
Lantas siapakah tokoh-tokoh utama dalam cerita yang Tuhan tulis? Tokoh-tokoh utama dalam cerita yang ditulis-Nya adalah kita. Cerita itu telah selesai ditulis-Nya. “Pena”telah diangkat, dan “tinta” telah mengering. Cerita kita telah selesai ditulis dalam lauh mahfuz. Dimulai dari rahim siapa kita lahir, bentuk wajah kita seperti apa, tinggi badan kita, warna kulit kita, siapa jodoh kita, kapan kita bertemu tokoh lain, kapan cerita semakin memuncak, kapan resolusi terjadi, dan kapan cerita itu berakhir (kita mati). Semuanya—bahkan sampai detail ceritanya—telah selesai ditulis dan terekam dalam lauh mahfuz.
Jika benar seperti itu, lantas siapakah yang membaca cerita-Nya? Tentu saja kita sendiri yang membacanya. Kita membaca sendiri cerita yang ditulis Tuhan dan kita sebagai tokoh utama dalam cerita yang kita baca. Setiap hari, setiap jam yang berlalu, menit yang terlewati, detik yang jadi masa lalu, sesungguhnya kita sedang membuka lembar demi lembar cerita yang ditulis Tuhan untuk kita.
Tapi, meskipun cerita itu telah selesai ditulis, kita tak bisa membacanya sekaligus sampai akhir cerita. Sehingga yang dapat kita baca hanyalah apa yang telah dan sedang kita lalui. Sementara masa depan, adalah lembaran-lembaran cerita yang belum dapat kita baca dengan tepat dan masih menjadi misteri.
Jika Tuhan memang menulis cerita, apakah Tuhan juga menggemari gaya open ending seperti Seno? Kalau ini saya tidak tahu. Coba saja tanya sendiri kepada Tuhan. Saya hanya menerka-nerka. Barangkali, Tuhan juga menggemari gaya open ending seperti Seno. Kita sebagai pembaca cerita yang ditulis oleh Tuhan dengan tokoh utama adalah diri kita sendiri, diberikan kesempatan untuk berimajinasi bahkan untuk merancang sendiri akhir cerita kita. Sebagai tokoh utama, terkadang kita membuat rencana masa depan, kan? Bahkan kita diajari untuk merancang masa depan dari kecil dengan pertanyaan, “kalau besar mau jadi apa?”
Sebagai pembaca sekaligus tokoh utama, seringkali kita membuat rencana-rencana. Rencana jangka panjang, rencana menikah dan punya anak sebelas, rencana makan sate bareng pak RT, rencana jangka pendek, rencana nonton bola dini hari, rencana jangka menengah, rencana bertemu teman, rencana menggarap skripsi, rencana makan malam di penyetan, rencana membeli baju, rencana berenang, dan banyak sekali rencana yang kita buat. Terkadang rencana itu berhasil kita lakukan sehingga kita gembira. Sering kali, rencana yang kita buat gagal sehingga kita bersedih. Rencana yang kita buat seperti potongan-potongan cerita yang kita usulkan kepada Tuhan. Saya jadi ingat perkataan, “saat manusia membuat rencana, Tuhan terpingkal-pingkal.”
Jika rencana kita gagal, apakah karena tidak sesuai dengan apa yang ditulis oleh Tuhan di lauh mahfuz? Entahlah. Saya juga tidak tahu. Yang jelas, selama kita masih hidup di dunia ini, kita punya kesempatan untuk menulis sendiri kisah kita dengan rencana-rencana dan usaha untuk mewujudkan rencana itu. Kalau kita berhasil, barangkali Tuhan menyetujui rencana kita dan menghapus cerita yang telah ditulis-Nya lantas menggantinya. Bukankah Tuhan tak akan mengubah nasib suatu kaum sebelum kaum itu yang merubahnya sendiri? Barangkali, inilah bentuk open ending yang digemari Tuhan. Tapi, jika rencana-rencana yang telah kita buat dan kita usahakan ternyata tak membuahkan hasil atau sering kita sebut gagal, tak usahlah bersedih hati. Toh, sebaik-baik cerita adalah yang ditulis oleh Tuhan.
Informasi Buku:
| Judul: Senja dan Cinta yang Berdarah; Antologi Cerita Pendek Seno Gumira Ajidarma di Harian Kompas,
1978-2013 | Pengarang: Seno Gumira Ajidarma | Editor: Andina Dwifatma | Penerbit:
Penerbit Buku Kompas, 2014 | ISBN: 9797098516, 9789797098513 | Tebal: 822
halaman |
--------------------
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!