Membaca Percikan Pemikiran Dr. M. Arfan Mu’ammar, M.Pd.I dalam Nalar Kritis Pendidikan

Buku “Nalar Kritis Pendidikan” ditulis oleh M. Arfan Mu’ammar, seorang dosen di Universitas Muhammadiyah Surabaya. Di sampul depan buku ini ada gambar wajah manusia dengan bagian kepala dibuat transparan sehingga otak di dalamnya terlihat. Gambar ini sesuai sekali dengan judul buku. Nalar kritis tentu erat kaitannya dengan otak yang merupakan sarana berpikir kritis. Kalau otak tidak beres bagaimana mau berpikir kritis?

Bagian latar belakang gambar wajah manusia itu adalah benda-benda yang erat kaitannya dengan pendidikan. Banyak sekali. Pulpen, pensil, bola, gitar, buku, kok, tas sekolah, mesin ketik, kuas, cat, dan telepon pintar. Benda-benda ini boleh jadi melambangkan betapa pendidikan itu kompleks sekali. Ia tak semata-mata mengurus perihal kecerdasan otak. Ia juga mengurus kelembutan perasaan yang diperoleh melalui seni, dilambangkan dengan kuas dan cat.

Pendidikan juga berurusan dengan kesehatan para peserta didik, dilambangkan dengan bola dan kok. Ada pula telepon pintar yang melambangkan budaya kita saat ini.

Memang begitu kompleksnya pendidikan karena ia mengurus hampir semua aspek dalam kehidupan ini. Pendidikan diharapkan mampu menghapus kebodohan dan kemiskinan. Pendidikan diharapkan mampu menumbuhkan jiwa nasionalis. Pendidikan diharapkan mampu melahirkan orang-orang yang agamis. Begitu kompleks. Tak heran jika masalah yang berkaitan dengan pendidikan juga tentulah sangat kompleks. Ruwet.

Bagian pertama buku ini membahas teori-teori pendidikan seperti behaviorisme, kognitifisme, humanisme, konstruktivisme, dan teori sibernetik. Kalau Anda seorang guru tentu sudah tak asing dengan teori-teori ini. Ada baiknya langsung dilompati saja. M. Arfan hanya membahasnya secara sekilas saja.

Bagian kedua buku ini mulai membahas permasalahan-permasalahan dalam pendidikan. Judul-judul tulisan di bagian kedua buku ini diantaranya: “Calistung: Kapan Diajarkan?”, “Jangan Silau dengan Prestasi Sekolah!”, “Kelas Kompetisi atau Kelas Inklusi?”, “Standarisasi Pendidikan: Perlukah?”, “Dilema Evaluasi Pembelajaran”, “Demitologisasi Profesi Guru”, “Sekolah Kawasan dan Pemerataan Pendidikan”, :Full Day School: Perlukah?”, dan “Mengeringnya Nalar-Literasi dan Menyuburnya Industri Hoax”.

Apa yang dibahas dalam bagian kedua buku ini sebenarnya telah sering dibahas di media sosial, bahkan menjadi perdebatan hangat di antara warganet. Kita bisa dengan mudah menemukan di media sosial perdebatan hangat tentang sejak kapan sebaiknya calistung diajarkan. Berbalas argumen antara warganet seperti pertandingan tinju saja. Warganet saling menyerang. Kadang diselingi curhat-curhat tentang pengalaman menyekolahkan anaknya, bahkan hingga pengalaman mereka sendiri. Kita harus pandai menangkap ide-ide yang berlesatan di sana dan memilahnya. Beda dengan di buku ini, pembahasan mengenai kapan sebaiknya calistung diajarkan disajikan dengan runut, sistematis. Memang begitulah yang diharapkan dari buku yang ditulis oleh seorang dosen.

Pembahasan di buku ini juga kerap diwarnai dengan referensi dari berbagai buku. Saat mengurai permasalahan mengenai kapan sebaiknya calistung diajarkan, M. Arfan mengutip buku berjudul Hypnoteaching and Hypnotheraphy for Brilliant Kids karya Dr. Taufiqi. Di pembahasan ini kita juga akan bertemu dengan nama-nama seperti Maria Montessory, Fredick Frobel, Piaget, Debby D Porter, Colin Rose, hingga Malcom J Nicholl. M. Arfan menyarankan orang tua untuk pandai-pandai memilih apakah akan mengajarkan calistung pada anak pada usia 1 – 6 tahun atau 7 – 12 tahun. Keduanya memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing.

Di bagian kedua buku ini M. Arfan juga membahas kecenderungan masyarakat kita yang bangga jika anaknya masuk sekolah favorit yang punya segudang prestasi. Padahal di balik prestasi yang segudang itu ada “eksploitasi” yang tersamarkan. Sekolah favorit biasanya hanya menerima siswa-siswa yang pintar-pintar saja. Dengan kata lain, inputnya memang bagus. Tinggal poles sedikit saja jadilah siswa gemilang yang mampu menjuarai berbagai lomba. Sekolah lantas mengklaim telah berhasil. Artinya, belum tentu sekolahnya yang bagus. Jika hanya diberi anak-anak yang sering disebut “buangan” apakah sekolah favorit akan tetap mampu berprestasi? Orang tua mungkin melupakan hal ini.

M. Arfan kemudian menunjukkan bagaimana cara menentukan apakah sebuah sekolah memang benar-benar bagus atau hanya karena input siswanya saja yang bagus. Ia menggunakan apa yang disebut dengan indeks produktivitas. Ia menuliskan contoh cara menghitungnya hingga jika kita mengikuti caranya, kita akan dapat membandingkan dua sekolah untuk melihat mana yang lebih berkualitas. Caranya mudah. Hitungannya sederhana. Kukira pembahasannya mengenai indeks produktivitas menjadi pengingat agar orang tua tak mudah terjebak kemilau piala yang dipajang di lobi-lobi sekolah.

Bagian ketiga buku ini membicarakan persoalan-persoalan sosiologis dalam pendidikan. Judul-judul artikel dalam bagian ketiga ini antara lain: “Pendidikan dan Ketertiban Sosial”, “Kesadaran Kolektif”, “Kekerasan Simbolik di Sekolah”, “Homeschooling dan Kepekaan Sosial”, “Teaching is Touching”, Sekolah Elite Belum Tentu Bermutu”, “Kebodohan dan Kemiskinan”, “Profetik Consciousness (Kesadaran Kenabian)”, dan “Satu Rumah, Satu Sarjana”.

Yang menarik di bagian ini menurutku adalah artikel dengan judul “Kekerasan Simbolik di Sekolah”. Artikel ini membahas kekerasan simbolik di dunia pendidikan. Kekerasan simbolik atau symbolic violence dipopulerkan oleh Pierre Bourdieu, seorang sosiolog dari Prancis. Pierre Bourdieu mengungkapkan bahwa kekerasan simbolik dilakukan dengan mekanisme “penyembunyian kekerasan” menjadi sesuatu yang diterima  sebagai “yang memang seharusnya demikian”.

Di artikel ini, kekerasan simbolik yang dibahas adalah yang tersembunyi dalam Buku Sekolah Elektronik (BSE). Dalam salah satu buku, “pekerjaan ayah” selalu disimbolkan dengan pekerjaan kantoran, disertai gambar seorang ayah yang memakai dasi, bersepatu, dan membawa koper. Lalu, di mana anak petani, anak tukang becak, atau anak pemulung berada? Gambar tukang becak misalnya, tidak pernah digunakan untuk menceritakan profil sebuah keluarga. Kalimat “ayahku adalah seorang tukang becak” atau “ayahku bekerja sebagai pemulung” tidak pernah muncul dalam BSE.

Bagian keempat atau bagian terakhir buku ini membahas mengenai isu-isu seputar pembangunan karakter. Isu pembangunan karakter memang sempat hangat diperbincangkan, apalagi ketika pemerintah mencanangkan gerakan revolusi mental. Pembahasan mengenai isu-isu pembentukan karakter hingga saat ini kurasa masih sangat relevan dan akan terus relevan mengingat mental para pemuda kita masih amburadul. Ini terbukti dengan berbagai berita tentang kelakuan para remaja kita.

Buku ini diterbitkan tahun 2019 sehingga saat ini usianya kurang lebih mencapai lima tahun. Awalnya kukira buku ini akan membahas hal-hal mengenai kebijakan-kebijakan di era kurikulum merdeka. Tapi setelah tahu tahun terbitnya, tentu tak mungkin ada pembahasan mengenai kurikulum merdeka. Meskipun demikian buku ini perlu dibaca oleh kalangan pendidik maupun orang tua. Di beberapa artikel buku ini menyuguhkan cara pandang baru dalam melihat persoalan pendidikan. Namun, terkadang di artikel lain, pandangan-pandangan yang disajikan terkait pendidikan adalah pandangan yang sudah umum. Penulis hanya memperkuatnya dengan teori-teori, data-data, hingga pengalamannya sendiri. Penulis mencoba mengurai permasalahan-permasalahan pendidikan agar lebih mudah dilihat. Ya, memang begitulah. Di bagian sampul belakang memang tertulis demikian dan sekaligus menawarkan solusi alternatif yang bisa kita menfaatkan untuk kebaikan pendidikan pada masa yang akan datang. Meski yang disebut solusi alternatif bagiku tidak terlalu tampak di dalamnya. Mungkin aku saja yang kurang teliti membaca. Mungkin.

 

 

 

 

Komentar

Postingan Populer