Guru Generasi Milenial; Buah Kontemplasi dan Interpretasi Tri Winarno yang Patut Disimak
“Tiap-tiap orang adalah guru, tiap-tiap rumah adalah perguruan.”
– Ki Hadjar Dewantara –
Saya tertarik membeli buku mungil ini karena sinopsis di bagian belakang buku: Di era disruptif, guru tidak mungkin mampu bersaing dengan mesin dalam melakukan pekerjaan hafalan, hitungan, maupun pencarian sumber informasi. Mesin tentu lebih efektif melakukan tugas-tugas itu. Lalu peran apa yang dapat dimainkan oleh guru? Pendekatan dalam proses belajar-mengajar seperti apa yang cocok untuk siswa zaman now? Buku Guru Generasi Milenial ini menjawabnya.
Dari petikan sinopsis tersebut saya berharap menemukan contoh-contoh pembelajaran dikelas atau interaksi antara siswa dan guru yang bisa saya jadikan inspirasi untuk kelas saya.
Maklum, saya ini guru. Kalau melihat buku seperti ini, ya, bawaannya pengin langsung beli.
Awalnya, saya mengira akan menemukan tulisan-tulisan berupa pengalaman Tri Winarno dan pandangannya terkait pendidikan sebagai seorang guru, seperti laiknya dalam buku Teach Like Finland yang juga ditulis seorang guru.
Namun, rupanya hanya ada tiga tulisan yang terkait langsung dengan pembelajaran di kelas, yaitu Berpuisi Bermain Kata Arkais, Stip, dan Peran Guru di Era Disruptif. Selebihnya adalah esai-esai reflektif hasil kontemplasi Tri Winarno dan ulasan buku-buku yang pernah dibacanya.
Saya agak kecewa sebenarnya. Tapi, untungnya kekecewaan saya lekas hilang sebab esai-esai dan ulasan-ulasan dalam buku ini bagi saya menarik untuk disimak.
Selain itu, layout buku ini juga bagus. Ada ilustrasi-ilustrasi yang ditata dengan apik. Ada foto-foto tokoh penting dunia yang diiringi dengan quote-quote yang terkenal. Ukuran bukunya yang mungil juga menjadikannya enak dibawa kemana-mana. Intinya, it’s oke, lah!
Nah, sekarang mari kita bahas beberapa esai maupun ulasan dalam buku ini. Esai maupun ulasan dalam buku ini adalah hasil dari apa yang disebut penulisnya sebagai the power of ngobrol yang terbagi menjadi tiga dimensi.
Dimensi pertama adalah hasil obrolan antara pikiran dan hati. Tulisan-tulisan yang lahir dari dimensi pertama ini antara lain Stip, Pintu, Lampu, Pekerjaan dan Cinta, Kerja dan Libur, Peran Guru di Era Disruptif, serta Berpuisi Bermain Kata Arkais.
Mari kita bahas salah satunya. Saya sendiri suka tulisannya tentang pintu. Tri Winarno membahas pintu dari berbagai sudut pandang. Dia membahas mitos-mitos jawa yang berkaitan dengan pintu. Ojo lungguh ning ngarep lawang, ndak angel jodo. Menurutnya, mitos-mitos terkait pintu memang sengaja digunakan orang tua zaman dulu untuk menanamkan nilai-nilai yang elok kepada anak cucu mereka.
Tri Winarno juga membahas acara televisi yang menyematkan pintu sebagai judul acaranya: Pintu Rezeki yang digawangi Ruben Onsu. Pintu yang ada dalam lirik lagu Maaf yang dinyanyikan Saleem Iklim juga tak luput dari pembahasannya. Ia bahkan membahas film yang rilis tahun 2009 berjudul Pintu Terlarang.
“Dalam film ini menyiratkan bahwa pintu terlarang justru terlarang untuk dibuka karena akan menguak kesejatian diri manusia yang bersangkutan,” begitu tulis Tri Winarno dalam pembahasannya terkait film Pintu Terlarang.
Pintu identik dengan jalan keluar dari segala problem hidup manusia. Alexander Graham Bell pernah menulis, “Ketika satu pintu tertutup, pintu lain terbuka. Namun terkadang kita melihat dan menyesali pintu yang tertutup itu terlalu lama hingga tak melihat pintu lain yang telah terbuka.”
Dimensi kedua adalah hasil obrolan antara pikiran dan buku atau lebih enak kalau kita sebut resensi/ulasan. Dari dimensi kedua ini lahirlah tulisan Aesop Mutiara yang Terlupa, Merawat Cita-Cita dengan Pena, Buku, Guru, dan Mahasiswa, dan Koh Put On: Satu Nasion.
Ulasan kisah Aesop dalam buku ini disajikan dengan apik dan menarik untuk disimak. Kisah-kisahnya barangkali pernah atau bahkan sering kita dengar. Tri Winarno mengulas pelajaran moral yang dialami oleh seorang anak bernama Aesop yang terbang ke alam mimpi di negeri fabel. Ia bertemu lelaki tua berjanggut putih dan bercakap tentang hakikat negeri fabel, tempat para dewa belajar kebijaksanaan.
Yang menarik di sana adalah, tak ada satupun sekolah. ‘Untuk belajar tentang hidup, seseorang tak perlu duduk dalam kelas.’
Tulisan berjudul Merawat Cita-Cita dengan Pena adalah ulasan sebuah buku yang menceritakan seorang anak yang sangat miskin. Saking miskinnya, untuk membeli sebatang pulpen saja anak itu harus menabung uang sakunya selama berhari-hari, yang artinya ia harus menahan lapar selama berhari-hari karena tak bisa membeli makanan. Ia hanya makan nasi dengan lauk pauk imajinasi, “Kubayangkan ibuku sedang merebus daging untukku.”
Saat kemudian anak itu berhasil membeli pulpen impiannya, sebuah monolog mengharukan lahir, “Kuterima pena itu dengan gemetar. Jantungku berdebar. Kugenggam pena itu erat-erat. Kuingat nasi tak berasa yang harus kutelan berhari-hari sekian pekan demi pena ini. Kuingat lauk pauk yang hanya ada dalam lamunan yang perlahan menjauhiku. Kuingat pedih di perut berisi kelaparan panjang. (hlm.97).
Bagi Tri Winarno, mengulas buku adalah sebuah upaya mendekatkan buku kepada calon pembaca, lebih utamanya kepada anak-anak. Mengakrabkan buku-buku sarat norma kepada anak-anak lebih bermartabat daripada membelikan mereka tablet atau gawai canggih. Sudah saatnya rumah menjadi tempat berkreasi dan berbuku.
Dimensi ketiga adalah hasil obrolah Tri Winarno dengan sahabat-sahabatnya. Dari dimensi ketiga ini lahirlah tulisan Air-Wedang dan Minuman dalam Kemasan, Cerpen Meranting di Pohon, Generasi Z, dan Budaya Itu Bernama Permainan.
Air-Wedang dan Minuman dalam Kemasan membahas perbedaan filosofis antara air-wedang dengan minuman dalam kemasan. Yang dimaksud air-wedang adalah minuman yang disajikan secara konvensional, misalnya dengan teko dan cangkir atau gelas. Di tengah gempuran air minum dalam kemasan (AMDK) kesakralan air-wedang seperti tergerus dan terlupakan.
AMDK kini menjamur di mana-mana seolah sudah menjadi gaya hidup kita. Setelah acara-acara hajatan, perkumpulan, pertandingan olah raga kita kerap menjumpai sampah-sampah berserakan yang sebagian besar adalah kemasan AMDK. Perusahaan-perusahaan AMDK setiap tahunnya menyumbang berton-ton sampah plastik di tempat pembuangan akhir.
Tidak seperti AMDK, air-wedang punya dimensi kesakralan yang menjadi simbol keakraban masyarakat. Tri Winarno membahasnya dengan apik dalam bukunya ini.
Tulisan-tulisan dalam buku ini adalah buah kontemplasi dan interpretasi Tri Winarno yang patut kita simak. Ia memperkaya wawasan dan cara pandang siapa pun yang mau membacanya.
Info buku:
Guru Generasi Milenial | Oleh Tri Winarno | copyright 2018 | Editor Ngadiyo | Tata letak dan ilustrasi Yohanes Saputro | Foto isi Koleksi pribadi Tri Winarno | Sampul Adipagi | Penerbit Diomedia | Bekerja sama dnegan Rua Aksara (Bening Pustaka) | Cetakan pertama, Agustus 2018 | xviii + 118 halaman, 12 cm x 19 cm | ISBN 978-602-6694-66-9
Ulasan lain:
Review Buku Learning How To Learn: Mempelajari Keterampilan yang Sangat Penting di Abad 21
Review Buku Perfume: The Story Of A Murderer; Sebuah Upaya Menegaskan Eksistensi
Menjadi Manusia di Abad 21|Ulasan Buku 21 Lessons; 21 Abad untuk Abad ke 21
Ungkapan Hati Kawabata dalam Thousand Crannes; (Jangan Anggap Remeh Perasaan Wanita)
Label:
Terima kasih
sudah mampir ke blogku!
Jangan lupa tinggalkan komentar. 👍👍
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!