Membaca Kuswaidi; Mendekat dengan Ilahi (Ulasan Buku Allah Maha Pencemburu)
Allah adalah Al-Ghayyur, artinya Allah Maha
Pencemburu. Idiom cemburu tentu tak asing buat kita. Pada umumnya, idiom ini
menggiring kita pada persepsi terhadap kesewotan seseorang yang mendapati
kekasihnya bermain mata dengan orang lain. Kuswaidi Syafi’ie mencoba memandang
substansi idiom tersebut dengan paradigma yang seringkali digunakan oleh kaum
sufi, atau mereka yang telah menyelam ke kedalaman telaga dan spiritualitas
Islam.
Bagi mereka, kecemburuan itu tidak lain adalah
karahatu musyarakatil ghayr, yaitu keengganan untuk dipersekutukan
dengan yang lain. Ibrahim pernah disuruh Tuhan untuk menyembelih putranya.
Muhammad harus kehilangan dua cucu yang sangat beliau sayangi. Ya’qub dipisahkan
dengan Yusuf, anaknya yang sangat dicintainya, yang ketampanannya menggemparkan
perempuan-perempuan mesir.
Semakin dicintai seorang hamba oleh Allah
SWT, semakin tandas pula kecemburuanNya kepada si hamba itu. Karena cinta dan
cemburu adalah dua sisi dari gobang yang tunggal. Allah adalah Dzat Maha
Pencinta sekaligus Maha Pencemburu. Hal.65
Lewat esainya Allah Maha Pencemburu, yang
sekaligus menjadi judul buku ini, Kuswaidi membuat saya merasakan semacam
optimisme. Apabila suatu hari nanti saya kehilangan sesuatu, entah apapun itu, mungkin
karena sesuatu itu melalaikan saya dari mengingat Allah. Kehilangan itu bisa
jadi cipratan rahmat Allah untuk menyelamatkan saya. Namun, di satu sisi saya
juga khawatir lantaran selama ini rasanya baik-baik saja. Saya takut ini
lantaran saya dibiarkan saja. Semoga ini bukan bentuk buruk sangka kepada
Allah.
Selain esai Allah Maha Pencemburu, ada
47 esai lain dalam buku ini, yang bernuansa sufistik. Beberapa esai dalam buku
ini membuat saya sedikit menyadari bodoh dan pekoknya saya karena kurang tekun
belajar. Beberapa esai lainnya membuat saya menepis nihilisme dan memiliki
harapan. Ada pula esainya yang menumbuhkan kesadaran bahwa saya belum melakukan
apa-apa, perlu segera bertaubat, merindukan Nabi, dan banyak lagi pengalaman
emosional yang saya alami selama mengarungi baris demi baris kata dalam buku
ini.
Esai-esai yang membuat saya menyadari bodoh
dan pekoknya saya, misalnya Basmalah, Hamdalah, Alif Lam Mim, Dzikir Paling
Utama, dan Hidup dan Mati. Esai-esai tersebut adalah tafsir atas
ucapan-ucapan religius yang sering kita gunakan sehari-hari.Tafsir itu disajikan
dengan bahasa hati, tidak kaku. Kuswaidi berhasil menyajikannya dengan baik,
membuka pemahaman pembaca terkait basmalah, hamdalah, laa ila ha ilallah, dan
pada akhirnya akan membantu pembaca menghayatinya dengan sungguh-sungguh.
Dalam esai hamdalah misalnya, yang
terkait dengan pujian, Kuswaidi menulis: Nilai pujian seseorang terhadap
sesuatu sesungguhnya berpulang kepada dirinya sendiri. Dengan pujian itu ia
sebenarnya mengatakan, “Saksikanlah penglihatanku yang tajam sehingga bisa
dengan gamblang mengungkap keindahanmu yang mungkin tak tersentuh oleh
penglihatan orang lain.” Hal. 19
Nilai sesuatu yang dipuji sebenarnya tetaplah
sama: tidak menjadi lebih baik lantaran dipuji. Begitulah Allah. Allah telah
sempurna. Pujian tidak membuat Allah lebih sempurna karena Allah telah berada
di puncak kesempurnaan. Ini berarti bahwa Allah tidak membutuhkan pujian kita.
Kitalah yang butuh memuji Allah.
Esai-esai Kuswaidi Syafi’ie yang membantu saya
menepis nihilisme antara lain Engkau, Batu Ujian, Karunia dan Bencana, Hidup
Berorientasi Allah SWT, Pertolongan Allah SWT, dan Putus Asa. Esai-esai
tersebut perlahan menuntun pembacanya agar tidak putus asa dari rahmat Allah
SWT. Esai-esai yang barangkali dapat membuat pembaca merindukan Nabi antara
lain Sumbu Semesta, Melahirkan Generasi Unggul, Isra’-Mikraj, dan Uswah
Hasanah. Sedangkan esainya yang membuat saya sadar bahwa saya belum
melakukan apa-apa antara lain Menggandakan Diri, Melintasi Kehidupan, Melumat
Jarak Memintal Waktu, dan Bersama Allah SWT.
Dalam esai Menggandakan Diri, Kuswaidi
menceritakan kisah seorang wali yang melaksanakan perintah Allah SWT dengan
penuh kesungguhan, keikhlasan, dan ridha. Ketika diri si wali dengan
keterbatasannya kedodoran dalam melaksanakan perintahNya, maka hati dan
pikirannya senantiasa berfokus terhadap perintah yang tak sanggup ia kerjakan.
Ketika itulah Allah menolongnya dengan membuatnya mengalami tajassud, yaitu
mewujudkan si wali itu secara konkret sebanyak perintah yang mesti dikerjakan
di tempat-tempat berbeda pada waktu yang bersamaan. Terlepas dari benar atau
tidaknya kisah ini, kita mendapatkan pelajaran agar tak puas diri dengan
amalan-amalan kita.
Sebagian besar esai dalam buku ini sebenarnya
memuat informasi yang mungkin tidak asing lagi bagi pembaca. Kita barangkali
telah sering mengikuti ceramah-ceramah terkait makna basmalah, hamdalah, Isra’-Mikraj,
keutamaan zikir, pertolongan dan rahmat Allah, izzul Islam, taubat, dan
sebagainya. Meski demikian, kepiawaian Kuswaidi dalam menyusun kata demi kata
membuat informasi yang tak asing bagi kita itu menjadi lebih hidup dan mampu menimbulkan
reaksi emosional yang bermacam-macam. Pengalaman emosional saya ketika membaca
buku ini mungkin akan berbeda dengan pembaca lain. Namun, saya kira tidak akan
jauh berbeda.
Info Buku:
Judul: Allah Maha Pencemburu; Penulis: Kuswaidi Syafi’ie; Penerbit: DIVA Press; Cetakan pertama: Mei 2016; Tebal: 264 hlm.; ISBN: 978-602-116-5
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!