Pencarian Makna Keindahan dalam Keterputusan Terhadap Dunia (Ulasan Buku The Temple of The Golden Pavillion)
Hari
ini, kita punya ribuan teman di Facebook, Instagram, Twitter dan media sosial
lainnya. Kita mengira teknologi telah memudahkan kita terhubung dengan orang
lain. Tapi, benarkah demikian? Mungkin jawabannya tidak. Karena jika benar
teknologi telah memudahkan kita terhubung dengan orang lain, harusnya kita tidak
merasa kesepian punya ribuan teman.
Nyatanya,
semakin sering kita menghabiskan waktu di media sosial kita semakin kesepian. Ribuan
teman kita di Facebook, Instagram, Twitter tak pernah benar-benar memiliki
kedalaman hubungan dengan kita. Hal itu mungkin tidak menjadi masalah buat
Anda. Toh, Anda punya satu atau dua orang teman di dunia nyata yang benar-benar
memiliki kedalaman hubungan dengan Anda.
Bagaimana
dengan orang yang tak punya teman sama sekali? Tak ada yang memahaminya. Tak
ada tempat untuk bertukar gagasan, perasaan, dan pengalaman. Pendeknya, dia
sendirian. Dialah Mizoguchi yang gagap. Kegagapannya telah menghalangi dia menjalin
hubungan dengan orang lain dan pada akhirnya membuatnya terputus dari dunia di
luar dirinya.
Ucapan
itu tak ubahnya anak kunci dari pintu yang mengantar dunia batinku dengan dunia
luar, dan aku tak pernah sanggup memutar anak kunci itu dengan lancar. Kunci
itu telah begitu berkarat. Hal.3
Ayah
Mizoguchi adalah seorang pendeta di sebuah kuil kecil dekat Tanjung Nariru. Melalui
ayahnya, Mizoguchi selalu mendengar cerita tentang keindahan Kuil Paviliun
Emas. Cerita-cerita ayahnya memberi dia kekuatan menghadapi kesepian dan kesendiriannya.
Dia membangun keindahan Kuil Paviliun Emas di dalam pikirannya dan tanpa disadari,
dia jatuh dalam obsesi tentang keindahan kuil itu. Setiap kali melihat
keindahan, Kuil Paviliun Emas akan serta merta terbayang di benak Mizoguchi.
Setelah
ayahnya meninggal, Mizoguchi dititipkan kepada Kepala Pendeta Kuil Paviliun
Emas dan menjadi murid sekaligus calon pendeta. Namun, selama Mizoguchi tinggal
di kuil itu, dia terus menerus dihampiri kekecewaan melihat kenyataan di
depannya.
Kuil
Paviliun Emas tak pernah seindah bayangannya. Bahkan tak pernah seindah
cerita-cerita ayahnya. Bangunan keindahan di benaknya hancur perlahan. Seiring
dengan hancurnya bangunan keindahan di benaknya, kesepian mulai datang
membayang. Kini dia tak punya apa-apa lagi untuk menepis kesepian itu.
Dia
menerima bahwa makna keindahan yang dibangunnya sendiri begitu rapuh. Apa yang
membuatnya kecewa bukanlah Kuil Paviliun Emas, melainkan makna yang ia bangun
sendiri, makna yang membawanya pada harapan yang akhirnya hancur. Kekecewaannya
terhadap Kuil Paviliun Emas membuatnya memandang kehidupan dengan cara-cara
negatif dan membuatnya bertekat mendefinisikan ulang makna keindahan.
Tidak
perlu tergesa-gesa, tetapi kuminta kaumau bersahabat denganku dan membeberkan
rahasiamu kepadaku. Kurasa keindahanmu nyaris belum dapat kupandang. Kuminta
perlihatkan Kuil Paviliun Emas yang sebenarnya dengan lebih jelas ketimbang
gambaranmu yang kulihat dalam hatiku. Kemudian, kalau kau betul-betul begitu
rupawan sampai-sampai di dunia ini tak ada yang dapat dibandingkan denganmu,
tolong ceritakan kepadaku kenapa kau begitu rupawan, apa perlunya kau begitu
rupawan. Hal. 45
Mizoguchi
menempuh pendidikan di universitas dan untuk pertama kalinya mendapatkan
seorang teman bernama Tsurukawa. Tsurukawa yang periang dan murni banyak
mengobati kekecewaan Mizoguchi. Tsurukawa juga menjadi semacam cermin buat
Mizoguchi untuk memahami dunia di dalam dirinya. Dalam semua hal, Tsurukawa
adalah kebalikan dari Mizoguchi. Dan inilah yang membuatnya betah berteman
dengan Tsurukawa. Dia tak lagi kesepian.
Sayangnya,
meski tak lagi kesepian, Mizoguchi tak kunjung melihat keindahan dalam Kuil
Paviliun Emas. Yang semakin hari ia lihat justru keburukan orang-orang di
dalamnya: Para calon pendeta membencinya lantaran dari sekian banyak, justru
dialah yang dipilih mendapat beasiswa menjadi mahasiswa; Kepala Pendeta yang
cukup dihormatinya ternyata berkelakuan buruk; Makanan untuk calon pendeta yang
tak layak; dan pandangan orang-orang di luar kuil yang tak kalah buruknya.
Pendapatan
tahunan Kuil Paviliun Emas, kata salah seorang untuk memberi contoh, mungkin
lebih dari lima juta yen. Ongkos perawatan kuil itu sesuai kebiasaan Zen,
termasuk uang listrik dan air tak mungkin lebih dari dua ratus yen. Lalu
bagaimana dengan sisanya! Gampang sekali. Kepala Pendeta membiarkan calon
pendeta dan murid-muridnya menyantap nasi dingin sedangkan dia sendiri setiap
malam menghabiskan uang dengan geisha-geisha di daerah Gion. Hal. 234
Di
tengah kekecewaan yang terus menderanya, Mizoguchi berteman dengan Kashiwagi,
seseorang yang punya kaki bengkok.
Cacat
yang dimiliki Kashiwagi, membuat dia tak dilirik sama sekali oleh semua orang
dan pada akhirnya membuatnya sendirian. Kashiwagi menyerah dengan kecacatannya
dan memilih hidup tanpa berharap apa-apa. Rupanya, sikapnya ini justru membuat
dia bisa melihat orang lain dengan jelas. Ia mampu melihat hasrat-hasrat
terdalam manusia, ketakutan-ketakutannya, dan semua sisi yang tak mampu dilihat
orang lain. Sayangnya, kemampuan ini membuatnya jadi seorang manipulatif. Dia menggunakannya
untuk menipu gadis-gadis cantik dan dia tidak merasa itu sebuah dosa.
Kashiwagi
membawa pengaruh buruk bagi Mizoguchi. Dia menawarkan kenikmatan-kenikmatan dangakal
untuk mengganti keindahan-keindahan yang selama ini diangankan Mizoguchi. Kehidupan
Mizoguchi yang selalu menemui kekecewaan membuatnya perlahan menerima
tawaran-tawaran Kashiwagi. Lambat-lambat pandanganya tentang keindahan
bergeser.
“Keindahan,
hal-hal yang indah, semua itu adalah musuhku.” Hal. 286
Kehidupan
Mizoguchi semakin lama semakin kacau karena pengaruh buruk Kashiwagi, hingga
pada puncaknya dia memutuskan untuk meninggalkan kuil. Dia mengembara sendirian
ke kota kelahirannya, ke kota pamannya, dan ke kota-kota lain. Dia meninggalkan
semuanya untuk mencari jati diri. Di tengah pengembaraannya itulah dia
mendapatkan ide untuk membakar Kuil Paviliun Emas. Dia mendapat sebuah gagasan
bahwa dengan membakar kuil yang selama ini menjadi obsesinya, kuil yang menjadi
pusat hidupnya, dia akan melihat keindahan yang selama ini diimpikannya.
Buku
ini bisa menjadi semacam renungan buat kita, yang barangkali secara tak sengaja
memutus hubungan dengan orang-orang terdekat dan menggantinya dengan hubungan
semu di dunia maya. Semua itu bisa membuat kita mengalami kesepian, selalu
kesepian, tak pernah lepas dari kesepian.
Info Buku:
Judul: The Temple of The Golden Pavillion; Penulis: Yukio Mishima; Penerjemah: Muhammad Dhanil Herdiman; Penerbit: Immortal Publisher; Cetakan I, 2017; Tebal: vi + 350 hlm., 13x19 cm; ISBN: 978-602-6657-54-1
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!