Menjadi Manusia di Abad 21
Pada masa lalu, manusia bersaing dengan teknologi ciptaannya sendiri dalam kemampuan fisik kasar. Kalah dalam persaingan ini, manusia masih memiliki keunggulan besar dalam hal kognif: belajar, menganalisis, berkomunikasi, dan terutama memahami emosi manusia. Namun, teknologi berkembang amat pesat dan mulai merambah ranah kognitif. Dan, Anda tahu hasilnya, manusia kalah oleh ciptaannya sendiri.
Komputer sudah semakin cepat dan pintar. Sekarang,
tidak ada manusia yang mampu mengalahkan AlphaZero, program kecerdasan buatan (artificial
intelligence) Google, dalam bermain catur.
Bagaimana dalam hal emosi?
Anda mungkin berpikir bahwa dalam hal emosi
manusia akan selalu unggul atas teknologi. Kecerdasan buatan tak mungkin mampu
memahami emosi manusia. Namun, Anda keliru jika berpikir demikian.
Dalam beberapa dekade terakhir, ilmuan bidang
neurosians, menemukan fakta bahwa emosi manusia pada kenyataannya adalah produk
dari algoritma biokimia yang terjadi dalam otak manusia. Artinya, di masa depan,
manusia akan benar-benar dikalahkan oleh kecerdasan buatan. Para insinyur kita
hanya perlu menambahkan algoritma biokimia ke dalam kecerdasan buatan yang
telah ada. Dengan kata lain menggabungkan infotek dan biotek. Pada akhirnya
teknologi mengungguli manusia dalam aspek fisik dan kognitif.
Kita tidak perlu khawatir teknologi yang kita
ciptakan berbalik menyerang kita seperti dalam film-film fiksi ilmiah. Yang
justru perlu kita khawatirkan adalah orang-orang di balik teknologi itu.
Manusia selalu lebih baik dalam menciptakan
alat daripada menggunakannya dengan bijak, tulis Harari dalam bukunya.
Kita ambil contoh nyata, hari ini, dengan algoritma
buatan saja, Facebook bisa lebih tahu produk apa yang sedang Anda inginkan;
Google mampu menebak orientasi seksual seseorang lebih dari siapapun; dan
YouTube lebih paham musik favorit Anda lebih dari Anda sendiri. Algoritma
buatan belajar memahami manusia dari pola berulang yang dilakukan manusia.
Bagaimana jika algoritma buatan ini digabungkan
dengan algoritma biokimia? Hasilnya, kita tidak perlu lagi susah payah berjuang
dalam drama pengambilan keputusan. Serahkan saja semuanya pada algoritma. Dia
lebih tahu siapa kita dan lebih tahu apa yang sebenarnya kita inginkan.
Bukankah ini berita bagus?
Di satu sisi, mungkin ini berita bagus. Kita
akan mampu meminimalisasi kesalahan pengambilan keputusan. Tapi, sekali lagi,
kita patut bertanya siapa di balik algoritma ini. Alih-alih menggunakannya
secara bijak, orang di balik algoritma ini mungkin akan menggunakannya untuk
meretas pikiran Anda agar berprilaku atau mengambil keputusan sesuai yang mereka
inginkan.
Jika itu terjadi, kita akan semakin kehilangan
diri sendiri. Kita akan kesulitan menemukan siapa kita sebenarnya atau mungkin
malah mustahil. Kita hanya akan menjadi seonggok daging dan tulang.
Dalam pendahuluan buku ini, Harari secara terus
terang mengungkapkan bahwa ia hanya bermaksud memberi kejelasan. Ia menulis, “Sebagai
seorang sejarawan, saya tidak bisa memberikan makanan atau pakaian kepada
orang-orang—tetapi, saya bisa mencoba menawarkan beberapa kejelasan. Di dunia
yang dibanjiri informasi yang tidak relevan, kejelasan adalah kekuatan.”
Arah perkembangan teknologi (infotek dan
biotek) hanyalah satu dari banyak kejelasan yang ditawarkan oleh Harari. Dalam
buku ini, Harari juga bicara soal tema lain seperti ideologi, agama, terorisme,
perang, kerendahan hati, tuhan, ketidaktahuan, keadilan, pasca-kebenaran, pendidikan,
makna, dan bahkan meditasi. Namun, saya rasa semua tema ini saling berhubungan
satu sama lain dengan tema yang menjadi poros utamanya adalah teknologi.
Pembahasan terkait liberalisme misalnya. Liberalisme
yang menitikberatkan pada kebebasan individu dan suara hati akan menjadi tidak relevan,
sebab kini suara hati bisa dimanipulasi baik dengan infotek maupun biotek atau
dengan gabungan keduanya.
Penggiringan opini publik dalam pelaksanaan
pemilu adalah contoh nyata pemanfaatan infotek. Anda dicecar dengan informasi
yang seringkali bohong belaka. Namun, beberapa kebohongan itu nyatanya mampu
bertahan selamanya dan tetap mempengaruhi kita. Kita tidak benar-benar punya
kebebasan individu. Kita secara halus didikte dan oleh sebab itu cepat atau
lambat liberalisme hanya akan menjadi fosil sejarah saja.
Didukung oleh teknologi, sekarang kita menjadi
masyarakat global. Nilai-nilai yang kita anut juga turut terpengaruh atau
bahkan menjadi sama sekali baru. Di buku ini, Harari mengambil contoh terkait
keadilan.
Di Bangladesh ada orang-orang yang hidup di
bawah kemiskinan karena mereka adalah tenaga kerja murah. Anda yang tidak
pernah pergi ke Bangladesh mungkin tidak pernah merasa berbuat salah pada orang-orang
itu. Namun, apakah Anda akan tetap merasa aman dari rasa bersalah jika ternyata
Anda adalah investor atau pemegang saham di perusahaan yang mempekerjakan
orang-orang itu? Apakah Anda bisa dikatakan telah melakukan ketidakadilan atau
bahkan penindasan? Padahal, Anda sama sekali tak mengenal mereka bahkan Anda
tak pernah berkunjung ke Bangladesh.
Rasa keadilan kita mungkin sudah ketinggalan
zaman dan perlu diperbarui sebagaimana teknologi juga terus diperbarui.
Teknologi yang terus berkembang pesat
memungkinkan manusia memenuhi imajinasi serta impian terliarnya. Dahulu, manusia membendung aliran sungai, kini mereka
berupaya mencegah kematian. Dahulu, manusia terbatas pada merekayasa irigasi,
tetapi kini mereka berusaha merekayasa pikiran. Pada akhirnya, teknologi akan
menguasai setiap jengkal sisi kehidupan kita sampai bagian terdalam kita:
kemanusiaan.
Tatanan dunia di abad 21 kemungkinan akan menjadi
sama sekali baru. Abad 21 akan menjadi saksi bahwa teknologi pada akhirnya
menggulingkan segala hal yang hari ini berstatus quo: liberalisme,
nasionalisme, agama, dan bahkan Tuhan. Kelak, Itu semua barangkali akan menjadi
fosil sejarah saja bagi manusia.
Anda mungkin berpikir ini berlebihan. Awalnya
saya juga berpikir seperti Anda. Namun, jika menengok lagi ke belakang, kita
tidak bisa menyangkal bahwa teknologi berkembang begitu pesat bahkan bisa
dikatakan tidak terbendung. Maka, meski belum tentu benar-benar akan terjadi,
kemungkinan-kemungkinan yang disajikan Harari dalam buku ini sulit kita tolak.
Pada akhir buku ini Harari membahas tentang
makna dan meditasi. Sepintas seperti tidak ada kaitannya dengan teknologi yang
menjadi tema besar buku ini. Namun, pembahasan kedua tema ini justru yang
menurut saya paling krusial.
Pencarian akan makna melalui meditasi menjadi
sesuatu yang sangat penting di depan ancaman disrupsi teknologi agar kita tidak
turun derajat menjadi hanya seonggok daging dan tulang. Jati diri dan semua
makna yang melingkupi kehidupan kita akan menjadi akar yang kuat yang menahan
kita tetap berdiri kokoh sebagai manusia.
‘Siapa saya?’ akan menjadi pertanyaan yang
paling mendesak dan sekaligus paling rumit di abad ini. Jika Anda benar-benar
mengetahui kebenaran tentang diri Anda dan tentang dunia, tidak ada yang dapat
membuat Anda sengsara. Anda akan lebih siap menghadapi segala kemungkinan yang
membentang di masa depan.
Tapi, kita semua tahu, ini lebih mudah
diucapkan daripada dilakukan.
Judul: 21 Lessons, 21 Adab untuk Abad 21; Penulis:
Yuval Noah Harari; Penerjemah: Haz Algebra; Penerbit: CV. Global Indo Kreatif;
Cetakan: I, September 2018; Tebal: 392 halaman; ISBN: 978-602-61663-5-7
REVIEW BUKU LEARNING HOW TO LEARN: MEMPELAJARI KETERAMPILANYANG SANGAT PENTING DI ABAD 21
REVIEW BUKU A BRIEF HISTORI OF TIME; PERTANYAAN-PERTANYAAN BESAR UMAT MANUSIA DAN UPAYA MENJAWABNYA
ULASAN BUKU BH KARYA EMHA AINUN NADJIB: NARASI ORANG-ORANGTERPINGGIRKAN
REVIEW BUKU PERFUME: THE STORY OF A MURDERER; SEBUAH USAHAMENEGASKAN EKSISTENSI
REVIEW BUKU GENTLE DISCIPLINE; SEBUAH UPAYA MENDISIPLINKANANAK DENGAN LEMBUT
ULASAN BUKU FILOSOFI TERAS: HIDUP KALEM BERSAMA FILOSOFITERAS
ULASAN BUKU SEBUAH SENI UNTUK BERSIKAP BODO AMAT; MENINJAUULANG NILAI YANG KITA HIDUPI
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!