Catatan Membanggakan Wanita Indonesia Melawan Virus Mematikan dan Ketidakadilan Dunia
Berawal dari merebaknya virus flu
burung di Indonesia, perjuangan Siti Fadilah Supari, Menteri Kesehatan RI pada
Kabinet Indonesia Bersatu, melawan ketidakadilan dunia bermula. Dengan
keteguhannya beliau memperjuangkan reformasi mekanisme virus sharing di bawah
WHO menjadi lebih transparan, adil, dan mewujudkan kesetaraan antara negara
maju dan berkembang.
Tahun 2005 virus flu burung merebak
di Indonesia. Korban berjatuhan di berbagai daerah. Di tengah situasi genting,
Indonesia tentu harus segera mendapatkan vaksin untuk mengatasi wabah virus
ini. Selama ini, apabila suatu negara terkena virus tertentu, negara tersebut
harus membeli vaksin di perusahaan pembuat vaksin. Masalahnya adalah harga
vaksin sangatlah mahal. Apalagi buat negara berkembang dan negara miskin. Padahal
merekalah yang paling sering terserang wabah virus.
Perusahaan pembuat vaksin mendatangi
Siti Fadilah untuk menawarkan vaksin yang dibuat dari strain virus flu
burung Vietnam. Namun, Siti Fadilah punya dugaan bahwa vaksin yang dibuat dari strain
virus Vietnam tidak cocok digunakan di Indonesia. Menurutnya virus flu
burung di Indonesia lebih virulen dibandingkan dengan virus flu burung dari
Vietnam. Artinya vaksin yang dibutuhkan Indonesia harus dibuat dari strain virus
yang juga berasal dari Indonesia.
Ternyata dugaan Fadilah Supari
benar. Setelah dicek virus flu burung Indonesia memang lebih virulen atau lebih
ganas dari virus flu burung Vietnam. Berdasarkan hal tersebut, ini berarti
bahwa vaksin untuk flu burung di Indonesia belum ditemukan.
Berdasarkan aturan WHO, Indonesia
harus mengirim virus flu burung ke laboratorium WHO. Namun, di sini Fadilah
Supari menemukan ketidakadilan sehingga dia sebagai Mentri Kesehatan RI waktu
itu tidak bersedia mengirim virus flu burung ke WHO.
Ketidakadilan yang dimaksud adalah
tidak transparannya hal-hal yang berkaitan dengan virus yang dikirim ke WHO.
Negara pengirim virus, yang biasanya
adalah negara miskin, tidak tahu virusnya diapakan. Mereka tidak tahu apakah
virusnya dibuat vaksin, apakah dibuat senjata biologis, apakah dijual ke
perusahaan swasta pembuat vaksin. Tahu-tahu saat negara miskin itu terkena
wabah virus, mereka harus membeli vaksin yang harganya sangat mahal dari negara
maju yang memiliki teknologi untuk membuat vaksin. Dari sinilah Fadilah Supari
merasa ada ketidakadilan.
Negara-negara kaya membuat vaksin
dari virus yang dikirim oleh negara miskin secara cuma-cuma lalu menjual vaksin
itu ke negara miskin dengan harga sangat mahal. Padahal kalau dipikir-pikir
negara-negara kaya tak akan mampu membuat vaksin tanpa virus yang dikirimkan
dari negara miskin.
Secanggih apa pun teknologi pembuat
vaksin yang mereka punya, mereka tak akan mampu membuat vaksin tanpa virus dari
negara miskin. Pasalnya bahan baku vaksin adalah virus itu sendiri.
Hal yang janggal adalah dari mana
negara maju produsen vaksin itu memperoleh virus. Pasalnya, negara-negara yang
terserang wabah virus tak pernah mengirimkan virus mereka ke perusahaan pembuat
vaksin. Mereka mengirimkan virus ke WHO, yang mana tujuannya adalah untuk
diteliti dan atau dibuat vaksin. Tapi nyatanya yang justru memiliki vaksin
adalah perusahaan swasta yang menjual dengan harga tinggi.
Fadilah Supari dengan latar belakang
sebagai seorang peneliti, kemudian menyelidiki hal ini. Dia menemukan bahwa
virus yang dikirimkan dari negara berkembang ternyata berada di Los Alamos,
sebuah laboratorium pembuatan senjata biologis milik Amerika Serikat. Ini
sangat mengkhawatirkannya.
Bagaimana jika virus-virus itu
diubah jadi senjata biologis? Hal ini menjadi kekhawatiran Fadilah Supari.
Fadilah Supari meneliti lebih lanjut
bagaimana mekanisme virus sharing di WHO. Ternyata selama ini mekanismenya
diatur oleh GISN. Negara pengirim virus mengirimkan virusnya ke WHO tanpa
syarat. Virus yang telah dikirim itu kemudian dijadikan seed virus oleh
perusahaan swasta dan dipatenkan menjadi milik perusahaan itu. Ini sangatlah
tidak adil.
Bahan baku vaksin diperoleh dari
negara berkembang yang mengirim virus, namun mereka tak dapat apa-apa dengan
mengirimkan virusnya. Yang mendapat untung adalah perusahaan-perusahaan pembuat
vaksin itu, padahal mereka dapat bahan bakunya dari negara berkembang.
Inilah penjajahan gaya baru yang
sudah diramalkan oleh Ir. Soekarno sebagai neo-kolonialisme. Betapa tidak
manusiawinya penjajahan seperti ini. Mereka mengekploitasi negara-negara lemah
dan makin membuatnya lemah. Ibarat pepatah, memancing di air keruh. Organisasi
besar dunia seperti WHO dan IMF seolah-olah hanya tangan kanan dari negara
kapitalis untuk memperkuat cengkraman terhadap negara-negara berkembang.
Kembali ke masalah virus.
Fadilah Supari bersikeras tidak akan
mengirim virus flu burung Indonesia ke WHO, kecuali dengan syarat
penandatanganan MTA yang tidak merugikan negara pengirim virus. Dia juga
meminta agar GISN yang sudah 50 tahun (kala itu) beroperasi dibubarkan dan
diganti dengan mekanisme baru yang lebih transparan. Inilah yang
diperjuangkannya. Dia tidak mau negara berkembang dijadikan tambang emas oleh
negara maju kapitalis.
Negara yang mengirimkan virus harus
tahu setelah virusnya dikirim ke WHO, virus itu diapakan dan diserahkan ke
siapa. Lebih lanjut, vaksin yang dihasilkan harus diprioritaskan untuk
negara-negara yang terkena wabah. Negara yang tak terkena wabah tak boleh
mendapatkan vaksin meski membeli dengan uang sendiri.
Melalui konferensi internasional dan
lobi-lobi yang alot, Fadilah Supari berhasil mendapat dukungan dari
negara-negara lain untuk membubarkan GISN yang mekanismenya tidak transparan. Namun,
ini bukanlah akhir perjuangan. Fadilah Supari mewakili Indonesia masih harus
menghadapi Amerika.
Ini adalah momentum head to head antara
Indonesia vs Amerika. Pasalnya, hanya Amerika yang menentang dibubarkannya
GISN. Amerika dan Indonesia sama-sama mengajukan resolusi untuk perbaikan
sistem yang lebih adil pada penanganan pengiriman virus ke WHO. Namun, pada
resolusi yang diajukan Amerika, GISN justru akan diperkuat.
Negara-negara yang kerap mendapat
bantuan dari Amerika tidak berkutik. Mereka tidak mau mendukung Amerika karena
jika mereka mendukung Amerika artinya mereka menyetujui ketidakadilan. Namun,
mereka juga tidak mendukung Indonesia karena takut Amerika tersinggung. Untungnya,
Amerika sebenarnya punya banyak musuh yang serta merta langsung mendapat momen
mendukung Indonesia, yang memang sedang memperjuangkan keadilan.
Setiap perjuangan melawan
ketidakadilan tidak pernah mudah. Siti Fadilah Supari mendapatkan tekanan dari
berbagai pihak untuk mengalah saja. Tak jarang ia juga mendapat ancaman baik
secara langsung maupun tidak langsung. Ditambah dengan peran media yang tak
mengerti esensi perjuangannya. Ia malah dikabarkan mencari untung di tengah
wabah. Ia dituduh menghambat penanganan wabah karena tak mau mengirim virus ke
WHO. Dan, yang menyedihkan lagi, tuduhan-tuduhan ini datang justru dari media kita
sendiri. Fadilah Supari yang sedang memperjuangkan bangsanya justru dihalangi
kebodohan bangsanya sendiri.
Perjuangan Siti Fadilah Supari
terangkum dalam buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah; Tangan Tuhan di Balik
Virus Flu Burung” yang ditulis dengan sederhana, sarat akan informasi sekaligus
mengaduk emosi. Kalau hanya sarat akan informasi saja tentu akan sangat
membosankan buat saya yang tidak paham dengan istilah-istilah rumit di
dalamnya. Namun, dengan gaya bercerita yang kronologis dan penuh dengan emosi
yang menggugah. Membaca buku ini tidak kalah menegangkan dengan menonton
film-film aksi Hollywood.
Saya merekomendasikan buku ini buat
anak-anak muda Indonesia umumnya dan para wanita khususnya agar lepas dari
inferioritas terhadap bangsa-bangsa Barat. Bahwa Indonesia juga bisa tampil di
dunia bahkan head to head dengan negara super power Amerika Serikat.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!