Ulasan Buku Arus Bawah; Catatan dari Masa Lalu


Bangsa ini sekarang dalam situasi demokratis yang lebih aspiratif dan lebih terbuka dibanding tahun 1991 - 1994. Saat itu Indonesia dalam cengkraman Orde Baru yang punya “perhatian” sangat serius pada suara rakyat. Tak banyak buku yang menampilkan dirinya sebagai suara rakyat, apalagi suara yang bernada kritik. Orang tak bisa sembarangan menyuarakan kritik lewat tulisan tanpa was-was diciduk kemudian menghilang tanpa bekas. Pada saat seperti itulah Arus Bawah (dulu Gerakan Punakawan) terbit pertama kali. Arus Bawah kala itu terbit bersambung di harian Berita Buana pada 28 Januari sampai 31 Maret 1991 dan dibukukan menjadi novel-esai pada 1994.

Novel-esai ini menjadi catatan dari masa lalu yang menggambarkan kehidupan era Orde Baru yang serba mencekam. Gambaran itu tak sepenuhnya terang, lantaran Cak Nun memang menyamarkannya dalam latar cerita yang kental dengan dengan nuansa pewayangan lewat tokoh-tokoh punakawan di dalamnya: Semar, Petruk, Gareng, dan Bagong.

Novel-esai karya Mbah Nun ini kembali terbit tahun 2015 lewat Penerbit Bentang. Membaca novel-esai ini dalam situasi yang sudah sangat berbeda dengan era Orde Baru tentu menarik. Novel-esai ini dimulai dengan menghilangnya Kiai Semar dari Dusun Karang Kedempel. Hilangnya Kiai Semar memunculkan bermacam reaksi dari warga Dusun Karang Kedempel dan para punakawan.

Kiai Semar lenyap, alam berduka, akan tetapi orang tidak. Mereka tetap bekerja seperti biasa, berkeringat, tertawa, tidur, dan mungkin tak merasa perlu untuk bangun seandainya pun ada gunung meletus atau seluruh kehidupan Karang Kedempel bubar mendadak. Hlm. 2

Kiai Semar dalam buku ini selain sebagai sosok nyata yang hilang juga disimbolkan sebagai hati nurani rakyat. Kiai Semar adalah kalian! Kalian adalah Kiai Semar! Kata petruk meladeni kaum muda Karang Kedempel. Namun, kaum muda tak ada niatan untuk terus mencari diri mereka sendiri. Padahal Kiai Semar sesungguhnya tak lain adalah “mencari” itu sendiri.

Hilangnya Kiai Semar merupakan simbol hilangnya nurani rakyat. Dalam hal ini nurani rakyat telah hilang lama sekali, terlalu lama, dan akhirnya yang hilang tak hanya nurani rakyat, tetapi juga rasa kehilangan itu sendiri.

Rakyat yang dalam buku ini adalah warga Dusun Karang Kedempel sudah terbiasa menerima perlakuan tidak adil dari pamong desa. Mereka terbiasa ditindas dan tak menganggap penindasan adalah ketidakadilan. Penindasan terus terjadi di Karang Kedempel tanpa ada yang berniat untuk melawan. Itulah sebabnya ketika Kiai Semar yang amat peduli dengan warga Dusun Karang Kedempel hilang begitu saja, mereka tak merasa kehilangan.

Berbeda dengan kebanyakan orang, Gareng gugup tak alang kepalang. Ia merasa perlu segera menemukan Kiai Semar lantaran Dusun Karang Kedempel sedang sangat membutuhkan Kiai Semar. Ia jadi sangat marah ketika Bagong, adiknya tak peduli terhadap hilangnya Kiai Semar. Bagong bahkan menanggapi: Siapa? Semar? Hilang? Hilanglah! Mampus? Mampuslah! 

Kemarahan Gareng menjadi-jadi karena Bagong menyebut Semar tanpa embel-embel Pak, Bapak, atau Romo. Baginya itu melanggar tata krama. Menanggapi kemarahan kakaknya, Bagong ngoceh panjang lebar mengenai alasannya tak menggunakan embel-embel Pak, Bapak atau Romo. Ocehan Bagong ini tak lain adalah kritik terhadap feodalisme.

Orang tua minta dijunjung, bahkan memerintahkan orang menjunjungnya, dalam suatu pola hubungan yang curang. Dan, yang dimaksud orangtua tidak sekadar orangtua darah, tapi juga siapa saja yang lebih berkuasa, lebih kaya, lebih pintar, lebih berumur, serta segala macam kedudukan yang dianggap meletakkan seseorang atau suatu kelompok lebih tinggi derajatnya dibanding yang lain. Hlm. 18

Hingga saat ini, kita masih dapat menemukan bentuk-bentuk feodalisme di sekitar kita. Misalnya, pola hubungan kerja bawahan-atasan. Bahwa bawahan harus nurut apa kata atasan hanya karena dia bawahan adalah kekeliruan.  Menurut Cak Nun, yang ada tinggi rendah itu hanya nilai. Kalau manusia, ya, sama saja.

Di bagian yang lain, dalam bab Budaya Politik Pra-Wayang, melalui Gareng yang mengigau dalam demam setelah digigit istrinya, kritik terhadap gerakan arus bawah disampaikan. Gerakan arus bawah kala itu demi reformasi dianggap terlalu ndakik-ndakik, terlalu mengandalkan apa yang disebut Cak Nun sebagai barang belian kemarin lusa. Gerakan arus bawah akan berhasil ketika pada akhirnya rakyat menemukan sendiri acuan-acuan akar yang tak bisa diimpor dari mana pun.

Punyakah kalian sebutir kata saja yang dijamin bisa mereka pahami? Demokrasi itu barang belian kemarin lusa, sedang Mahabharata dan pewayangannya adalah denyut jantung dan model gerak kebanyakan manusia Karang Kedempel. Hal. 99

Dalam duel filsafat antara Petruk dan kaum muda Karang Kedempel, kritik terhadap Orde Baru sangat terasa dalam buku ini. Digambarkan, orang-orang Karang Kedempel lama-lama enggan berinteraksi dengan kaum muda yang sering mengemukakan suara atau ide-ide mereka. Orang-orang Karang Kedempel takut mendapat masalah jika berinteraksi dengan kaum mudanya. Orang-orang ini bahkan sampai ogah main bola bersama mereka.

Di Karang Kedempel ini kalau kami berpikir, dianggap subversif. Kalau kami belajar memahami persoalan diawasi intel. Kalau kami membicarakan kebaikan, dianggap pemberontak. Hlm. 53

Melalui latar fiktif Dusun Karang Kedempel dan peristiwa hilangnya Kiai Semar, Cak Nun berhasil menemukan sebuah cara unik untuk mengkritisi situasi dan kondisi bangsa Indonesia era Orde Baru. Tak hanya mengkritisi pemerintah yang otoriter, Cak Nun juga mengkritisi gerakan arus bawah yang kurang mengakar pada kebudayaan dan kehidupan rakyat pada umumnya.

Buku ini menjadi pelajaran berarti bagi kita untuk terus mencari Kiai Semar dan merawatnya dalam diri kita. Selain itu, kita patut bersyukur bahwa di era ini kita bisa lebih leluasa mengemukakan pikiran-pikiran kita. Namun, kita juga patut waspada dengan terus mengawasi pemerintah yang gelagatnya menunjukkan tanda-tanda kembali ke gaya represif. Haha

Info Buku:

Judul: Arus Bawah

Penulis: Emha Ainun Nadjib

Penerbit: Bentang

Cetakan Pertama, Februari 2015

Tebal: vii + 240 hlm; 20,5 cm

ISBN 979-602-291-068-8

Komentar

Postingan Populer