Menyelami Segala yang Ambyar Tanpa Harapan (Ulasan Buku Segala-galanya Ambyar)
Pada 2016, Mark Manson menerbitkan The Subtle Art of Not Giving
A F*ck yang kemudian diterjemahkan
dengan judul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat. Buku itu
sukses menemui jutaan pembaca. Mark kemudian menerbitkan buku keduanya pada
2019 yang berjudul Everything Is F*cked yang diterjemahkan dengan judul Segala-galanya
Ambyar. Sama seperti buku pertamanya, buku keduanya ini juga sukses menemui
jutaan pembaca, salah satunya saya.
Jika buku adalah makanan buat otak, dua buku tersebut menurut saya
adalah makanan yang bergizi sekaligus lezat. Buku pertama Mark sudah saya ulas.
Kali ini, saya akan mengulas buku keduanya.
Saya katakan buku ini bergizi karena buku ini sangat kaya akan
hasil penelitian psikologis dan bertaburan kebijaksanaan para filsuf mulai dari
Plato, Socrates, Immanuel Kant, Descartes, hingga Tom Waits. Tak hanya itu,
buku ini juga memuat pemikiran ilmuan dunia seperti Einstein. Mark membentangkan
semua itu kepada pembaca dengan gayanya yang sederhana namun kocak. Misalnya,
ketika sedang menjelaskan pemikiran Friedrich Nietzsche soal tuhan melalui
dialog antara Nietzsche dengan istrinya, Mark menyelipkan adegan sapi-sapi
mengunyah dengan kalem. Apa hubungan antara sapi-sapi yang mengunyah dengan
kalem dan tuhan?
Mark selalu mengawali setiap bab dalam buku ini dengan kisah-kisah
nyata yang dia sajikan dengan sangat menarik. Kisah-kisah tersebut memberi
gambaran kepada pembaca apa yang selanjutnya akan mereka jumpai. Kisah-kisah inilah
yang membuat buku ini, selain bergizi juga lezat. Ambil contoh dalam bab 2,
Mark menyajikan kisah seorang bernama Elliot yang hidupnya ambyar
seambyar-ambyarnya. Dia kehilangan segala hal mulai dari pekerjaan, istri,
anak, rekan kerja, sampai kehilangan dirinya sendiri. Mark menggunakan kisah
ini untuk menyangkal asumsi klasik para filsuf bahwa emosi manusia adalah biang
dari segala masalah kehidupan dan bahwa akal sehat harus menyapunya hingga
bersih.
Kadang, Mark menggunakan metafora-metafora segar yang ia sebut
sendiri sebagai metafora kacangan. Mark juga tidak ragu menggunakan analogi
yang nyeleneh, misalnya analogi mobil badut untuk mendeskripsikan situasi
hubungan yang beracun antar orang-orang yang narsistis dan egois. Mark tak
ubahnya koki jempolan yang meramu semua ini menjadi makanan yang bergizi dan
lezat buat otak pembaca.
Eh, tapi ngomong-ngomong buku ini ngomongin apa, sih?
Sebagaimana judulnya, buku ini membicarakan segala hal yang saat
ini ambyar atau terancam ambyar meliputi agama, politik, uang, hiburan,
kemanuasiaan, internet, dan..... Apa sajalah pokoknya. Namun, sebelum
menunjukkan kepada kita segala hal yang ambyar itu, Mark terlebih dahulu ngoceh
panjang lebar tentang harapan: bagaimana harapan membuat orang tetap hidup,
bagaimana kita terperangkap dalam siklus harapan, dan bagaimana seluruh hal
dalam hidup kita tidak lepas dari harapan. Satu lagi, dan ini yang cukup
mengejutkan, kita akhirnya harus membuang harapan.
Mark memulai bukunya dengan kisah seorang serdadu sinting bernama
Pilecki yang secara sengaja masuk ke dalam kawasan penjara bernama Auschwitzlah
untuk membebaskan bekas tentara Polandia dari kekejaman Nazi. Misi ini adalah
misi bunuh diri yang tentu saja tak mungkin berhasil. Ternyata eh ternyata, dengan
kecerdikannya, Pilecki mampu mengabarkan kepada dunia tentang penyiksaan,
kematian, dan pembasmian selama bertahun-tahun yang dilakukan tentara Nazi. Apa
yang dia lakukan ternyata menjadi seberkas harapan bagi orang-orang dalam
penjara Auschwitzlah. Misi bunuh diri ini kemudian menjadi contoh nyata bahwa
harapan, sekecil apapun, mampu memantik semangat hidup seseorang atau
sekelompok orang.
Mark juga memberi gambaran yang jelas bagaimana siklus harapan
terjadi dalam diri kita. Dia mengambil contoh orang-orang yang kecanduan dengan
perubahan diri.
Demi menjaga harapan, kita sering memutuskan bahwa kita harus
mengubah diri kita, menjadi seorang yang benar-benar baru dan berbeda.
Sayangnya, kita tak pernah menjadi benar-benar baru. Kita hanya berilusi dan
kemudian terjebak dalam siklus “mengubah diri Anda” yang terus berujung pada
kegagalan diri, mendorong Anda berpikir untuk sekali lagi “mengubah diri Anda”,
dan begitu seterusnya. Hal 40.
Mark lantas melanjutkan ocehannya tentang bagaimana seluruh hidup
kita tidak lepas dari harapan. Kali ini Mark membahas agama yang ia bedakan
menjadi tiga, yaitu agama spiritual, ideologis, dan interpersonal. Ocehan Mark
terkait agama ini ia sampaikan dengan cara yang nyelenah, yaitu dalam bab yang
berjudul Cara Membuat Agama Anda Sendiri yang terdiri atas enam langkah:
(1) jual harapan pada yang putus asa, (2) tentukan iman, (3) libas semua kritik
dari luar, (4) buat ritual pengorbanan, (5) janjikan surga, antarkan neraka,
dan (6) jadi Nabi demi profit.
Menurutnya, keseluruhan agama di dunia ini dibangun di atas
landasan harapan akan adanya masa depan yang lebih baik. Agama spiritual menjanjikan
kehidupan yang lebih baik setelah kehidupan ini. Agama ideologis menjanjikan
penyelamatan, kesetaraan, pertumbuhan dan segala tetek bengeknya. Agama
interpersonal menjanjikan kebahagiaan atas cinta romantik dan pemenuhan
ekspresi diri.
Di akhir paruh pertama buku ini, saat pembaca barangkali mulai
menyusun harapan-harapan baru untuk hidup yang lebih baik, Mark justru
menyarankan untuk membuang harapan. Menurutnya, meski harapan berguna dalam
hidup manusia, ia lebih banyak menjadi biang kerok atas segala konflik. Kalau
tak mempu menciptakan harapan yang benar, harapan yang bukan dibangun di atas
ilusi, lebih baik jangan berharap apa pun.
Segala yang bisa digagas oleh pikiran Anda sejatinya cacat dan
terbatas, dan oleh karena itu merusak jika dipuja secara buta. Jangan berharap
bisa lebih bahagia. Jangan berharap bisa lebih menderita. Jangan berharap bisa
memperbaiki karakter Anda. Jangan berharap bisa menghapus kelemahan-kelemahan
Anda. Bertindaklah tanpa mengindahkan beragam harapan itu. Hal. 170.
Setelah paruh pertama buku ini membahas tentang harapan, paruh kedua
buku ini membahas segala hal yang ambyar. Membaca paruh kedua buku ini, saya
seperti sedang membaca ulang 21 Lessons milik Harari. Hanya saja kali
ini versi kocaknya. Perang nuklir sekala besar, perubahan iklim dunia,
keruntuhan ideologi-ideologi besar dunia, keruntuhan agama, kecerdasan
artifisail, algoritma, irelevansi, dan hal-hal lain. Paruh kedua buku ini
merupakan pengamatan yang jujur atas dunia modern dan segala isinya yang tampak
ambyar seambyar-ambyarnya. Berbeda dengan Harari, Mark tidak terdengar terlalu
cemas dengan segala keambyaran itu. Dia malah mengajak kita untuk mengerti
seperti apa rasanya hidup dalam keambyaran, untuk pada akhirnya mengerti hidup dalam ketiadaan harapan, untuk tak usah
berharap akan menyelesaikannya, tapi justru berupaya mencintainya.
Info Buku:
Judul: Segala-galanya Ambyar: Sebuah Buku Tentang Harapan; Judul asli: Everything Is F*cked; Penulis: Mark Manson; Penerjemah: Adinto F. Susanto; Penerbit: Grasindo; Cetakan pertama: Februari 2020; Tebal: 347 Hlm.; ISBN: 978-602-052-283-8
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!