Ulasan Buku Dreams and The Stages of Life; Jung dan Telaah Kehidupan Manusia

Pada buku The Interpretation of Dreams, Sigmund Freud menyebutkan bahwa mimpi berfungsi sebagai petunjuk tentang alam bawah sadar manusia. Freud meyakini bahwa, selama tidur, keinginan-keinginan yang terlarang dibebaskan dari kekangan yang membelenggunya selama bangun dan mereka berusaha memeroleh izin masuk ke dalam kesadaran. Keinginan yang dianggap tidak tepat oleh alam sadar, misalnya keinginan membunuh, dapat menimbulkan kecemasan yang membawa kita pada penyakit mental. Mimpi mengambil peran penting untuk mencegah pelakunya melakukan keinginan-keinginan terlarang dengan mentransformasi keinginan itu ke dalam serangkaian gambaran atau visualisasi yang bisa diterima. Gagasan-gagasan Freud ini banyak mendapat kritik dari ahli psikologi, salah satunya sahabat sekaligus mantan muridnya sendiri, Carl Gustav Jung.

Lahir di desa kecil Kesswil di pinggir Danau Constante di Swiss pada 26 Juli 1875, Jung adalah putra satu-satunya dari pastor desa, Pendeta Paul Achilles Jung. Ibu Jung adalah putri tertua Samuel Preiswerk, seorang teolog terkenal tapi eksentrik. Sedangkan kakeknya adalah seorang dokter terhormat yang menjadi Rektor Universitas Basel dan Grand Master Swiss Lodge of Freemasons.

Dreams and The Stages of Life adalah catatan ringkas namun lengkap yang ditulis oleh Anthony Stevens mengenai Jung dan pemikiran-pemikirannya terkait telaah kejiwaan manusia. Dalam buku ini, pandangan Jung soal mimpi, yang bertentangan dengan Freud dijelaskan dengan lengkap.

Pada mulanya, Jung merasa sejalan dengan teori-teori Freud, tetapi seiring berjalannya waktu Jung melihat keterbatasan dari teori-teori Freud dan semakin lama dia semakin yakin mengenai keterbatasan itu. Jung meyakini bahwa mimpi tidak sekadar berasal dari keinginan-keinginan yang direpresi oleh kesadaran. Mimpi memiliki asal-usul dalam dunia yang lebih luas, yaitu persoalan-persoalan mendasar dari eksistensi manusia.

Pandangan bahwa mimpi semata-mata adalah pemenuhan imajiner atau khayali dari keinginan-keinginan yang terpendam jelas sudah kedaluwarsa. Memang ada, dan ini benar, mimpi yang secara nyata merepresentasikan keinginan atau ketakutan, tetapi bagaimana dengan semua hal lain? Mimpi bisa jadi mengandung kebenaran yang tak terhindarkan, pernyataan atau dalil filosofis, ilusi, fantasi liar, ingatan, rencana, antisipasi, pengalaman irasional, bahkan visi telepatis, entah apa lagi di luar itu. (Hlm.191)

Pandangan Jung terkait mimpi terasa lebih luas jika dibandingkan dengan Freud dan dengan demikian membuka kemungkinan untuk menelaah alam kejiwaan manusia lewat pengamatan intens terhadap peristiwa-peristiwa dalam mimpi. Dalam buku ini, teori-teori Jung terkait mimpi diperjelas dengan contoh-contoh yang diambil dari mimpi-mimpi Carl Jung sendiri, seperti mimpinya yang berada di perbatasan Swiss-Austria, yang olehnya diartikan sebagai pertanda berakhirnya persahabatan antara dia dan Freud.

Bagian awal buku ini berisi riwayat lengkap Jung mulai dari asal-usul keluarganya, masa kecilnya yang ditinggal mati ibunya saat usia 3 tahun dan terasing dari kehidupan sosial,  tahun-tahun sebagai mahasiswa, tahun-tahun magang, pertemuan dengan Sigmund Freud, kehidupan pernikahannya, konfrontasinya dengan bentuk-bentuk ketidaksadaran, hingga usia lanjutnya.

Membaca masa kecil Jung yang terasing dari kehidupan sosial mengingatkan saya pada tokoh Mizoguchi yang gagap, dalam novel The Temple of The Golden Pavilion karya Yukio Mishima. Mizoguchi yang gagap terasing dari kehidupan sosial, merasa kesepian, dan membuatnya asyik dengan dunia pikirannya sendiri tentang keindahan. Pergulatan Mizoguchi dengan pikirannya sendiri berhenti ketika dia membakar Kuil Paviliun dengan harapan akan menemukan keindahan sejati dari sana. Jung juga demikian. Dia tidak merasa bahagia di sekolah dan selalu merasa terasing dari teman-temannya. Dia kesepian. Bedanya dengan Mizoguchi, Jung tidak pernah berhenti bekerja menelaah pikirannya sendiri, baik pikiran sadar maupun pikiran tidak sadarnya. Dia bahkan membangun sebuah menara di Bollingen dan mengkhususkan sebuah ruangan yang hanya boleh dimasuki dirinya untuk menelaah pikirannya sendiri. Di sanalah dia merampungkan karya terpentingnya mengenai dirinya sendiri dan mengenai psikologi-nya.

Selain mengenai teori mimpi dan riwayat hidup Carl Jung, dalam buku ini juga dibahas teori tentang tahap-tahap kehidupan manusia yang dikembangkan oleh Carl Jung. Teori-teori Carl Jung boleh dikata sebagian besar berasal dari telaah mendalamnya pada diri sendiri. Hal ini membuat caranya menelaah pasien dan caranya melakukan terapi berbeda dari cara-cara konvensional pada masanya: berjarak dan tak terlibat dengan penderitaan maupun keputusasaan pasien.

Jung menyatakan bahwa analisis kejiwaan merupakan sebuah prosedur dialektis, sebuah interaksi dua arah antara dua orang, yang sama-sama memiliki keterlibatan di dalamnya. (Hlm.218)

Dalam kaitannya dengan tahap-tahap kehidupan manusia, lagi-lagi Jung berbeda pendapat dengan Freud. Freud menganggap pembentukan kepribadian dan perkembangan kejiwaan manusia sudah purna pada masa kanak-kanak—apa yang dialami pada masa dewasa hanyalah replikasi dari pola yang sudah tergaris pada masa kecil. Sebaliknya, bagi Jung, kepribadian manusia berkembang sepanjang hayat dan manusia dapat mengubah arahnya dan membentuk pola-pola baru.

Buku ini juga berisi tuduhan-tuduhan anti-semitisme yang ditujukan pada Jung, yang ditanggapinya dengan mengungkapkan bahwa ilmu pengetahuan tidaklah mencukupi karena berhenti di perbatasan logika. “Semakin nalar kritis mendominasi, semakin miskin hidup jadinya; tetapi, semakin banyak mitos yang mampu kita angkat ke kasadaran, semakin besar kehidupan yang kita integrasikan.” Jung memilih memberikan penghargaan yang selayaknya pada pengalaman-pengalaman tidak masuk akal atau tidak kausal yang ditolak ilmu pengetahuan karena tak pantas mendapat perhatian.

Bagian akhir buku ini adalah daftar panjang karya-karya Jung dan buku-buku yang membahas mengenai karya-karya Jung maupun riwayat Jung sendiri. Dalam daftar itu,  buku-buku yang membahas karya-karya Jung justru lebih banyak dari karya Jung sendiri. Hal ini disebabkan karena  Jung tidak begitu bagus dalam menyusun materinya, contohnya karyanya The Collected Works of C.G Jung dalam dua puluh jilid tebal. Buku itu tentu menghadirkan prospek menakutkan bagi pembaca. Jung bukannya tidak menyadari hal ini karena dia berkata, “Tidak seorang pun membaca buku-bukuku. Aku memiliki masalah untuk membuat orang melihat apa yang kumaksud.”

Buku ini adalah salah satu buku yang cukup berhasil menjembatani pembaca menuju karya-karya Jung. Teori-teori Jung dikupas dengan ringkas, tangkas, dan bernas. Buku ini bisa menjadi modal buat Anda yang ingin mengenal diri sendiri melalui telaah mendalam atas mimpi maupun pikiran Anda. Kalau Anda mampu mengenal diri sendiri, Anda akan mampu mengenal orang lain, dan akhirnya Anda akan mengenal Tuhan, begitulah yang sering kita dengar.

Info Buku:

Judul: Dreams and The Stages of Life (Mimpi dan Tahap-Tahap Kehidupan)

Penulis: Anthony Stevens

Penerjemah: FX Dono Sunardi

Penerbit: Baca

Cetakan I: Maret 2020

Tebal: 301 halaman

ISBN: 978-602-6486-39-4

Komentar

Postingan Populer