Potret Carut-Marut Pendidikan Nasional (Ulasan Buku Retakan Nalar Karya JC Pramudia Natal)
Yuval Noah Harari meramalkan bahwa revolusi AI akan mengubah banyak hal dalam kehidupan manusia. Hampir semua hal.
Dahulu, dalam era revolusi industi, manusia hanya bersaing dengan mesin dalam kemampuan fisik kasar. Tentu saja manusia kalah. Untungnya, manusia masih mempertahankan keunggulan besar dalam hal kognisi.
Revolusi AI kini membuat manusia harus bersaing dengan mesin dalam hal kognisi. Revolusi AI merambah jenis keterampilan yang dahulu hanya dimiliki manusia: belajar, menganalisis, berkomunikasi, dan terutama memahami emosi manusia. Berita buruknya, manusia kemungkinan besar akan kalah telak.
Revolusi
AI menjadi tantangan nyata untuk dunia pendidikan abad 21. Semua elemen pendidikan
perlu berusaha menciptakan arah yang ideal untuk pendidikan nasional guna
menjawab tantangan ini.
Menilik
arah pendidikan di bawah kepemimpinan Menteri Pendidikan saat ini, nampaknya
arah pendidikan kita sudah cukup ideal. Menteri Pendidikan Nadiem Anwar Makarim
menekankan bahwa yang paling relevan bagi siswa adalah keterampilan hidup,
kesehatan, kreativitas, dan empati.
Jika
arah pendidikan sudah ideal, bagaimana dengan perwujudan pelaksanaannya? Untuk
dapat mewujudkannya, kita perlu bercermin dengan pengalaman pelaksanaan
pendidikan yang telah kita lewati.
“Mereka
yang meluangkan waktu untuk bercermin memilih menghentikan sejenak
“pengalaman”-nya dalam rangka menemu-kenali “apa pengalaman tersebut” dapat
menikmati buah dari proses “refleksi atas pengalaman”. Mereka akan menemukan
hal-hal yang dapat dirancah dengan lebih berguna dan lebih tepat dibandingkan
jika sang pelaku meneruskan pengalamannya saja,” tulis JC Pramudia Natal dalam
pengantar bukunya yang berjudul Retakan Nalar.
Buku
Retakan Nalar ini berisi kumpulan esai yang ditulis seorang pengamat
sekaligus praktisi pendidikan sepanjang 19 tahun. Ada 28 esai yang membahas
berbagai hal tentang pendidikan nasional. Mulai dari literasi, plagiarisme,
kurikulum, kompetensi guru, kebijakan pemerintah, pembelajaran musik, peran
keluarga, sampai pada penataan ruang kelas yang ideal.
JC Pramudia
Natal menyoroti rendahnya kemampuan literasi siswa-siswa kita. Sebagai salah
satu peserta Tes PIAAC (The Programme for the International Assessment of Adult
Competencies), Indonesia menunjukkan hasil yang memprihatinkan. Sekitar 70% peserta
survey hanya mampu mencapai tataran level 1 yang menguji keterampilan seseorang
membaca teks singkat terkait topik yang diketahui dan menemukan sebuah
informasi spesifik darinya.
Penguatan
literasi digembar-gemborkan. Namun, peserta didik tidak memeroleh akses ke
karya sastra berkualitas. Sebagai pembanding, JC Pramudia Natal menyebutkan
bahwa pelajar usia SMP di mancanegara telah dipaparkan dengan teks klasik,
semacam The Importance of Being Earnest karya Oscar Wilde 1984
dam Animal Farm karya George Orwell. Ketika usia SMA mereka siap membaca
Macbeth karya Shakespeare dan Pride and Prejuidice karya Jane
Austin.
Pelajar
sekolah menengah kita akan melongo belaka jika diajak membicarakan karya Sutan
Takdir Alisjahbana, Sutardji Calzoum Bachri, Seno Gumira Adjidarma, Ahmad
Tohari, dan mengukin sesekali mengangguk ketika menyinggung Aku karya
Chairil Anwar atau Trilogi Supernova karya Dee Lestari.
Dalam
esainya berjudul Berpengetahuan Tanpa Berbahasa, JC mengkritisi
pembelajaran bahasa yang menilai kemampuan berbahasa siswa hanya dari ujian
tertulis berupa pilihan ganda dan uraian. Padahal, keterampilan berbahasa
memiliki empat aspek yang saling berkaitan, yaitu membaca, menulis, menyimak,
dan berbicara.
JC
Pramudia Natal menaruh perhatian yang cukup besar terhadap perkembangan
literasi di Indonesia. Terbukti dari cukup banyaknya esai-esai yang membahas
tentang literasi.
Menurut
JC, rendahnya tingkat literasi di negeri ini memberi andil besar terhadap
maraknya praktik plagiarisme. Dalam esainya Palung Aliterasi: Menuju Bangsa
Buruh JC mengulas tuntas praktik-praktik plagiarisme yang kerap terjadi di
perguruan tinggi.
Esai-esai
JC yang lain menyoal kurikulum. Dalam esainya berjudul Pendidikan yang Bukan
Sekadar SDM, JC menyoroti kurikulum yang pernah dipakai di pendidikan
Indonesia. Menurutnya, kurikulum dan sistem pendidikan kita sudah sangat
ketinggalan zaman. Pengotak-kotakan mata pelajaran dan sistem yang diwarisi
dari kebutuhan revolusi industri sudah tidak layak digunakan lagi.
JC
juga menyayangkan sikap lembaga pendidikan maupun orang tua yang masih memandang
sebelah mata pada pelajaran-pelajaran yang bersifat humaniora, seperti musik,
bahasa, budaya, dan kesehatan. Padahal, pelajaran-pelajaran itu sangat penting
dikuasai dalam era revolusi AI yang lebih membutuhkan orang-orang yang cakap
berkolaborasi dan berkreativitas.
Esai-esai
yang menyoal peran keluarga dalam pendidikan antara lain, Mudik Pendidikan
Keluarga, Pendidikan Pada Keluarga, Mengembalikan Kemasyarakatan sebagai Tujuan
Pendidikan, Sekolah Tidak Hanya Sejauh Doa, Balita dan Keluarga dalam
Pendidikan Nasional, dan masih banyak lagi.
Banyaknya
esai-esai yang menyoal peran keluarga dalam pendidikan menunjukkan bahwa ada
masalah di sana. Masalah yang paling umum adalah ketidaksiapan keluarga
membangun iklim yang sehat untuk anak-anak. Banyak keluarga yang menyerahkan
sepenuhnya tanggung jawab mendidik anak kepada lembaga pendidikan, seolah-olah
itu sudah cukup.
Sebagai
guru musik dan guru bahasa Indonesia, JC membuat satu bab terpisah yang berisi
esai-esainya tentang pembelajaran musik dan bahasa. Esai-esainya terkait musik
dan bahasa antara lain, Musik, Soko Guru Pendidikan yang Terlewatkan, Dari
Lagu Anak Menuju Musik Anak, Peran Musik dalam Penguasaan Bahasa Ibu, dan
masih banyak lagi.
Tak
hanya menyuguhkan carut-marut pendidikan Indonesia, JC juga menawarkan
alternatif solusi bagi permasalahan yang telah diungkapnya. Solusi-solusinya
dimuat dalam satu bab terpisah di buku ini.
JC
menawarkan solusi yang diantaranya: penggunaan kurikulum terpadu; penggeseran paradigma
pendidikan dari menyiapkan SDM—yang sebenarnya dilakukan untuk memenuhi nafsu
dunia industri—ke membangun manusia seutuhnya; pengoptimalan pembelajaran musik
dan bahasa; pengenalan karya sastra berkualitas sejak dini; pengembalian peran
keluarga; dan penataan ruang kelas yang membebaskan siswa.
Buku
ini sangat relevan untuk semua pihak yang berkaitan dengan pendidikan: guru,
siswa, orang tua, calon orang tua, pemerintah, pegiat literasi, pegiat
pendidikan alternatif, dan kalangan umum.
Untuk
menjawab tantangan revolusi AI di abad ke 21 dibutuhkan kerja sama nyata dari
semua pihak terutama pihak-pihak yang telah disebutkan. Persoalan-persoalan
pendidikan kita tidak mungkin dapat diselesaikan oleh salah satu pihak saja.
Kita
harus berjuang bersama sebab ada terlalu banyak retakan yang harus kita
rekatkan.
Info Buku:
Judul: Retakan
Nalar
Penulis: JC
Pramudia Natal
Penerbit: EA
Books
Tahun Terbit: 2020
Tebal: x + 212
halaman 13 x 19 cm
ISBN:
978-623-91089-6-0
Ulasan buku lainnya:
Guru Generasi Milenial; Buah Kontemplasi dan Interpretasi Tri Winarno yang Patut Disimak
TERIMA KASIH
SUDAH MAMPIR DI BLOG INI!
👍👍👍👍
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR ANDA!
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!