Membangun Kembali Martabat Ekologis (Ualasan Buku Pak Tua Yang Membaca Kisah Cinta Karya Luis Sepulveda)


Di Indonesia kerusakan hutan begitu masif. Penyebabnya bermacam-macam: pembalakan legal maupun ilegal, pembakaran hutan sengaja maupun tidak disengaja, ekstensifikasi perkebunan kelapa sawit, dan banyak lagi. Dampaknya, banyak satwa liar kehilangan habitatnya.

Ada banyak cerita tentang satwa liar yang mencari makan sampai ke pemukiman atau perkebunan warga. Banyak di antara mereka berakhir mengenaskan.

Orang utan, misalnya, menjadi korban atas kepentingan bisnis perkebunan kelapa sawit. Mereka dibantai secara sengaja karena dianggap sebagai hama. Mayat mereka ditumpuk begitu saja di tengah perkebunan kelapa sawit.

Cerita seperti ini ternyata tidak hanya ada di Indonesia. Novel Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta karya Luis Sepulveda saya kira adalah cerita serupa dalam bentuk sastra.

Judul novel ini memang tak ada hubungannya dengan kerusakan ekologis. Namun, isinya sangat berhubungan. Novel ini mengisahkan perburuan macan kumbang di tengah rimba raya Ekuador.

Dikisahkan, Pak Tua Antonio Bolivar tinggal sendirian di pinggiran hutan yang masih wilayah El Idilio. Untuk mengusir kesepiannya, dia membaca buku-buku picisan tentang kisah cinta yang tragis namun berakhir bahagia. Dia mendapatkan buku-buku cinta dari temannya, seorang dokter gigi di El Idilio.

Suatu hari, beberapa orang suku Shuar membawa mayat seorang pemburu ke tempat praktik dokter gigi. Sontak orang-orang El Idilio geger. Mereka berkumpul di sana untuk mencari tahu.

Walikota El Idilio menyalahkan suku Shuar atas kematian pemburu. Dia menuduh suku Shuar merampok dan membunuh pemburu itu.

Pak Tua Bolivar langsung membantah tuduhan Walikota. Dia tahu betul bahwa luka di tubuh pemburu disebabkan oleh macan kumbang dan bukan sabetan senjata orang-orang suku Shuar. Dia menunjukkan bukti-bukti yang tak terbantahkan bahwa macan kumbanglah penyebab kematian pemburu itu.

Dokter gigi semakin menguatkan argumen Pak Tua dengan membuka tas milik pemburu. Di sana barang-barang masih lengkap. Mereka juga menemukan beberapa kulit anakan macan kumbang yang berhasil dibunuh si pemburu.

Beberapa hari setelah itu, beberapa mayat kembali ditemukan dengan luka-luka serupa. Walikota geram dan memutuskan untuk memburu macan kumbang itu.

Peristiwa itu membuat Pak Tua Bolivar tak bisa melakukan kegemarannya membaca buku-buku cinta. Dia tahu, di dalam hutan ada seekor macan kumbang betina yang sedang mengamuk.

Macan kumbang hewan yang cerdik. Tidak mudah menemukannya. Orang-orang Walikota kemungkinan besar tak akan mampu membunuhnya. Sebaliknya, mereka yang bisa jadi terbunuh.

Pak Tua Bolivar tahu betul hal ini karena dia pernah hidup puluhan tahun di tengah hutan bersama suku Shuar. Walikota yang mengetahui pengalaman Pak Tua Bolivar mengajaknya ikut memburu macan kumbang itu.

Pak Tua Bolivar sebenarnya enggan. Dia punya hubungan buruk dengan Walikota. Selain itu, dia juga menyalahkan pemburu yang membunuh anak-anak macan kumbang.

Dia lebih suka membaca kisah cinta di gubuknya dari pada berurusan dengan macan kumbang yang mengamuk. Namun, Walikota mengancam akan mengusir dia dari gubuknya, jika dia tidak ikut dalam perburuan. Secara hukum, Pak Tua Bolivar memang tak punya izin tertulis menempati wilayah di gubuknya. Akhirnya, Pak Tua Bolivar memutuskan bergabung dalam perburuan macan kumbang di belantara hutan Ekuador.

Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta bukan sekadar cerita soal perburuan macan kumbang, lebih dari itu, buku ini adalah upaya membangun kembali martabat ekologis.

Lewat tokoh Pak Tua Bolivar, kita disuguhi pengetahuan tentang hutan secara menyeluruh. Tak hanya pengetahuan, kita juga disuguhi cerita-cerita mistis yang dijaga Suku Shuar. Cerita-cerita mistis yang dihidupkan ini bisa berfungsi sebagai penjaga hutan.

Misalnya, cerita tentang macan kumbang yang dianggap roh hutan. Dengan cerita ini, orang-orang tidak memburu macan kumbang untuk kesenangan. Populasi macan kumbang dengan begitu tidak terganggu. Hal ini memberi dampak bagus pada hutan karena macan kumbang adalah pengendali alami populasi babi hutan yang bisa merugikan perkebunan warga.

Dalam buku Manusia dan Gunung karya Pepep DW, ada satu cerita mistis yang hidup di kalangan orang-orang Sunda, yaitu cerita mengenai Aul atau sosok manusia berkepala serigala yang mendiami lereng-lereng gunung. Cerita-cerita mistis seperti ini juga ada di Jawa Tengah. Kurang lebih fungsinya sama, menjaga lingkungan di sekitar gunung agar tidak dirusak manusia.

Namun, jika kita menilik perkembangan kebudayaan hingga hari ini, cerita-cerita semacam ini telah kehilangan fungsinya. Cerita-cerita seperti ini kini hanya dianggap sebagai dongeng belaka.

Selain cerita mistis yang hidup di antara Suku Shuar, yang menarik dari buku ini adalah perbedaan sikap yang ditunjukkan oleh Pak Tua Bolivar dengan Walikota El Idilio dan orang-orangnya.

Sepanjang perburuan dilakukan Pak Tua Bolivar tak pernah mengurangi kewaspadaannya. Dia selalu yakin bahwa macan kumbang yang sedang diburu bukanlah makhluk bodoh yang akan takluk dengan mudahnya hanya karena manusia membawa senjata.

Berbeda dengan Walikota El Idilio dan orang-orangnya yang bertindak ceroboh karena merasa aman sebab memiliki senjata. Mereka semata menganggap bahwa macan kumbang yang sedang diburu tak lebih dari hewan buruan yang merepotkan.

Alhasil, berhari-hari di dalam hutan, mereka hanya memeroleh jejak si macan kumbang tanpa pernah menembaknya. Satu hal yang ditertawakan oleh Pak Tua Bolivar. Ia menganggap mereka sedang dipermainkan oleh si macan kumbang.

Walikota El Idilio dan orang-orangnya menyerah dan memutuskan berhenti memburu macan kumbang yang tak kunjung ditemukan. Mereka menyerahkan urusan ini kepada Pak Tua Bolivar.

Pak Tua Bolivar menyambut dengan senang hati karena kesembronoan dan kecerobohan Walikota El Idilio dan orang-orangnya membuat Pak Tua Bolivar jengah. Satu-satunya cara memang dialah yang harus memburu si macan kumbang.

Setelah dia sendirian di hutan, dia menyadari bahwa untuk bisa menemukan macan kumbang tak dapat ia lakukan dengan mencarinya. Macan kumbang hewan yang cerdik dan ia harus menggunakan kecerdikan pula untuk menemukannya.

Pak Tua Bolivar tak lagi menganggap ia sedang berburu macan kumbang, melainkan bersiap bertarung dengannya. Dia menunggu, tak lagi mencari. Ketika itulah justru si macan kumbang muncul. Namun, macan kumbang itu seperti tidak tertarik untuk menghabisi Pak Tua Bolivar. Ia seolah-olah ingin Pak Tua Bolivar mengikutinya.

Pak Tua Bolivar yang telah lama hidup dalam hutan segera menyadarinya. Dia terus mengikuti si macan kumbang dalam jarak aman dan kewaspadaan yang tinggi hingga si macan kumbang berhenti di suatu tempat dan mengaum keras. Auman yang oleh Pak Tua Bolivar diartikan sebagai ratapan kesedihan. Ratapan itu begitu memilukan bagi Pak Tua hingga ia penasaran apa yang menyebabkan si macan kumbang meratap begitu rupa.

Dari tempat yang lebih tinggi, tahulah ia bahwa si macan meratap untuk pasangan jantannya yang sedang sekarat akibat luka tembak seorang pemburu. Sebuah perasaan haru merayap disekujur tubuh Pak Tua. Ia kini merasakan penderitaan si macan kumbang.

Tanpa ragu, Pak Tua mengarahkan senapannya ke arah pejantan yang sedang sekarat dan mengakhiri hidupnya. Cerita tak berhenti di sini, melainkan terus berlanjut ke pertarungan Pak Tua dengan si macan kumbang yang mengamuk itu.

Sikap Pak Tua Bolivar terhadap hutan dan segala penghuninya adalah sikap yang penuh empati. Dia tak semata menganggap hutan adalah pemenuh kebutuhan manusia. Dia menaruh hormat terhadap hutan dan menjaga martabat hutan dengan sikapnya.

Di tengah semakin meluasnya kerusakan hutan yang disebabkan manusia, novel pendek ini sangat patut dibaca.

Dengan pengisahan yang teliti dan bahasa yang memukau, novel ini menghadirkan satu keseruan luar biasa bertualang di rimba raya belantara Ekuador sambil mengajak kita untuk lebih menghargai hutan dan segala penghuninya.


Info Buku:

Judul: Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta

Penulis: Luis Sepulveda

Penerjemah: Ronny Agustinus

Penerbit: Marjin Kiri

Cetakan Kedua: Agustus 2017

Tebal: x + 133 hlm, 12 x 19 cm

ISBN: 978-979-1260-71-8


Baca ulasan lainnya di blog ini:

Novel China:
Novel Jerman:
Novel Brasil:

TERIMA KASIH 

SUDAH MAMPIR DI BLOG INI!


👍👍👍👍


JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR ANDA! 

Komentar

Postingan Populer