Meneguk Inspirasi dari Para Pendidik Negeri Ini | Ulasan Buku "Oase Pendidikan di Indonesia; Kisah Inspiratif Para Pendidik"
![]() |
"Guru yang baik adalah para individu yang memahami mengapa mereka menjadi guru dan peduli pada peserta didik," hlm. 10. |
Sabtu, 28 Desember 2024, aku mengikuti tahap akhir seleksi CPNS. Jika lulus tahun ini, aku bertekad akan membaktikan hidupku untuk pendidikan. Dengan tekad ini aku mencoba mencari inspirasi dari para pendidik yang telah lebih dulu membaktikan dirinya untuk pendidikan. Aku menemukan mereka dalam buku "Oase Pendidikan di Indonesia; Kisah Inspiratif Para Pendidik," yang kupinjam dari perpustakaan sekolah.
Minggu, 12 Januari 2025, aku dinyatakan lolos seleksi CPNS. Rasa syukur kupanjatkan kehadirat Allah SWT. Aku tidak melupakan tekadku untuk membaktikan hidupku pada dunia pendidikan. Hal ini membuatku semakin bersemangat membaca buku tentang perjuangan para pendidik ini. Kali ini, aku berniat membagikan interpretasiku terhadap buku ini.
"Guru yang namanya tak terlupakan adalah guru yang paling memberikan hati pada anak didiknya," hlm. 4. Teaching is touching. Mendidik adalah menyentuh hati. Pada hakikatnya mendidik adalah mengubah seseorang atau diri kita sendiri menjadi lebih cerdas, lebih bijak, lebih terampil, lebih mandiri, lebih mampu menjadi manusia yang merdeka. Bagaimana mungkin dua orang yang tak terpaut hatinya satu sama lain dapat saling mengubah?
Kita tidak akan mampu mengubah diri sendiri tanpa terlebih dahulu mengenal siapa kita sebenarnya. Begitu pula dengan mengubah orang lain. Kita tidak akan mampu mengubah orang lain tanpa menyentuh hatinya lebih dahulu. Kita tidak akan mampu mengubah siswa kita tanpa mengenal mereka terlebih dahulu.
Buku ini menceritakan kisah para guru di berbagai penjuru Indonesia. Mereka tengah berupaya membuat dunia pendidikan menjadi lebih baik lewat usaha-usaha alternatif. Dalam buku ini ada kisah para guru yang berupaya menyentuh hati murid-muridnya, kisah para guru yang berupaya menjawab kebutuhan murid-muridnya, dan kisah para guru yang tidak menyerah di tengah keterbatasan fasilitas yang ada. Ibarat kata, mereka seperti orang gila yang menabur benih di tanah kering bebatuan.
Pembelajaran yang Memerdekakan
"Guru yang baik adalah para individu yang memahami mengapa mereka menjadi guru dan peduli pada peserta didik," hlm. 10. Kepedulian terhadap peserta didik seharusnya kita wujudkan dengan mengupayakan pembelajaran yang memerdekakan mereka. Apa maksudnya? Pembelajaran seharusnya memerdekakan, bukan malah membuat mereka dipenjara dalam kotak-kotak mata pelajaran yang teramat kaku.
Aku sering melihat peserta didik yang berangkat sekolah dengan langkah gontai seolah-olah hendak memasuki penjara dan mereka pulang dengan penuh kegembiraan seolah-olah bebas dari penjara. Bagaimana tidak, mereka tidak punya keterlibatan dalam perencanaan pembelajaran. Mereka tidak memiliki kebebasan untuk memilih apa yang ingin mereka pelajari. Mereka hanya diperankan sebagai penerima saja. Kamu harus pelajari ini! Kamu harus pelajari itu! Mereka tidak tahu mengapa harus mempelajari suatu hal dan apa kaitannya dengan kehidupan mereka. Mereka sering dianggap objek pendidikan, bukan subjek pendidikan.
![]() |
Sumber: dokumen pribadi |
Untunglah, masih ada lembaga pendidikan yang menghargai kemerdekaan anak meskipun jumlahnya mungkin sangat sedikit. Sanggar Anak Alam (Salam) adalah salah satunya. Dalam hal pendidikan dasar, misalnya, Salam berprinsip bahwa mata pelajaran di pendidikan dasar tak perlu terlalu banyak. Pendidikan dasar harus benar-benar berisikan hal-hal yang mendasar saja.
Salam mendesain kurikulum sendiri, menggunakan perspektif pangan, kesehatan, lingkungan hidup, dan sosial budaya. Melalui riset, pengamatan (ilmu titen--bahasa Jawa), praktik lapangan, anak-anak diupayakan memperoleh pengalaman nyata dan memperoleh pengetahuannya sendiri secara merdeka.
Aku sudah lama mengetahui tentang Salam. Kalau tidak salah, Salam bermula di Banjarnegara dan ini membuatku semakin tertarik dengan Salam karena aku juga lahir di Banjarnegara.
Yang paling menarik dari Salam adalah kurikulum yang berbasis riset. Aku mengenal riset di perguruan tinggi, itu pun rasanya sangat kurang. Di Salam, riset dijadikan basis pembelajaran bahkan dari tingkat SD. Anak-anak menentukan sendiri apa yang ingin mereka pelajari kemudian mencari sendiri melalui riset yang dipandu oleh para fasilitator. Pembelajaran tak disekati oleh mata pelajaran atau oleh jadwal pembelajaran. Proses belajar bisa dilakukan kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja.
Kalau kamu ingin mengenal lebih jauh seperti apa Salam itu sebenarnya, untuk permulaan kamu bisa membaca buku "Sekolah Biasa Saja; Catatan Pengalaman Sanggar Anak Alam (SALAM)," yang ditulis oleh pendirinya, Toto Raharjo.
Kepedulian di Tengah Keterbatasan
Dalam buku yang kubahas ini, ada kisah-kisah inspiratif dari para guru yang tak menyerah menghadapi keterbatasan. Seperti pada kisah "Beasiswa dari Jepit Rambut," yang menceritakan sebuah sekolah yang mengalami kesulitan. Banyak siswanya tak mampu bersekolah lantaran keterbatasan sarana transportasi. Jalan menuju sekolah begitu jauh dan rusak. Beberapa siswa memilih untuk berhenti sekolah karena keadaan tersebut.
Pihak sekolah tentu saja tak tinggal diam. Pihak sekolah ingin memfasilitasi anak-anak tersebut dengan sepeda agar mereka bisa bersekolah. Keinginan itu memunculkan sebuah ide untuk membuat ekstrakurikuler yang sekaligus menghasilkan produk berupa jepit rambut. Produk-produk itu kemudian dijual dan keuntungan dari penjualan produk tersebut digunakan untuk memfasilitasi siswa dengan kendaraan sederhana berupa sepeda agar mereka bisa bersekolah lagi.
Yang menarik adalah bagaimana proses memulai ekstrakurikuler baru ternyata bukanlah hal mudah. Berbagai tantangan dan hambatan dilalui dengan susah payah. Namun, lewat kegigihan dan kerja sama, semua itu membuahkan hasil yang nyata pada akhirnya. Bahkan sekolah yang awalnya dipandang sebelah mata itu pada akhirnya menjadi sekolah yang ditiru oleh sekolah-sekolah lain. Hal tersebut tak mungkin terjadi tanpa didahului oleh kepedulian seorang guru terhadap kondisi yang dialami siswanya.
Kepedulian adalah elemen yang sangat penting namun kerap diabaikan oleh seorang guru. Aku juga terkadang seperti itu, dengan berbagai alasan. Terkadang, tanpa kusadari yang kupedulikan sekadar menyampaikan materi agar target kurikulum tercapai. Kadang yang menjadi fokusku adalah kesalahan murid dan apa sanksi yang patut kuberikan pada mereka. Aku tak berusaha peduli dengan alasan apa yang sebenarnya membuat mereka melakukan kesalahan. Aku hanya peduli pada kemampuan mereka menyerap materi yang kuajarkan tanpa peduli faktor-faktor eksternal atau internal yang mempengaruhi mereka.
Ciliwung Larung adalah kisah lain tentang kepedulian di buku ini . Ciliwung Larung merupakan upaya komunitas warga pinggiran bantaran Sungai Ciliwung untuk mengentaskan kemiskinan melalui pendidikan.
Ciliwung Larung bermula dari kepedulian seorang aktifis kemanusiaan I. Sandyawan Sumardi, yang melihat bahwa realitas warga di bantaran Sungai Ciliwung kerap kali terpinggirkan bahkan tergusur. Kalau bukan mereka sendiri yang mengupayakan pengentasan kemiskinan tidak akan ada yang membantu mereka. Berangkat dari kepedulian tersebut, Sumardi memutuskan untuk tinggal dan hidup bersama komunitas warga pinggiran bantaran Sungai Ciliwung untuk menginisiasi pendidikan elemen masyarakat Sungai Ciliwung. Sasaran pendidikan yang digagasnya mencakup semua elemen masyarakat mulai dari anak-anak, remaja, hingga orang-orang dewasa.
Aku belajar dari kisah Ciliwung Larung bahwa sebagai seorang guru, aku tak boleh sama sekali berhenti untuk belajar. Sebagai seorang guru, aku harus menjadi pembelajar sepanjang hayat. Yang tak kalah penting adalah aku harus mempunyai kepedulian terhadap lingkungan di sekitarku. Hal ini selaras dengan salah satu kompetensi guru, yaitu kompetensi sosial. Sebagai seorang guru, secara khusus kita perlu memiliki kepedulian terhadap lingkungan di sekitar kita maupun di sekitar sekolah kita agar kita mampu menyajikan konteks yang relevan untuk peserta didik. Kita juga perlu memiliki kepedulian terhadap lingkungan masyarakat secara luas yaitu bangsa dan negara.
Merajut Asa Melalui Pustaka
Bukan rahasia lagi bahwa fasilitas pendidikan di negeri ini sangat sangat sangat tidak merata. Ada sekolah dengan fasilitas serba lengkap. Di lain sisi, ada sekolah yang bahkan dinding saja hampir roboh. Banyak sekolah yang tak memiliki fasilitas dasar semacam perpustakaan. Adapun yang memiliki perpustakaan, seringkali tak dilengkapi dengan buku-buku yang layak. Perpustakaan hanya sekadar ada. Tak heran jika skor PISA kita di bidang literasi termasuk yang terburuk di dunia.
Beruntung ada orang-orang yang pedui dengan hal tersebut. Beberapa kisah dalam buku ini bercerita tentang bagaimana perjuangan orang-orang yang peduli dengan dunia literasi. Mereka berupaya membantu sekolah-sekolah pinggiran dalam membuat atau mengadakan perpustakaan dengan sarana yang serba kekurangan.
Ada sekolah yang memanfaatkan teras depan kelas untuk membuat perpustakaan. Lokasinya yang berada di teras kelas, membuat mereka terpaksa memasukkan buku-buku ke dalam kelas jika hujan tiba-tiba turun. Ada yang tidak memiliki rak buku sama sekali dan berinisiatif memakai plastik besar untuk mengganti rak buku. Buku-buku dimasukkan dalam kantong plastik bening dan digantung. Ada pula program buku bergulir untuk menyiasati jumlah koleksi buku yang terlalu sedikit. Buku-buku akan dipindahkan ke sekolah lain secara bergantian agar semua sekolah saling berbagi buku yang mereka miliki.
Ada satu cerita yang menurutku cukup miris. Beberapa sekolah tak mau meminjamkan bukunya kepada siswa lantaran takut buku tersebut hilang atau rusak. Pihak sekolah tahu keadaan siswa yang untuk makan saja susah, maka jika buku yang dipinjam hilang atau rusak mereka tak akan mempu menggantinya. Sekolah pun tak mampu mengganti buku yang rusak atau hilang karena keterbatasan dana.
Cerita-cerita tentang upaya mengadakan perpustakaan membuatku mengingat masa-masa awalku menjadi guru di sekolah yang tak memiliki perpustakaan. Aku ingin berbagi pengalaman bagaimana upayaku mengadakan perpustakaan di sekolah itu dan sekaligus menghidupkannya.
![]() |
Perpustakaan di sekolahku selalu ramai pengunjung |
Awal mula aku menjadi guru adalah di sekolah yang tak memiliki perpustakaan sama sekali. Meski demikian, di setiap kelas ada pojok baca dengan rak buku yang cukup bagus. Namun, isinya hanya buku-buku pelajaran belaka. Ada beberapa buku cerita namun kondisinya sangat tidak menarik perhatian.
Di pojok kelasku ada rak buku yang kosong melompong dan sepertinya bagus jika kutaruh di sana buku-bukuku. Kupilih buku yang kira-kira cocok untuk anak-anakku.
Aku masuk kelas sambil membawa beberapa kardus berisi buku-buku. Anak-anak kelihatannya penasaran. Kukeluarkan dan kuminta mereka menatanya di rak buku. Satu dua anak bertanya apakah buku-buku itu boleh mereka baca dan pinjam. Tentu saja boleh karena memang itulah tujuanku.
Aku meminta mereka membaca buku-buku itu minimal 15 menit sebelum pelajaran dimulai. Sekitar dua minggu berlalu mereka masih semangat membaca buku-buku itu. Setelah itu antusiasme mereka membaca buku turun lagi. Saat kutanya mengapa, beberapa menjawab: buku yang bagus sudah dibaca tinggal yang jelek-jelek.
Aku berpikir bagaimana supaya mereka tetap semangat membaca. Kubeli buku-buku bekas yang murah: komik, novel, ensiklopedi, dll. Ada juga beberapa yang baru. Beberapa ada yang mereka sukai, banyak juga yang tidak. Yang tidak disukai lebih banyak. Maklumlah buku murah, bekas pula.
Karena beli buku langsung seperti itu tidak terlalu efektif, aku tawarkan kepada mereka untuk request buku yang mereka ingin baca dan nantinya aku yang membelikan. Setiap dua minggu aku membeli satu buku sesuai yang anak-anakku minta pakai dana pribadiku yang terbatas.
Lama-lama anak yang request semakin banyak hingga deretan judul buku mengantri untuk kubeli. Karena sumber danaku terbatas, maka yang tadinya dua minggu sekali aku beli buku, kini hanya satu bulan sekali. Sebulan sekali satu anak dapat membaca buku yang ingin mereka baca.
Namun ini pun tak bertahan lama. Aku hanya guru honorer yang kadang-kadang dapat gaji tiga bulan sekali. Anak-anak menanyakan terus apakah buku yang mereka request sudah datang atau belum. Aku senang tentu saja. Tapi sekaligus bingung menjawabnya.
Aku berpikir bagaimana jika buku-buku yang masih ada di rumahku yang aku anggap tak cocok dengan mereka ternyata malah mereka sukai.
Aku bawa beberapa di antaranya: O karya Eka Kurniawan, Animal Farm karya George Orwell, Moby Dick, The Old Man and The Sea, Orang-Orang Proyek, dll. Aku taruh mereka di meja kerjaku. Kubiarkan di sana begitu saja.
Beberapa hari kemudian salah seorang siswa menanyakan buku-buku itu apakah boleh dipinjam atau tidak. Kubiarkan dia pilih yang menurutnya bagus. Dia pilih O karya Eka Kurniawan. Aku bilang padanya, kalau sampai 10 halaman kamu merasa buku itu membosankan jangan lanjutkan membacanya. Dia baca buku itu saat istirahat menjelang solat dzuhur, katanya bagus dan akan dia lanjutkan membaca di rumah.
Biasanya aku hanya memberi jatah waktu pinjam tiga hari, tapi karena buku itu cukup tebal aku beri dia waktu dua minggu. Ternyata hanya dalam waktu sekitar satu minggu sudah selesai. Dari sini aku belajar bahwa lebih baik tidak mendikte selera bacaan mereka. Yang penting berusaha menyediakan sebanyak mungkin pilihan buku-buku buat mereka sambil tetap membimbing mereka.
Anak-anak yang request buku semakin banyak. Awalnya hanya di kelasku saja, lama-lama kelas lain ikut-ikutan request. Aku bingung harus bagaimana menyediakan buku-buku yang direquest itu. Untunglah ada sebuah solusi. Aku ditunjuk jadi bendahara BOS di sekolahku. Aku bisa alokasikan sebagian dana BOS untuk beli buku bacaan buat anak-anak. Kalau kepala madrasah menolak usulan alokasiku untuk beli buku bacaan, aku tinggal mengundurkan diri saja. Lagi pula gak ada yang mau jadi bendahara BOS selain aku. Hahaha
Saat ini kulihat sudah beberapa anak yang mulai rutin membaca. Ada anak yang untuk pertama kalinya menamatkan sebuah novel. Ada yang sudah beberapa kali menamatkan komik berseri. Ada pula yang berhenti di tengah jalan.
Aku selalu bilang pada mereka, di dunia ini ada berjuta-juta buku, kalau sebuah buku tidak enak dibaca, dan kalian mengantuk saat membacanya, bukan berarti bahwa kalian itu malas baca buku. Singkirkan saja buku itu dan cari buku lain yang enak dibaca.
Nah, itu pengalamanku merintis sebuah perpustakaan di sekolah. Saat ini sudah ada perpustakaan di sekolahku yang aku usahakan dengan memanfaatkan ruang bekas mushola. Yang membaca pun sudah lumayan banyak dan rutin.
Kembali lagi ke buku yang sedang kubahas. Buku ini aku rekomendasikan kepada guru-guru yang ingin mengabdikan diri di bisang pendidikan. Nilai semangat kemandirian, kreativitas, dan cinta tulus yang dimiliki guru-guru di dalam kisah buku ini, layak disebarkan sebagai api penyulut pendidikan berkualitas di Indonesia. Kehidupan yang berkualitas lahir dari pendidikan yang berkualitas.
Ini saja yang mampu kubagikan terkait buku Oase Pendidikan Di Indonesia.
Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah mampir di blog guru mulang.
Beberapa hari kemudian salah seorang siswa menanyakan buku-buku itu apakah boleh dipinjam atau tidak. Kubiarkan dia pilih yang menurutnya bagus. Dia pilih O karya Eka Kurniawan. Aku bilang padanya, kalau sampai 10 halaman kamu merasa buku itu membosankan jangan lanjutkan membacanya. Dia baca buku itu saat istirahat menjelang solat dzuhur, katanya bagus dan akan dia lanjutkan membaca di rumah.
Biasanya aku hanya memberi jatah waktu pinjam tiga hari, tapi karena buku itu cukup tebal aku beri dia waktu dua minggu. Ternyata hanya dalam waktu sekitar satu minggu sudah selesai. Dari sini aku belajar bahwa lebih baik tidak mendikte selera bacaan mereka. Yang penting berusaha menyediakan sebanyak mungkin pilihan buku-buku buat mereka sambil tetap membimbing mereka.
Anak-anak yang request buku semakin banyak. Awalnya hanya di kelasku saja, lama-lama kelas lain ikut-ikutan request. Aku bingung harus bagaimana menyediakan buku-buku yang direquest itu. Untunglah ada sebuah solusi. Aku ditunjuk jadi bendahara BOS di sekolahku. Aku bisa alokasikan sebagian dana BOS untuk beli buku bacaan buat anak-anak. Kalau kepala madrasah menolak usulan alokasiku untuk beli buku bacaan, aku tinggal mengundurkan diri saja. Lagi pula gak ada yang mau jadi bendahara BOS selain aku. Hahaha
Saat ini kulihat sudah beberapa anak yang mulai rutin membaca. Ada anak yang untuk pertama kalinya menamatkan sebuah novel. Ada yang sudah beberapa kali menamatkan komik berseri. Ada pula yang berhenti di tengah jalan.
Aku selalu bilang pada mereka, di dunia ini ada berjuta-juta buku, kalau sebuah buku tidak enak dibaca, dan kalian mengantuk saat membacanya, bukan berarti bahwa kalian itu malas baca buku. Singkirkan saja buku itu dan cari buku lain yang enak dibaca.
Nah, itu pengalamanku merintis sebuah perpustakaan di sekolah. Saat ini sudah ada perpustakaan di sekolahku yang aku usahakan dengan memanfaatkan ruang bekas mushola. Yang membaca pun sudah lumayan banyak dan rutin.
Kembali lagi ke buku yang sedang kubahas. Buku ini aku rekomendasikan kepada guru-guru yang ingin mengabdikan diri di bisang pendidikan. Nilai semangat kemandirian, kreativitas, dan cinta tulus yang dimiliki guru-guru di dalam kisah buku ini, layak disebarkan sebagai api penyulut pendidikan berkualitas di Indonesia. Kehidupan yang berkualitas lahir dari pendidikan yang berkualitas.
Ini saja yang mampu kubagikan terkait buku Oase Pendidikan Di Indonesia.
Semoga bermanfaat. Terima kasih sudah mampir di blog guru mulang.
Informasi Buku:
Judul Buku : Oase Pendidikan di Indonesia
Penulis : Tim Penulis Mitra Forum Pelita
Penerbit : Raih Asa Sukses
Tahun Terbit : 2014
Kode Buku : SD01093
ISBN : 9789790132047
Postingan Terkait:
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!