Pilih Sintas Atau Dilibas Tuntas; Pramuka dan Masa Depannya

Kupandangi tongkat Pramuka buatan kakek di sudut rumah dengan perasaan sedih. Aku tidak ikut berkemah dengan teman-temanku. Alasannya aku tak tahu. Itulah kenanganku tentang Pramuka waktu aku masih di sekolah dasar. Di SMP, aku malah tak punya kenangan apa-apa. Aku hanya ingat setiap Jumat dan Sabtu harus memakai seragam Pramuka. Apakah itu boleh kusebut kenangan?

Aku “mengenal” Pramuka di SMA dan membuat banyak kenangan dengan teman-temanku. Saat itu, sekolah mewajibkan seluruh siswanya untuk mengikuti kegiatan Pramuka. Aku ikut dengan terpaksa. Begitu pula teman-temanku.

Memang menyebalkan tidak bisa langsung pulang atau bermain dengan teman-teman setelah jam pelajaran selesai karena harus ikut latihan Pramuka. Panas, haus, dan capek membuat kegiatan Pramuka terasa begitu lama. Namun lama-lama aku terbiasa.

Aku tak pernah macam-macam di sekolah atau dengan kata lain tunduk dengan aturan-aturan sekolah. Ketika teman-temanku memilih minggat dari latihan Pramuka, aku hanya bisa menginginkannya saja. Kenapa aku tak seberani mereka, pikirku kala itu.

Hari berikutnya, aku lihat mereka dihukum oleh kakak kelas pengurus Pramuka atau yang disebut Bantara. Dalam hati aku berkata, untunglah aku tidak ikut-ikutan.

Aku rutin mengikuti latihan-latihan pramuka setiap hari Jumat dan lama-lama malah jadi suka. Aku melihat para Bantara sangat percaya diri. Mereka menyampaikan materi di depan adik-adik kelas dengan semangat, diselingi tepuk-tepuk atau nyanyi-nyanyi. Kok, mereka gak malu, ya! Begitu pikirku. Aku tidak tertarik dengan materi yang mereka ajarkan. Aku lebih tertarik dengan cara mereka menyampaikannya. Aku lihat para Bantara itu orang-orang yang cekatan dan percaya diri; sesuatu yang tak kupunyai.

Aku pernah dihukum karena salah pakai kaos kaki. Mereka para Juru Adat (sebutan untuk anggota Bantara yang bertugas mengawal ketertiban dan kedisiplinan) tak pernah ragu menghukum kami, meskipun di antara kami ada yang terkenal sebagai anak sangar. Setelah jadi anggota Bantara, aku baru tahu bahwa sesudah menghukum adik kelasnya, mereka menghukum diri sendiri dua kali lipat dari hukuman yang mereka berikan kepada kami. Jika masih ada yang melanggar aturan, berarti mereka belum mampu jadi Juru Adat yang baik, begitu alasannya.

Aku mulai suka Pramuka dan memutuskan untuk ikut lebih aktif dengan mendaftar sebagai Bantara. Menjadi Bantara tidak mudah. Ada rangkaian ujian yang harus dilewati. Lebih sulit lagi justru setelah menjadi Bantara.

Saat menjadi Bantara itulah aku bersama teman-temanku menciptakan kegembiraan dan pengalaman-pengalaman tak terlupakan hingga saat ini.

Aku pernah mengamen dari sekolahku hingga alun-alun, menginap di UKS sekolah yang terkenal angker, naik gunung, berkemah di tengah hutan dengan tenda yang bocor, makan nasi goreng di bawah guyuran hujan, tidur di samping api unggun di tengah lapangan berselimutkan langit penuh bintang.

Aku berubah. Aku yang peragu dan tidak percaya diri perlahan berubah. Aku dipaksa berbicara di depan orang-orang, aku dipaksa memimpin upacara, memimpin rapat, berdiskusi dengan teman-teman bahkan berdebat, bertemu dengan orang-orang baru, berlatih menyusun agenda, dan berlatih menyusun prioritas dalam hidup.

Perlahan aku berubah menjadi lebih percaya diri dan lebih sibuk tentu saja. Kalau dahulu aku tak diwajibkan ikut Pramuka, mungkin aku tetap jadi anak culun sampai sekarang. Pramuka memang pembentuk karakter anak muda yang cukup efektif.

Aku kaget membaca berita Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mencabut kegitan Pramuka sebagai ekstrakurikuler wajib di sekolah. Apa gerangan alasannya? Yang kubaca di beberapa berita adalah bahwa ekstrakurikuler Pramuka sifatnya sukarela, jadi tak boleh diwajibkan.

Bagiku tak jadi soal apakah ekstrakurikuler Pramuka wajib atau tidak. Yang selama ini mengganjal benakku adalah bagaimana proses pengambilan kebijakan di Kementerian Pendidikan.

Aku pernah membaca bahwa di negara maju, untuk membuat sebuah kebijakan harus dilandasi dengan hasil riset. Tapi, rasanya di negeri ini kebijakan seperti dibuat asal-asalan atau cuma coba-coba saja. Ketika suatu kebijakan dirasa kurang tepat, serta-merta dibuat kebijakan baru. Apakah memang demikian atau aku saja yang tidak tahu?

Aku bekerja sebagai seorang guru di salah satu Madrasah Ibtidaiyah di Jawa Tengah. Di sekolahku, kegiatan Pramuka baru mulai menggeliat beberapa bulan lalu, tepatnya satu semester lalu.

Para guru yang awalnya ogah-ogahan kulihat mulai terbiasa menjalankan perannya sebagai pembina Pramuka. Pramuka akan hidup di sini, di sekolahku, begitu pikirku.

Setiap Sabtu kami latihan Pramuka. Aku sendiri yang menyiapkan berbagai materinya, membuat jurnal, membuat yel-yel, menyusun prosedur upacara,  menyiapkan barisan saat apel, dan lain-lain. Aku bahkan mengalokasikan dana BOS untuk honor pembina Pramuka agar para pembina lebih semangat. Usahaku membuahkan hasil. Kini kami rutin melaksanakan latihan Pramuka setiap Sabtu. Pada jam istirahat kulihat ada saja siswa yang sedang menemui salah satu pembina untuk ujian SKU. Mereka semangat sekali, berlomba-lomba menjadi yang tercepat lulus SKU.

Keputusan Menteri Pendidikan tidak mewajibkan ekstrakurikuler pramuka kukira akan meruntuhkan apa yang sudah kubangun selama ini. Pramuka akan mati sekali lagi di sekolahku.

Pemikiranku sederhana, kalau saat diwajibkan saja menghidupkan Pramuka susahnya bukan main apalagi kalau tidak diwajibkan. Para guru akan punya seribu alasan untuk berkelit dari kegiatan Pramuka. Aku tak menyalahkan mereka, tanpa kegiatan Pramuka saja tugas guru memang sudah sangat banyak. Ibarat sebuah kendaraan yang muatannya terlalu banyak tentu sulit menanjak. Jangankan menanjak, melaju cepat di jalan yang datar saja rasanya tak mungkin. Makannya pendidikan kita seperti tak kemana-mana. Stagnan.

Anak-anak akan jadi Pramuka karbitan lagi, yang mengenal Pramuka hanya ketika ada acara kemah bersama sekolah lain atau kegiatan pesta siaga. Sisanya mungkin tak akan kenal Pramuka sama sekali.

Tidak diwajibkannya ekstrakurikuler Pramuka tentu menjadi tantangan bagi para pembina Pramuka. Mau tak mau ekstrakurikuler Pramuka akan bersaing dengan ekstrakurikuler lain dalam memperebutkan minat siswa. Bersaing secara adil tentu saja. Untunglah pramuka diisi orang-orang kreatif.  Jadi kukira tak masalah. Mereka akan berbenah dan memang mesti terus berbenah kalau tak mau terlibas ekstrakurikuler lain. Untuk sintas memang harus trengginas.

 

 

 

Komentar

Postingan Populer