Seumpama Matahari dan Beberapa Kejanggalannya
Novel Seumpama Matahari ditulis Arafat Nur berdasarkan
catatan gerilya Thayeb Loh Angen, kombatan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Semula
Thayeb hendak memusnahkan catatannya, tetapi berhasil diselamatkan Arafat Nur. Catatan
Thayeb Loh Angen ini menggambarkan aktifitas Gerakan Aceh Merdeka, mulai dari
perekrutan, pelatihan, pertempuran-pertempuran melawan tentara pemerintah, dan hubungan
GAM dengan warga sekitar.
Novel ini dimulai dengan adegan pengepungan
beberapa anggota kombatan GAM oleh tentara pemerintah. Asrul dan kedua temannya
berhasil meloloskan diri dari pengepungan itu dan kembali ke markas GAM. Asrul
adalah seorang pemuda yang bergabung bersama GAM lantaran ingin membalas dendam
atas kematian ayahnya. Ia dengan senang hati menerima ajakan temannya saat ada
perekrutan anggota GAM.
Orang-orang yang direkrut oleh GAM biasanya
anak-anak muda yang punya semangat juang tinggi atau yang secara tidak langsung
terlibat karena orang tua mereka juga tentara gerilya. Ada pula yang direkrut
karena orang tua mereka mati ditembak tentara pemerintah lalu mereka ingin
membalas dendam pada pemerintah. Para pemuda yang telah direkrut kemudian
dilatih menggunakan berbagai senjata untuk bertempur melawan tentara
pemerintah.
Bagi tentara gerilya, pertempuran mereka melawan
pemerintah adalah perang kemerdekaan. Sebagaimana setiap perang selalu meminta
korban, perang ini juga demikian. Korban dari pihak pemerintah dan dari tentara
gerilya terus berjatuhan. Hal itu terus menumbuhkan dendam di dada tentara
gerilya dan menjadi bahan bakar semangat mereka. Namun, korban yang
sesungguhnya dari perang ini adalah warga sekitar daerah konflik. Mereka berada
dalam posisi dilema. Jika mereka membantu tentara gerilya, apa pun bentuknya,
mereka akan mendapat perlakuan semena-mena dari tentara pemerintah. Begitu juga
sebaliknya. Dua pihak yang berseteru merasa sedang membela kepentingan warga
sekitar, meski yang sebenarnya diinginkan adalah kedamaian, bukan konflik. Asrul
tidak menyadari hal ini sehingga ia bersama teman-temannya terus bergerilya di
hutan-hutan hingga suatu ketika dia sangat merindukan kampung halamannya.
Saat kembali ke kampung halamannya, tanpa sengaja
dia bertemu dengan seorang gadis bernama Putri. Singkat cerita, Asrul mencintai
putri dan memutuskan untuk berhenti bergerilya karena ingin menikahinya. Di
sinilah babak baru hidup Asrul dimulai, dia harus meninggalkan kehidupannya
sebagai tentara gerilya. Lama berada di hutan, dia kesulitan hidup di kota dan
akhirnya luntang-lantung jadi gelandangan.
Meski ditulis berdasarkan catatan seorang
gerilyawan, ada kejanggalan-kejanggalan kecil yang menurut saya sedikit
mengganggu. Pertama, mudahnya Asrul kembali ke kampung halamannya setelah tiga
tahun berada di hutan bersama pasukan gerilya. Dalam novel ini digambarkan
Asrul melewati pos penjagaan tentara pemerintah dengan masih dalam tampilan
seorang gerilyawan, yaitu berambut gondrong. Meski Asrul menumpang Chevrolet khusus
penumpang bersama orang-orang dari pasar, agak aneh rasanya dia lolos begitu
saja dari pengawasan pos-pos darurat, apalagi saat itu konflik antara GAM dan
Pemerintah sedang panas-panasnya.
Di bak terbuka itu dibuat dua baris bangku kayu
sedemikian rupa. Para penumpang sudah mengisi tempat duduk yang tersedia,
karenanya aku terpaksa berdiri di dekat tungkai bak depan. (hlm.30)
Asrul yang dalam cerita ini telah membunuh banyak
sekali tentara pemerintah, dengan rambut gondronya, dan dalam posisi berdiri di
mobil bak terbuka berhasil melewati pos-pos darurat di setiap persimpangan
dengan mudah. Tanpa kesulitan apa pun.
Syukur, dalam perjalanan ini kami tidak dihentikan
tentara pemerintah yang membuat pos-pos darurat di setiap persimpangan. (hlm.
31)
Kedua, tak adanya kewaspadaan Asrul maupun
teman-temannya saat membicarakan perihal GAM di tempat umum. Mereka membiarkan
orang-orang disekitar mereka mendengarkan dan bahkan ikut mengobrol. Ketiga,
ada percakapan yang dilakukan antara Asrul dan temannya saat sedang mengendarai
sepeda motor dengan kecepatan 120 km/jam. Meski bukan percakapan penting, tapi
rasanya percakapan itu terlalu lancar. Selain kejanggalan-kejanggalan tersebut,
ada beberapa kejanggalan lain yang tak saya tuliskan karena barangkali tak
begitu penting bagi sebagian pembaca.
Di bagian sampul belakang buku ini, tertulis bahwa
novel ini adalah novel sejarah kontemporer yang sangat penting. Namun, bagi
saya Arafat Nur justru lebih mengeksploitasi kisah cinta antara Asrul dan Putri,
alih-alih konfik GAM dengan pemerintah yang memiliki efek kupu-kupu pada jamak
interaksi dan kondisi sosial. Hal ini mungkin terkait dengan sumber cerita yang
hanya diperoleh dari catatan gerilya Thayeb. Meski demikian, novel ini tetap penting
untuk dibaca. Di dalamnya ada rekaman sejarah pertempuran antara pemerintah—yang punya legitimasi untuk melakukan kekerasan
dan punya insturmen untuk melakukannya—melawan rakyatnya sendiri, yang hanya
punya tekat untuk merebut keadilan dan kemerdekaan.
Info Buku:
Judul: Seumpama Matahari
Penulis: Arafat Nur
Penerbit: DIVA Press
Cetakan Pertama: Mei 2007
Tebal: 144 halaman; 14 x 20 cm
ISBN 978-602-391-415-9
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!