Ungkapan Hati Kawabata dalam Thousand Crannes; (Jangan Anggap Remeh Perasaan Wanita)
Hidup dikelilingi wanita cantik adalah impian terbesar bagi sebagian
laki-laki. Namun, bagi Kikuji hal itu malah menjadi kutukan terbesar dalam
hidupnya. Kutukan itu menyeretnya pelan-pelan masuk dalam duka tiada ujung yang
barmula dari perasaan bersalah dan penyesalan seorang wanita bekas gundik
ayahnya sendiri.
Kikuji menganggap remeh perasaan wanita itu. Ia membiarkan perasaan
wanita itu tumbuh subur yang pada akhirnya membuat wanita itu merasa punya
kewajiban menebus rasa bersalahnya dengan mencampuri urusan asmara Kikuji.
Wanita itu mati-matian menjodohkan Kikuji dengan anak gadis Inamura
bernama Yukiko yang digambarkan cantiknya bukan main. Awalnya, Kikuji senang
belaka dijodohkan dengan Yukiko. Siapa, sih, bujangan yang tidak senang
dijodohkan dengan gadis cantik? Sayangnya, seiring waktu, perjodohan itu tidak
menampakkan tanda-tanda keberhasilan. Meski demikian, tidak ada tanda-tanda
bahwa wanita itu menyerah dengan perjodohan yang dilakukannya.
Wanita itu bernama Kurimoto Chikako. Dia adalah wanita cantik
malang yang tidak berani menikah karena ada tahi lalat besar yang menempel di
dadanya. Tepatnya pada payudaranya. Tahi lalat itu meliputi separuh payudara
kiri dan melekap hingga belahan dada; besarnya secakupan telapak tangan.
Ayah Kikuji menjadikan Kurimoto sebagai gundiknya agar Kurimoto tidak
kesepian sepanjang hidupnya yang tanpa laki-laki. Fakta bahwa Kurimoto adalah
kawan baik istrinya, tak mencegah ayah Kikuji menjadikannya gundik. Setelah
ayah dan ibu Kikuji meninggal, Kurimoto menyimpan rasa bersalah tiada ujung karena
menganggap dia penyebab semua itu.
Perasaan manusia, apapun bentuknya sebenarnya adalah mekanisme
umpan balik alami yang memberitahu kita apakah suatu hal benar atau salah untuk
kita—tidak kurang, tidak lebih. Akan menjadi masalah jika perasaan dinilai
terlalu tinggi atau terlalu rendah. Dengan kata lain ditanggapi terlalu
berlebihan atau diremehkan.
Dalam buku ini, banyak sekali konflik yang terjadi lantaran sebuah perasaan
terlalu diremehkan oleh satu pihak namun ditanggapi secara berlebihan oleh
pihak lain. Seperti ketika Kikuji akhirnya terjebak hubungan inses dengan Ny.
Ota, yang tak lain adalah gundik ayahnya
juga.
Ia nampak memohon dengan sangat bersama segala hasrat yang
dimilikinya, dan di akhir permohonannya itu ia tak membedakan antara ayah
Kikuji dengan diri Kikuji sendiri. Ada kerinduan yang menghunjam dalam, seolah
wanita itu bicara dengan ayah Kikuji. Hal.27
Kikuji membiarkan saja Ny. Ota menganggap bahwa Kikuji dan ayah
Kikuji adalah entitas yang sama. Ini membuat Ny. Ota seolah menemukan kembali objek
cintanya. Ia yang telah bertahun-tahun kehilangan sosok ayah Kikuji, tiba-tiba
menemukannya dalam diri Kikuji, seorang anak muda yang usianya dua puluh tahun
lebih muda darinya. Hal ini membuat cintanya memancar kembali dan yang pada
akhirnya membuat Kikuji terlena.
Ia membuat Kikuji lupa akan usia tuanya ketika mereka berasa di
atas ranjang. Hal. 28
Hubungan inses ini selanjutnya menjadi masalah sangat pelik dan
melahirkan perasaan bersalah di antara keduanya. Ny. Ota adalah yang paling
menderita dengan perasaan bersalahnya setelah dia tahu bahwa hubungan insesnya
dengan Kikuji mereka lakukan setelah upacara miai, ritual perjodohan
antara Kikuji dan gadis Inamura.
Meski demikian, Kikuji tidak kalah menderita. Dia merasa jika dia
cukup tegas, hubungan inses itu mungkin tak akan pernah terjadi. Ia terlalu
pengecut sebagai seorang lelaki, pikirnya.
Kikuji semakin menderita setelah mendapati Ny. Ota bunuh diri
lantaran tak kuat menanggung rasa bersalah sekaligus rasa malu yang sangat
besar.
Perasaan bersalah tenyata juga menghinggapi Fumiko, anak Ny. Ota
yang diam-diam mengetahui hubungan Kikuji dengan ibunya itu. Dia sangat
menyasal tak melakukan apa-apa untuk mencegah hal itu terjadi, padahal ia mampu
melakukannya.
Perasaan bersalah antara para tokoh dalam novel ini saling
berkelindan satu dengan yang lainnya, yang oleh Kawabata disebut kutukan.
Jika Ny. Ota berbuat kesalahan waktu melihat bayangan ayah Kikuji, saat
itu pula ada bayangan yang menakutkan, sebuah ikatan kutukan dalam kenyataan
betapa bagi kikuji wajah Fumiko menyerupai ibunya, dan Kikuji tak kuasa membuat
perbantahan. Ia hanyut dalam arus itu. Hal. 86
Hubungan antara Kikuji dan Fumiko tak disukai oleh Kurimoto yang
sedang berjuang menjodohkan Kikuji dengan Yukiko, gadis Inamura yang cantik
jelita. Meski Yukiko tak tahu apa-apa soal hubungan Kikuji dengan Fumiko, dia
bisa merasakan bahwa perjodohannya dengan Kikuji terancam gagal. Hal ini pun
membuat Kikuji merasa amat bersalah terhadap Yukiko.
Wanita-wanita cantik disekelilingnya nyatanya hanya menyeret paksa
Kikuji bergelut dalam drama psikologis perasaan bersalah yang tiada ujungnya.
Semua drama psikologis ini dibingkai dalam upacara minum teh yang sangat formal.
Menyimak drama psikologis seperti ini membutuhkan perhatian yang
cukup besar. Kita tidak disuguhi adegan-adegan dramatis yang membuat kita seperti
sedang menonton film. Kita disuguhi pikiran-pikiran tokoh lewat perbincangan
mereka dalam upacara minum teh. Tidak seperti adegan dramatis, pikiran-pikiran
tokoh tidak bisa kita bayangkan. Kita hanya bisa setuju, ragu, atau tidak
setuju sama sekali dengan pikiran-pikiran tokoh di dalam buku ini.
Saya tidak heran ketika mendapati banyak ulasan tentang buku ini di
internet yang justru mengatakan bahwa buku ini membosankan. Untunglah selera
saya sudah agak bergeser. Dulu saya suka novel-novel petualangan yang
menampilkan deskripsi latar menakjubkan dengan
adegan-adegan perkelahian atau adegan dramatis lain. Namun, saya kira itu bisa
saya temukan dengan mudah di film-film.
Berbicara tentang kekurangan, buku ini tidak diterjemahkan langsung
dari bahasa Jepang. Hal ini mungkin sedikit mempengaruhi mutu atau pesan di
dalamnya. Selain itu, kutipan yang dipilih di bagian belakang buku menurut saya
tidak mencerminkan buku ini. Kutipan itu malah membuat buku ini seperti
novel-novel remaja tanggung. Mungkin kutipan itu dipasang untuk sekadar
mendobrak penjualan buku. Mungkin juga itu turut menyumbang banyaknya ulasan
yang mengatakan kalau buku ini membosankan.
Jika saya harus menjawab pertanyaan kepada siapa saya
merekomendasikan buku ini, saya rekomendasikan buku ini buat orang-orang yang
bergelut di bidang psikologi, filsafat, dan buat orang-orang yang suka merenung.
Saya juga merekomendasikan buku ini buat orang-orang yang mencari
makna hidup lewat kematian, karena selain banyak menyiratkan tentang perasaan
bersalah, buku ini menyiratkan pula renungan-renungan tentang kematian
sebagaimana buku-buku lain karangan Kawabata.
Saya membaca ulasan buku-buku Kawabata di internet dan hampir
semuanya bersinggungan dengan kematian. Karya-karya Kawabata yang erat sekali
dengan kematian tak lepas dari masa lalunya yang ditinggal mati orang-orang
terdekatnya satu persatu. Mulai dari ayahnya saat ia berusia tiga tahun,
kemudian ibunya, kakak, hingga tak tersisa satu pun saat ia di sekolah
menengah.
Dalam buku ini, kita dapat menemukan semacam ungkapan hati Kawabata
terkait dirinya yang ditinggalkan orang-orang terdekatnya.
Mereka yang telah mati adalah milik kita. Kita harus menjaga
mereka. Tapi sungguh, mereka meninggalkan kita begitu cepatnya. Hal.87
Buku ini adalah salah satu dari dua buku yang membuat Kawabata
mendapat hadiah nobel sastra. Satu buku lainnya berjudul Snow Country. Mengetahui
bahwa buku tipis ini ternyata membuat penulisnya mendapat hadiah nobel, saya
sempat merasa kecil hati untuk menulis ulasannya. Saya khawatir ulasan yang
saya tulis malah akan membuat orang-orang yang belum membaca buku ini
menganggap buku ini jelek. Di satu sisi, orang-orang yang pernah mendalami buku
ini mungkin menertawakan ulasan saya. Namun, saya sadar bahwa itu semua (respons
orang lain) di luar kontrol saya.
Saya putuskan untuk tetap mengulas buku ini. Saya berharap ulasan
ini menjadi alternatif lain di tengah banyaknya ulasan yang mengatakan bahwa
buku ini membosankan. Saya kira tidak tepat jika buku ini hanya diukur dari kulitnya
saja. Upacara minum teh itu hanya kulit yang membungkus isi sebenarnya dari
buku ini. Dengan kata lain, ini bukan buku tentang upacara minum teh.
Info Buku:
Judul: Thousand Cranes; Penulis: Yasunari
Kawabata; Penerjemah: Nurul Hanafi; Penerbit: Immortal Publishing; Cetakan
Pertama: 2018; Tebal: vi + 166 Hlm.; 13 x 19 cm; ISBN: 978-602-5868-22-1
Baca ulasan buku karua penulis Jepang lainnya:
MEMBUANG KEMUNAFIKKAN MENYEMAI KEJUJURAN! ULASAN BUKU BOTCHAN KARYA NATSUME SOSEKI
TERIMA KASIH
SUDAH MAMPIR DI BLOG INI!
👍👍👍👍
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR ANDA!
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!