![]() |
“Ini hari kemerdekaan bukan? Ini
adalah pembebasan. Biar orang mati, lalu bebas dari dunia yang sarat dengan tipu daya. Jadi
masing-masing orang saling bunuh. Saling bunuh sama dengan saling membantu.
Membantu membebaskan mereka dari hinanya dunia. Apakah Bapak ingin saya bantu
juga untuk bebas dari dunia ini? Saya siap membantu.”
Saya
cengkeram kuat-kuat tangan Kemen hingga
tidak bisa dia lepas. Saya seret dia ke tengah lapangan upacara. Dia hanya
menyeringai. Sudah empat kali terpaksa saya melakukannya sebab dia tidak mau membaca naskah Pembukaan
UUD 1945. Kadang dia menangis. Latihan
jadi tersendat. Padahal upacara kemerdekaan akan dilaksanakan dua hari lagi.
Dan murid-murid sekolah sayalah yang akan menjadi petugas upacara.
Kali
ini adalah latihan yang terakhir. Sebenarnya saya ingin mengganti Kemen dengan
murid saya yang lain saja. Tapi yang bisa membaca naskah Pembukaan UUD 1945
entah mengapa hanya Kemen. Lainnya
tidak.
Upacara
kemerdekaan akan dilaksanakan di Lapangan Kecamatan Sukorejo. Lapangan
Kecamatan Sukorejo akan penuh sesak oleh warga. Berbondong-bondong mereka akan datang. Ada yang membawa
anaknya, cucunya, keponakannya. Semua sanak saudara datang ke lapangan. Yang
sehat, yang cacat, semuanya akan hadir menyaksikan
pengibaran bendera merah putih yang sakti itu. Semua boleh menyaksikan sekaligus
menjadi peserta upacara. Pak Camat Haryo Kusumo menunjuk sekolah saya untuk menjadi
petugas upacara kemerdekaan itu. Berat bagi saya menerima tugas ini. Ini acara
besar dan sakral. Saya takut mengecewakan.
“Bapak
tidak usah khawatir, lagi pula anak-anak pasti bisa dilatih. Dan penting juga,
sekaligus dapat mengajarkan kepada murid Bapak rasa cinta tanah air,” begitulah
Pak Camat Haryo Kusumo mencoba
meyakinkan saya yang enggan menerima tugas ini. Tidak enak hati saya mendengar
kata-katanya. Apa dia pikir tak pernah saya ajarkan rasa cinta tanah air kepada
murid saya.
“Apa
perangkat desa tidak ada yang hafal Pancasila, Pak? Sampai siswa SD disuruh jadi petugas
upacara kemerdekaan. Apa nanti tidak akan memalukan?”
“Maksud
Bapak ingin menghina?” Muka Pak Camat Haryo
Kusumo
merah padam.
“Tidak
ada maksud seperti itu. Saya khawatir warga Sukorejo mengenggap
pemimpin-pemimpinnya tidak becus. Upacara bendera saja tidak bisa. Bapak
sendiri nanti yang menanggung malu. Seperti itu maksud saya, Pak!”
“Saya
sudah berdiskusi dengan warga. Mereka setuju. Mereka ingin menanamkan rasa
cinta pada tanah air dalam dada anak-anaknya. Dengan perayaan ini murid-murid
akan belajar menghargai jasa pahlawan mereka.”
“Apa
Bapak pikir saya tidak pernah mengajari mereka?”
“Bukan
seperti itu. Ini murni
keingin warga. Bukan keinginan saya.
Saya mengundang semua warga dan berdiskusi
dengan mereka. Bapak terima saja. Kalau Bapak keberatan
melatih murid-murid dan butuh tenaga pelatih upacara bilang saja. Tidak boleh
sampai mengecewakan.”
Kurang
ajar benar orang ini. Kalau bukan camat sudah saya maki-maki.
Dengan rasa hormat yang saya buat-buat, saya
terima juga tugas itu dengan berat hati. Tidak mau dianggap tak becus melatih
murid-murid sendiri.
Setiap
Rabu sore,
selama satu bulan penuh,
saya melatih murid saya. Ada yang menjadi pengibar bendera. Ada yang menjadi
pembaca naskah Pembukaan UUD 1945. Mereka berlatih dengan penuh semangat. Kecuali Kemen.
Dia tak pernah mau membacakan naskah Pembukaan UUD 1945. Saya berusaha
meyakinkannya agar mau membaca. Tapi tidak mudah. Setiap kali saya menanyakan
alasannya tak mau membaca naskah Pembukaan UUD 1945, ia menangis.
Saya
bangga sekali dengan murid-murid saya. Mereka cepat sekali menguasai
latihan-latihan yang saya berikan.
Tugas-tugas yang saya berikan kepada mereka selesai dengan cepat. Tapi tidak
demikian dengan Kemen. Soal
Kemen masih mengganjal di hati saya. Dia masih enggan berlatih. Entah mengapa
saya merasa ada yang berbeda dari Kemen. Ia tidak seperti anak-anak lainnya.
Dua
hari lagi upacara akan digelar. Hari ini adalah latihan yang terakhir. Murid-murid
datang pagi-pagi sekali. Tapi saya datang lebih pagi dari mereka. Saya ingin
menjadi contoh yang baik buat murid-murid saya. Karena hari ini adalah latihan
terakhir jadi saya wajibkan kepada semua murid-murid saya untuk hadir. Dan
seperti biasa,
yang jadi petugas saya suruh datang lebih awal. Yang lain-lain jadi peserta
upacara.
Upacara
kemerdekaan kali ini dilakukan sederhana saja, seperti upacara pengibaran merah
putih saat hari Senin. Hanya berbeda pada peserta yang
datang saja. Kali ini peserta yang datang adalah semua warga Sukorejo. Semua
harus datang dan memakai seragam putih merah. Seperti seragam anak SD.
Rencana Pak Camat Haryo Kusumo mengundang
semua warga Sukorejo untuk ikut upacara ternyata sangat tepat. Semua warga Sukorejo antusias.
Lapangan Sukorejo penuh sesak. Warga dengan seragam putih merah seperti anak SD
memenuhi lapangan. Murid-murid mengatur
barisan. Perangkat desa mulai menempatkan diri di kursi kehormatan. Saya
sendiri sebagai komandan upacara sudah sangat siap.
Matahari
merangkak naik di belahan langit timur. Keringat mulai bercucuran. Namun upacara tak juga dimulai.
Saya mulai resah. Warga mulai berbisik-bisik. Sementara matahari semakin tinggi
saja. Ada apa ini? Apa Pak Camat
Haryo Kusumo sengaja menunggu semua warga datang? Tapi
semuanya sudah datang. Lapangan sudah penuh
sesak. Apa lagi yang ditunggu?
Tangis
bayi dalam gendongan pecah. Suasana
jadi ramai. Di hadapan perangkat desa saya jadi salah tingkah. Ada apa ini?
Salah
satu murid saya datang tergesa-gesa. Ia
memberitahukan bahwa Kemen tidak mau membacakan naskah Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Kemen sedang menangis di depan sekolahnya. Apa yang menyebabkan dia
menangis saya tidak tahu. Sampai saat ini saya masih mencari tahu. Awalnya saya
pikir dia takut karena ditonton banyak orang. Tapi setelah saya pikir-pikir itu
tidak mungkin. Dia sering membaca puisi di depan orang-orang. Jadi tidak
mungkin dia takut.
Saya
berlari meninggalkan lapangan. Cepat-cepat saya temui Kemen yang sedang
tersedu-sedan di depan sekolahnya. Naskah Pembukaan UUD 1945
sudah basah dan koyak oleh air mata Kemen.
“Ada
apa, Kemen? Kenapa kamu menangis. Kamu tak perlu takut. Kamu sudah berlatih.
Kamu pasti bisa. Ayo sekarang ikut bapak ke lapangan.” Pintaku pada kemen sambil memegang bahunya.
“Saya
tidak mau berbohong. Saya tidak mau. Tidak!” Entah apa maksud Kemen dengan mengatakan dia
tidak mau berbohong.
“Apa
maksud kamu, Kemen? Jangan buat bapak marah! Ayo sekarang ke lapangan.”
“Saya
tidak mau berbohong!” Saya masih tak mengerti maksudnya. Saya coba paksa dia.
Tapi dia mengatakan hal yang sama berulang kali. Hampir-hampir saya
menempelengnya. Tapi saya ingat saya seorang guru.
“Kalau
begitu, Kamu harus saya paksa
supaya mau membacanya.”
“Tidak!”
Kemen memekik.
Sejenak
kami diam. Lalu Kemen menangis sambil menunjuk kertas yang koyak di depannya, “saya tidak
yakin dengan kertas itu. Kertas itu berbohong,” suara Kemen bergetar. “Mana
keadilan! Mana kemakmuran! Kertas itu berbohong.”
“Ayo
ikut saya!” tidak saya hiraukan lagi ucapan Kemen. Sebenarnya saya tercengang
dengan ucapan-ucapan Kemen.
“Tidak
sudi saya berpura-pura punya jiwa nasionalis seperti yang Bapak ajarkan. Bapak
ajarkan bahwa nasionalisme adalah cinta tanah air yang didasarkan pada kesamaan
nasib. Bahwa nasionalisme adalah cinta tanah air yang didasarkan pada kesamaan
cita-cita. Bahwa nasionalisme adalah cinta tanah air karena merasakan
penderitaan yang sama. Tapi kami di sini harus merayakan kemerdekaan dengan
sekolah reot sementara mereka dengan
gedung-gedung bertingkat yang megah dan kokoh. Apa mereka tak melihat kita
karena kita terlalu jauh? Atau mereka memang buta. Bapak telah mengajarkan
kepada saya omong kosong belaka.” Lagi-lagi saya tercengang mendengar ucapan
Kemen. Entah siapa yang mengajari anak kelas 5 SD ini hingga ia bisa
bicara seperti itu. Saya benar-benar tak menyangka karena saya tak mengajarinya sampai sejauh itu.
Saya
buang semua keheranan saya. Upacara tetap harus dimulai. Saya menyeret Kemen.
Saya cengkeram tangannya kuat-kuat hingga ia tak bisa lepas. Sekarang ia sudah
berada di tengah-tengah lapangan upacara.
Berdiri pada posisinya sebagi pembaca naskah Pembukaan UUD 1945.
Matahari
sudah kian tinggi saja. Sudah hampir tengah hari. Warga mulai marah karena merasa
tak dihiraukan. Tiba-tiba awan mendung bergulung-gulung datang dan hujan
tercurah dengan derasnya. Benar-benar perubahan cuaca yang sangat cepat. Pak
Camat Haryo Kusumo memerintahkan
agar upacara tetap dilaksanakan. Saya mengambil alih barisan. Wanita yang
membawa bayi boleh meninggalkan lapangan. Lainnya tidak!
Upacara
dimulai.
Dengan
berbasah-basah bendera merah putih tetap dikibarkan. Namun ketika lembaran
bendera tersebut sampai pada tengah tiang, pengibar bedera melepaskan tali
penarik bendera. Mereka berlari ke arah gedung sekolah. Mereka berjongkok.
Masing-masing siswa mengambil sebuah batu. Mereka
mengayunkan kepalan tangan berisi batu itu. Batu-batu itu melayang membelah udara. Tak lama
kemudian menabrak kaca sekolah dan terdengar derak-derak kaca yang berserakan.
Kenapa
ini? Semuanya begitu diluar rencana. Pak Camat Haryo Kusumo yang duduk di kursi kehormatan
terheran-heran. Dia memandangi saya seperti tidak percaya. Diikuti tatapan dari
perangkat desa mengarah kepada saya. Tetesan hujan masih tetap deras mengguyur.
Ah! Mengapa jadi seperti ini.
“Ada
apa ini!” Pak Camat Haryo Kusumo
berang.
“Biar
saya urus, Pak!” saya merasa malu luar biasa.
Saya
kejar mereka. Saya dapati mereka sedang merobohkan tiang-tiang sekolah mereka
sendiri. Dengan batu, dengan linggis, dengan palu. Bahkan Kemen membawa semacam
peledak. Saya tidak tahu darimana mereka mendapatkan itu semua.
“Ayo
kita robohkan gedung reot ini!” Kemen memekik. Disusul teriakan dari
teman-temannya. “Hancurkan! Biar orang pusat melihat! Biar gedung kita dibangun ulang. Kita samakan
nasib kita dengan yang ada di pusat sana. Biar kita punya gedung yang sama.
Biar kita bisa belajar hal yang sama. Biar kita bisa merasakan perjuangan yang
sama. Jadi kita akan punya jiwa nasionalis. Seperti yang dikatakan Bapak Guru
kita bahwa nasionalis lahir karena persamaan nasib. Hancurkan! Hancurkan!”
“Hancurkan!”
Teriak salah satu murid yang membawa linggis sambil mengacungkan linggisnya ke
udara.
“Hancurkan!”
Teriakan murid yang membawa linggis mendapat sambutan dari semua murid.
Kemudian mereka menggempur sekolah mereka sendiri. Saya tak bisa memahami
kejadian ini. Dari mana anak-anak itu punya rencana seperti ini. Apa yang
merasuki mereka. Apakah mereka kerasukan setan penghancur? Bagaimana saya akan
menjelaskan ini kepada Pak Camat Haryo Kusumo nanti?
Kepalaku
pening melihat yang terjadi. Seolah dunia ini sedang dilanda gempa hebat.
Seberkas
cahaya tiba-tiba menelusup ke mata saya dan semuanya tampak putih.
Rumput-rumput di halaman sekolah itu memutih, pagar-pagar sekolah memutih.
Lagit yang mencurahkan hujan memutih. Butiran hujan memutih. Tanganku memutih. Putih itu menjalari ujung jariku
naik ke pangkal lenganku. Lalu merayap naik ke leherku setelah itu memutihkan
kepalaku. Putih itu juga menjalar dari ujung jari kakiku naik perlahan ke atas
dan seluruh tubuhku putih. Aku lihat murid-muridku juga memutih. Mula-mula
Utami, kemudian Alba. Kemudian Hinga.
Kemudian Septi. Kemudian siapa lagi saya tak tahu. Semuanya sudah memutih.
Kemen juga memutih. Semuanya jadi putih. Sejauh mata memandang hanya ada putih. Putih. Putih.
Putih. Putih. Putih. Putih. Tak ada yang lain selain putih. Putih telah
benar-benar menyelimuti.
Kemudian
semuanya lenyap. Tinggal gelap. Saya roboh. Entah mati. Atau hanya pingsan.
Sementara
warga memanggil-manggil nama saya. Hanya sayup-sayup saya dengar. Mereka meminta saya untuk segera melanjutlan
upacara kemerdekaan. Namun tak mungkin dilanjutkan jika ketiga anak pengibar
bendera dan Kemen masih sibuk menggempur sekolah mereka. Warga yang mulai tak
sabar, mulai menghujat. Samar-samar saya dengar hujatan itu.
Saya
bangun. Kepala saya masih pening. Keheranan menyergap pikiran saya. Bagaimana
mungkin warga yang sebanyak itu tidak
satupun yang menghiraukan ulah murid-murid saya. Bagaimana mungkin hal itu
terjadi begitu saja.
Tiba-tiba
sebuah batu sebesar kepalan tangan melayang kearahku. Jatuh mengenai kakiku.
Sakit sekali rasanya. Darah mengucur dari kakiku. Keparat. Kalian seharusnya
bersikap sopan dihadapan bendera merah putih yang sebentar lagi akan
dikibarkan. Bukan malah bertindak semau sendiri.
Aku
tengok gedung sekolah. Gedung yang sudah puluhan tahun berdiri namun belum
pernah sekalipun diperbaiki. Buat apa diperbaiki. Kondisinya selalu “terawat”
dengan baik. Itu berkat murid-muridku tentunya. Mereka mencintai sekolah mereka
sendiri. Tapi mengapa mereka justru menghancurkan sekolah itu. Aku masih tak
mengerti mengapa mereka bisa berpikiran seperti itu.
“Merdeka.
Hancurkan!”
Suara
siapa itu. Berani-beraninya menyuruh murid-muridku menghancurkan sekolahnya
sendiri. Aku tengok suara itu. Itu Kemen. Benar. Tidak salah lagi. Oh Tuhan,
ada apa ini. Apakah ini hari perayaan perang sedunia. Tuhan, apakah ini yang Kau sebut hari
penghancuran. Apakah mereka malaikat penghancur yang Kau kirimkan. Saya begitu
mencintai pekerjaan saya sebagai seorang guru. Setelah kejadian ini pasti saya
akan dipecat. Bagaimana ini?
Dinding-dinding
jebol. Mereka seperti pasukan pemusnah. Seperti ada dendam yang sedang mereka
tuntaskan.
Satu
teriakan lagi dari Kemen, “hancurkan!” Dan murid-muridku itu seperti api yang
disiram minyak. Membakar setiap apa yang disentuhnya. Sekolah itu porak
poranda. Tak habis pikir saya. Dari mana murid-murid saya dapat kekuatan sebesar itu.
Belum
habis keheranan saya pada murid-murid saya. Tiba-tiba saja barisan peserta
upacara telah terbagi menjadi dua
kubu. Masing-masing kubu menghujani kubu lain dengan batu. Lalu
seorang maju dan berteriak. Teriakannya tenggelam dalam pekikan kesakitan
orang-orang yang terkena lemparan batu. Seorang yang berteriak itu menggerakkan
tangannya. Memberi komando kepada orang di belakangnya untuk menyerang.
Berlarilah barisan yang ada di kanan saya hendak menyerang barisan yang ada di
kiri saya. Golok, pedang, celurit dan kelewang mencuat ke udara. Dibawa berlari
oleh barisan kanan. Didapat dari mana
semua itu saya tidak
tahu. Barisan kiri pun demikian. Menyerang dengan brutalnya. Beberapa saat barisan itu
beradu senjata. Darah muncrat dimana-mana. Ah saya tak ingin menceritakan
bagian ini.
Terlalu sulit bagi saya untuk mengerti semua ini.
Saya
ceritakan saja bagian ini dengan sedikit gambaran buram. Rumput lapangan yang
hijau bersih terinjak-injak derap langkah peserta upacara yang jadi gila. Darah
muncrat mengotori rerumputan lapangan. Tidak
butuh waktu lama aroma segar rumput yang tertempa matahari berubah jadi bau
amis darah yang muncrat disana-sini.
Semua
jadi merah dalam pandangan mata saya. Rumput-rumput itu merah. Darah menggenang
pada tiap cekungan tanah. Langit yang putih
bersih memerah. Hujan darah. Semuanya merah. Kemanapun mata memandang hanya
akan berjumpa dengan merah. Darah.
“Bapak
tak usah heran dengan semua ini,” tiba-tiba terdengar suara. Saya tak tahu
darimana asalnya. Tapi saya yakin itu suara Kemen. “Ini hari kemerdekaan bukan?
Ini adalah pembebasan. Biar orang mati, lalu bebas dari dunia yang
sarat dengan tipu daya. Jadi masing-masing orang saling bunuh. Saling bunuh
sama dengan saling membantu. Membantu membebaskan mereka dari hinanya dunia.
Apakah Bapak ingin saya bantu juga untuk bebas dari dunia ini? Saya siap
membantu.”
“Bukan!
Ini adalah hari kita harus menumbuhkan jiwa nasionalisme. Kenapa salaing
bunuh?” Suara saya bergetar. Saya heran mendengar suara saya sendiri.
Sebelumnya tak pernah bergetar seperti ini. Apakah saya ketakutan?
“Bapak
benar,” suara itu semakin jelas, “kita akan menyamakan nasib kita. Mari mati
bersama saya. Biar nasionalisme yang bapak agung-agungkan itu bisa hidup
kembali. Bapak bilang nasionalisme lahir karena adanya persamaan nasib. Kalau
kami lapar maka Bapak juga harus ikut merasakan lapar. Kalau kami mati bapak
mau ikut mati juga? Biar tumbuh diantara kita jiwa nasionalisme itu.”
Seseorang
mengayunkan celurit ke leher saya. Kemudian semuanya gelap dan sunyi.
Beberapa saat setelah itu terdengar
suara lagi. Seperti ada yang membisikkan nama saya. Mesra. Mesra sekali. Dan sepertinya
saya kenal suara ini. Lalu tiba-tiba saya terhenyak. Saya mendengar suara jam
dinding yang berdetak. Saya membuka mata.
Ada bidadari berwajah manis di samping
saya. Butuh
beberapa saat hingga saya mengenali bidadari
berwajah manis di hadapan saya. Ia istri saya.
Ia
tersenyum lalu berkata, “kamu mimpi buruk, Mas.”
------------------
Baca cerpen lainnya:
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!