Langsung ke konten utama

Nasionalisme Kemen

“Ini hari kemerdekaan bukan? Ini adalah pembebasan. Biar orang mati, lalu bebas dari dunia yang sarat dengan tipu daya. Jadi masing-masing orang saling bunuh. Saling bunuh sama dengan saling membantu. Membantu membebaskan mereka dari hinanya dunia. Apakah Bapak ingin saya bantu juga untuk bebas dari dunia ini? Saya siap membantu.”

NASIONALISME KEMEN

        Saya cengkeram  kuat-kuat tangan Kemen hingga tidak bisa dia lepas. Saya seret dia ke tengah lapangan upacara. Dia hanya menyeringai. Sudah empat kali terpaksa saya melakukannya sebab dia tidak mau membaca naskah Pembukaan UUD 1945. Kadang dia menangis. Latihan jadi tersendat. Padahal upacara kemerdekaan akan dilaksanakan dua hari lagi. Dan murid-murid sekolah sayalah yang akan menjadi petugas upacara.

        Kali ini adalah latihan yang terakhir. Sebenarnya saya ingin mengganti Kemen dengan murid saya yang lain saja. Tapi yang bisa membaca naskah Pembukaan UUD 1945 entah mengapa hanya Kemen. Lainnya tidak.

        Upacara kemerdekaan akan dilaksanakan di Lapangan Kecamatan Sukorejo. Lapangan Kecamatan Sukorejo akan penuh sesak oleh warga. Berbondong-bondong mereka akan datang. Ada yang membawa anaknya, cucunya, keponakannya. Semua sanak saudara datang ke lapangan. Yang sehat, yang cacat, semuanya akan hadir menyaksikan pengibaran bendera merah putih yang sakti itu. Semua boleh menyaksikan sekaligus menjadi peserta upacara. Pak Camat Haryo Kusumo menunjuk sekolah saya untuk menjadi petugas upacara kemerdekaan itu. Berat bagi saya menerima tugas ini. Ini acara besar dan sakral. Saya takut mengecewakan.

        “Bapak tidak usah khawatir, lagi pula anak-anak pasti bisa dilatih. Dan penting juga, sekaligus dapat mengajarkan kepada murid Bapak rasa cinta tanah air,” begitulah Pak Camat  Haryo Kusumo mencoba meyakinkan saya yang enggan menerima tugas ini. Tidak enak hati saya mendengar kata-katanya. Apa dia pikir tak pernah saya ajarkan rasa cinta tanah air kepada murid saya.

        “Apa perangkat desa tidak ada yang hafal Pancasila, Pak? Sampai siswa SD disuruh jadi petugas upacara kemerdekaan. Apa nanti tidak akan memalukan?”

        “Maksud Bapak ingin menghina?” Muka Pak Camat Haryo Kusumo merah padam.

        “Tidak ada maksud seperti itu. Saya khawatir warga Sukorejo mengenggap pemimpin-pemimpinnya tidak becus. Upacara bendera saja tidak bisa. Bapak sendiri nanti yang menanggung malu. Seperti itu maksud saya, Pak!

        “Saya sudah berdiskusi dengan warga. Mereka setuju. Mereka ingin menanamkan rasa cinta pada tanah air dalam dada anak-anaknya. Dengan perayaan ini murid-murid akan belajar menghargai jasa pahlawan mereka.”

        “Apa Bapak pikir saya tidak pernah mengajari mereka?”

        “Bukan seperti itu. Ini murni keingin warga. Bukan keinginan saya. Saya mengundang semua warga dan berdiskusi dengan mereka. Bapak terima saja. Kalau Bapak keberatan melatih murid-murid dan butuh tenaga pelatih upacara bilang saja. Tidak boleh sampai mengecewakan.”

        Kurang ajar benar orang ini. Kalau bukan camat sudah saya maki-maki.

        Dengan rasa hormat yang saya buat-buat, saya terima juga tugas itu dengan berat hati. Tidak mau dianggap tak becus melatih murid-murid sendiri.

        Setiap Rabu sore, selama satu bulan penuh, saya melatih murid saya. Ada yang menjadi pengibar bendera. Ada yang menjadi pembaca naskah Pembukaan UUD 1945. Mereka berlatih dengan penuh semangat. Kecuali Kemen. Dia tak pernah mau membacakan naskah Pembukaan UUD 1945. Saya berusaha meyakinkannya agar mau membaca. Tapi tidak mudah. Setiap kali saya menanyakan alasannya tak mau membaca naskah Pembukaan UUD 1945, ia menangis.

        Saya bangga sekali dengan murid-murid saya. Mereka cepat sekali menguasai latihan-latihan yang saya berikan. Tugas-tugas yang saya berikan kepada mereka selesai dengan cepat. Tapi tidak demikian dengan Kemen. Soal Kemen masih mengganjal di hati saya. Dia masih enggan berlatih. Entah mengapa saya merasa ada yang berbeda dari Kemen. Ia tidak seperti anak-anak lainnya.

        Dua hari lagi upacara akan digelar. Hari ini adalah latihan yang terakhir. Murid-murid datang pagi-pagi sekali. Tapi saya datang lebih pagi dari mereka. Saya ingin menjadi contoh yang baik buat murid-murid saya. Karena hari ini adalah latihan terakhir jadi saya wajibkan kepada semua murid-murid saya untuk hadir. Dan seperti biasa, yang jadi petugas saya suruh datang lebih awal. Yang lain-lain jadi peserta upacara.

        Upacara kemerdekaan kali ini dilakukan sederhana saja, seperti upacara pengibaran merah putih saat hari Senin. Hanya berbeda pada peserta yang datang saja. Kali ini peserta yang datang adalah semua warga Sukorejo. Semua harus datang dan memakai seragam putih merah. Seperti seragam anak SD.

        Rencana Pak Camat Haryo Kusumo mengundang semua warga Sukorejo untuk ikut upacara ternyata sangat tepat. Semua warga Sukorejo antusias. Lapangan Sukorejo penuh sesak. Warga dengan seragam putih merah seperti anak SD memenuhi lapangan.  Murid-murid mengatur barisan. Perangkat desa mulai menempatkan diri di kursi kehormatan. Saya sendiri sebagai komandan upacara sudah sangat siap.

        Matahari merangkak naik di belahan langit timur. Keringat mulai bercucuran. Namun upacara tak juga dimulai. Saya mulai resah. Warga mulai berbisik-bisik. Sementara matahari semakin tinggi saja. Ada apa ini? Apa Pak Camat Haryo Kusumo sengaja menunggu semua warga datang? Tapi semuanya sudah datang. Lapangan sudah penuh sesak. Apa lagi yang ditunggu?

        Tangis bayi dalam gendongan pecah. Suasana jadi ramai. Di hadapan perangkat desa saya jadi salah tingkah. Ada apa ini?

        Salah satu murid saya datang tergesa-gesa. Ia memberitahukan bahwa Kemen tidak mau membacakan naskah Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Kemen sedang menangis di depan sekolahnya. Apa yang menyebabkan dia menangis saya tidak tahu. Sampai saat ini saya masih mencari tahu. Awalnya saya pikir dia takut karena ditonton banyak orang. Tapi setelah saya pikir-pikir itu tidak mungkin. Dia sering membaca puisi di depan orang-orang. Jadi tidak mungkin dia takut.

        Saya berlari meninggalkan lapangan. Cepat-cepat saya temui Kemen yang sedang tersedu-sedan di depan sekolahnya. Naskah  Pembukaan UUD 1945 sudah basah dan koyak oleh air mata Kemen.

        “Ada apa, Kemen? Kenapa kamu menangis. Kamu tak perlu takut. Kamu sudah berlatih. Kamu pasti bisa. Ayo sekarang ikut bapak ke lapangan.” Pintaku pada kemen sambil memegang bahunya.

        “Saya tidak mau berbohong. Saya tidak mau. Tidak!” Entah apa maksud Kemen dengan mengatakan dia tidak mau berbohong.

        “Apa maksud kamu, Kemen? Jangan buat bapak marah! Ayo sekarang ke lapangan.”

        “Saya tidak mau berbohong!” Saya masih tak mengerti maksudnya. Saya coba paksa dia. Tapi dia mengatakan hal yang sama berulang kali. Hampir-hampir saya menempelengnya. Tapi saya ingat saya seorang guru.

        “Kalau begitu, Kamu harus saya paksa supaya mau membacanya.”

        “Tidak!” Kemen memekik.

        Sejenak kami diam. Lalu Kemen menangis sambil menunjuk kertas yang koyak di depannya, “saya tidak yakin dengan kertas itu. Kertas itu berbohong,” suara Kemen bergetar. “Mana keadilan! Mana kemakmuran! Kertas itu berbohong.”

        “Ayo ikut saya!” tidak saya hiraukan lagi ucapan Kemen. Sebenarnya saya tercengang dengan ucapan-ucapan Kemen.

        “Tidak sudi saya berpura-pura punya jiwa nasionalis seperti yang Bapak ajarkan. Bapak ajarkan bahwa nasionalisme adalah cinta tanah air yang didasarkan pada kesamaan nasib. Bahwa nasionalisme adalah cinta tanah air yang didasarkan pada kesamaan cita-cita. Bahwa nasionalisme adalah cinta tanah air karena merasakan penderitaan yang sama. Tapi kami di sini harus merayakan kemerdekaan dengan sekolah reot sementara mereka  dengan gedung-gedung bertingkat yang megah dan kokoh. Apa mereka tak melihat kita karena kita terlalu jauh? Atau mereka memang buta. Bapak telah mengajarkan kepada saya omong kosong belaka.” Lagi-lagi saya tercengang mendengar ucapan Kemen. Entah siapa yang mengajari anak kelas 5 SD ini hingga ia bisa bicara seperti itu. Saya benar-benar tak menyangka karena saya tak mengajarinya sampai sejauh itu.

        Saya buang semua keheranan saya. Upacara tetap harus dimulai. Saya menyeret Kemen. Saya cengkeram tangannya kuat-kuat hingga ia tak bisa lepas. Sekarang ia sudah berada di tengah-tengah lapangan upacara. Berdiri pada posisinya sebagi pembaca naskah Pembukaan UUD 1945.

        Matahari sudah kian tinggi saja. Sudah hampir tengah hari. Warga mulai marah karena merasa tak dihiraukan. Tiba-tiba awan mendung bergulung-gulung datang dan hujan tercurah dengan derasnya. Benar-benar perubahan cuaca yang sangat cepat. Pak Camat Haryo Kusumo memerintahkan agar upacara tetap dilaksanakan. Saya mengambil alih barisan. Wanita yang membawa bayi boleh meninggalkan lapangan. Lainnya tidak!

        Upacara dimulai.

        Dengan berbasah-basah bendera merah putih tetap dikibarkan. Namun ketika lembaran bendera tersebut sampai pada tengah tiang, pengibar bedera melepaskan tali penarik bendera. Mereka berlari ke arah gedung sekolah. Mereka  berjongkok. Masing-masing siswa mengambil sebuah batu. Mereka mengayunkan kepalan tangan berisi batu itu. Batu-batu itu melayang membelah udara. Tak lama kemudian menabrak kaca sekolah dan terdengar derak-derak kaca yang berserakan.

        Kenapa ini? Semuanya begitu diluar rencana. Pak Camat Haryo Kusumo yang duduk di kursi kehormatan terheran-heran. Dia memandangi saya seperti tidak percaya. Diikuti tatapan dari perangkat desa mengarah kepada saya. Tetesan hujan masih tetap deras mengguyur.  Ah! Mengapa jadi seperti ini.

        “Ada apa ini!” Pak Camat Haryo Kusumo berang.

        “Biar saya urus, Pak!” saya merasa malu luar biasa.

        Saya kejar mereka. Saya dapati mereka sedang merobohkan tiang-tiang sekolah mereka sendiri. Dengan batu, dengan linggis, dengan palu. Bahkan Kemen membawa semacam peledak. Saya tidak tahu darimana mereka mendapatkan itu semua.

        “Ayo kita robohkan gedung reot ini!” Kemen memekik. Disusul teriakan dari teman-temannya. “Hancurkan! Biar orang pusat melihat!  Biar gedung kita dibangun ulang. Kita samakan nasib kita dengan yang ada di pusat sana. Biar kita punya gedung yang sama. Biar kita bisa belajar hal yang sama. Biar kita bisa merasakan perjuangan yang sama. Jadi kita akan punya jiwa nasionalis. Seperti yang dikatakan Bapak Guru kita bahwa nasionalis lahir karena persamaan nasib. Hancurkan! Hancurkan!”

        “Hancurkan!” Teriak salah satu murid yang membawa linggis sambil mengacungkan linggisnya ke udara.

        “Hancurkan!” Teriakan murid yang membawa linggis mendapat sambutan dari semua murid. Kemudian mereka menggempur sekolah mereka sendiri. Saya tak bisa memahami kejadian ini. Dari mana anak-anak itu punya rencana seperti ini. Apa yang merasuki mereka. Apakah mereka kerasukan setan penghancur? Bagaimana saya akan menjelaskan ini kepada Pak Camat Haryo Kusumo nanti?

        Kepalaku pening melihat yang terjadi. Seolah dunia ini sedang dilanda gempa hebat.

        Seberkas cahaya tiba-tiba menelusup ke mata saya dan semuanya tampak putih. Rumput-rumput di halaman sekolah itu memutih, pagar-pagar sekolah memutih. Lagit yang mencurahkan hujan memutih. Butiran hujan memutih.  Tanganku memutih. Putih itu menjalari ujung jariku naik ke pangkal lenganku. Lalu merayap naik ke leherku setelah itu memutihkan kepalaku. Putih itu juga menjalar dari ujung jari kakiku naik perlahan ke atas dan seluruh tubuhku putih. Aku lihat murid-muridku juga memutih. Mula-mula Utami, kemudian Alba. Kemudian  Hinga. Kemudian Septi. Kemudian siapa lagi saya tak tahu. Semuanya sudah memutih. Kemen juga memutih. Semuanya jadi putih. Sejauh  mata memandang hanya ada putih. Putih. Putih. Putih. Putih. Putih. Putih. Tak ada yang lain selain putih. Putih telah benar-benar menyelimuti.

        Kemudian semuanya lenyap. Tinggal gelap. Saya roboh. Entah mati. Atau hanya pingsan.

        Sementara warga memanggil-manggil nama saya. Hanya sayup-sayup saya dengar. Mereka meminta saya untuk segera melanjutlan upacara kemerdekaan. Namun tak mungkin dilanjutkan jika ketiga anak pengibar bendera dan Kemen masih sibuk menggempur sekolah mereka. Warga yang mulai tak sabar, mulai menghujat. Samar-samar saya dengar hujatan itu.

        Saya bangun. Kepala saya masih pening. Keheranan menyergap pikiran saya. Bagaimana mungkin warga yang sebanyak itu tidak satupun yang menghiraukan ulah murid-murid saya. Bagaimana mungkin hal itu terjadi begitu saja.

        Tiba-tiba sebuah batu sebesar kepalan tangan melayang kearahku. Jatuh mengenai kakiku. Sakit sekali rasanya. Darah mengucur dari kakiku. Keparat. Kalian seharusnya bersikap sopan dihadapan bendera merah putih yang sebentar lagi akan dikibarkan. Bukan malah bertindak semau sendiri.

        Aku tengok gedung sekolah. Gedung yang sudah puluhan tahun berdiri namun belum pernah sekalipun diperbaiki. Buat apa diperbaiki. Kondisinya selalu “terawat” dengan baik. Itu berkat murid-muridku tentunya. Mereka mencintai sekolah mereka sendiri. Tapi mengapa mereka justru menghancurkan sekolah itu. Aku masih tak mengerti mengapa mereka bisa berpikiran seperti itu.

        “Merdeka. Hancurkan!”

        Suara siapa itu. Berani-beraninya menyuruh murid-muridku menghancurkan sekolahnya sendiri. Aku tengok suara itu. Itu Kemen. Benar. Tidak salah lagi. Oh Tuhan, ada apa ini. Apakah ini hari perayaan perang sedunia.  Tuhan, apakah ini yang Kau sebut hari penghancuran. Apakah mereka malaikat penghancur yang Kau kirimkan. Saya begitu mencintai pekerjaan saya sebagai seorang guru. Setelah kejadian ini pasti saya akan dipecat. Bagaimana ini?

        Dinding-dinding jebol. Mereka seperti pasukan pemusnah. Seperti ada dendam yang sedang mereka tuntaskan.

        Satu teriakan lagi dari Kemen, “hancurkan!” Dan murid-muridku itu seperti api yang disiram minyak. Membakar setiap apa yang disentuhnya. Sekolah itu porak poranda. Tak habis pikir saya. Dari mana murid-murid saya dapat kekuatan sebesar itu.

        Belum habis keheranan saya pada murid-murid saya. Tiba-tiba saja barisan peserta upacara telah terbagi menjadi dua kubu. Masing-masing kubu menghujani kubu lain dengan batu. Lalu seorang maju dan berteriak. Teriakannya tenggelam dalam pekikan kesakitan orang-orang yang terkena lemparan batu. Seorang yang berteriak itu menggerakkan tangannya. Memberi komando kepada orang di belakangnya untuk menyerang. Berlarilah barisan yang ada di kanan saya hendak menyerang barisan yang ada di kiri saya. Golok, pedang, celurit dan kelewang mencuat ke udara. Dibawa berlari oleh barisan kanan. Didapat  dari mana semua itu saya tidak tahu. Barisan kiri pun demikian. Menyerang dengan brutalnya. Beberapa saat barisan itu beradu senjata. Darah muncrat dimana-mana. Ah saya tak ingin menceritakan bagian ini.

        Terlalu sulit bagi saya untuk mengerti semua ini.

        Saya ceritakan saja bagian ini dengan sedikit gambaran buram. Rumput lapangan yang hijau bersih terinjak-injak derap langkah peserta upacara yang jadi gila. Darah muncrat mengotori rerumputan lapangan. Tidak butuh waktu lama aroma segar rumput yang tertempa matahari berubah jadi bau amis darah yang muncrat disana-sini.

        Semua jadi merah dalam pandangan mata saya. Rumput-rumput itu merah. Darah menggenang pada tiap cekungan tanah.  Langit yang putih bersih memerah. Hujan darah. Semuanya merah. Kemanapun mata memandang hanya akan berjumpa dengan merah. Darah.

        “Bapak tak usah heran dengan semua ini,” tiba-tiba terdengar suara. Saya tak tahu darimana asalnya. Tapi saya yakin itu suara Kemen. “Ini hari kemerdekaan bukan? Ini adalah pembebasan. Biar orang mati, lalu bebas dari dunia yang sarat dengan tipu daya. Jadi masing-masing orang saling bunuh. Saling bunuh sama dengan saling membantu. Membantu membebaskan mereka dari hinanya dunia. Apakah Bapak ingin saya bantu juga untuk bebas dari dunia ini? Saya siap membantu.”

        “Bukan! Ini adalah hari kita harus menumbuhkan jiwa nasionalisme. Kenapa salaing bunuh?” Suara saya bergetar. Saya heran mendengar suara saya sendiri. Sebelumnya tak pernah bergetar seperti ini. Apakah saya ketakutan?

        “Bapak benar,” suara itu semakin jelas, “kita akan menyamakan nasib kita. Mari mati bersama saya. Biar nasionalisme yang bapak agung-agungkan itu bisa hidup kembali. Bapak bilang nasionalisme lahir karena adanya persamaan nasib. Kalau kami lapar maka Bapak juga harus ikut merasakan lapar. Kalau kami mati bapak mau ikut mati juga? Biar tumbuh diantara kita jiwa nasionalisme itu.”

        Seseorang mengayunkan celurit ke leher saya. Kemudian semuanya gelap dan sunyi.

        Beberapa saat setelah itu terdengar suara lagi. Seperti ada yang membisikkan nama saya. Mesra. Mesra sekali. Dan sepertinya saya kenal suara ini. Lalu tiba-tiba saya terhenyak. Saya mendengar suara jam dinding yang berdetak. Saya membuka mata. Ada bidadari berwajah manis di samping saya. Butuh beberapa saat hingga saya mengenali bidadari berwajah manis di hadapan saya. Ia istri saya.

        Ia tersenyum lalu berkata, “kamu mimpi buruk, Mas.”

------------------

Baca cerpen lainnya:

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teks Deskripsi - Materi Bahasa Indonesia Kelas 7 - Fase D

TEKS DESKRIPSI Dalam kehidupan sehari-hari, kita akan sangat sering menemukan teks deskripsi. Misalnya, saat kita berbelanja secara online, kita sering menemukan teks deskripsi dalam sebuah produk. Penjual perlu mendeskripsikan produknya dengan jelas agar pembeli dapat memilih barang yang mereka butuhkan dengan tepat. Pada kesempatan kali ini, kita akan mempelajari tentang teks deskripsi. Bacalah materi berikut ini dengan saksama! Tanyakan kepada gurumu jika ada bagian yang sulit kamu pahami! Mengapa Kamu Perlu Mempelajari Teks Deskripsi? Adalah sebuah kekonyolan jika kamu mempelajari sesuatu tanpa tahu manfaatnya apa. Tapi, kekonyolan ini pun terkadang masih lebih baik dari pada tidak mempelajari apapun dalam hidupmu. Kalau kamu tahu apa manfaat mempelajari sesuatu, kamu bisa memutuskan akan mempelajarinya dengan tekun atau tidak sama sekali. Maka dari itu, mari kita bahas terlebih dahulu apa saja manfaat mempelajari teks deskripsi. Beberapa manfaat yang bisa kamu peroleh dengan...

Memanfaatkan Buku "Seandainya Saya Wartawan Tempo" Sebagai Bahan Refleksi Seorang Guru

"Kalau dipikir-pikir, ada persamaan antara wartawan dengan guru. Sama-sama mendidik. Wartawan mendidik masyarakat melalui tulisan-tulisannya. Sementara guru mendidik siswa melalui pembelajarannya." Buat apa seorang guru membaca buku “Seandainya Saya Wartawan Tempo”? Guru tak bertugas menulis berita. Jadi, buat apa? Saya lupa kapan membeli buku tipis ini. Saya menemukannya setelah sekian lama berada di tumpukan buku-buku yang tak terbaca dan tak terurus. Saya mengumpulkan semua buku yang ada kaitannya dengan bahasa Indonesia. Hasilnya banyak didominasi buku-buku kuliah. Ada kamus bahasa Indonesia yang sudah robek, esai-esai bahasa, dan buku ini. Di antara buku-buku yang saya kumpulkan, saya memilih membaca buku ini. Mungkin karena buku ini lebih tipis dari buku-buku lain. Isinya hanya 96 halaman. Buku ini sebenarnya dicetak sebagai bahan pendidikan bagi para wartawan yang bekerja di majalah Tempo, terutama dalam menulis dan menyusun berita bentuk feature . Demi manfaat yang le...

Materi PPT Garis dan Sudut Matematika Kelas 4

  Assalamualaikum, bapak/ibu guru semuanya.  Kali ini guru mulang.com akan membagikan materi presentasi garis dan sudut dalam bentuk PPT.  Garis dan sudut merupakan salah satu materi yang menjadi dasar untuk mempelajari materi-materi geometri yang lain. Garis adalah rangkaian titik-titik yang saling terhubung. Sedangkan sudut adalah wilayah yang terbentuk dari dua buah garis lurus yang saling berpotongan.  Siswa yang mengetahui konsep garis dan sudut akan sangat terbantu dalam materi bangun datar maupun bangun ruang yang mulai diajarkan pada kelas 4 SD.  Untuk itu bapak/ibu, tentu kita tak mau anak-anak didik kita sampai gagal paham apa yang dimaksud garis dan apa yang dimaksud sudut. Nah, kali ini kami bagikan materi garis dan sudut dalam bentuk ppt interaktif.  Dalam materi yang kami bagikan kali ini, ada soal-soal interaktif di dalamnya yang bisa dikerjakan bersama-sama ketika mempelajari garis dan sudut.  Baiklah, tak perlu berlama-lama lagi, berik...

Tutorial Membaca Nilai Rapor

"Nilai rapor tak lagi mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nilai rapor adalah nilai yang sudah dikatrol" Kalau kamu malas belajar, bodoh, jarang berangkat sekolah, tak pernah mengerjakan tugas dari gurumu, sering bikin ulah di sekolah, dan mengerjakan ujian asal-asalan, siap-siaplah terkejut dengan nilai rapormu. Mungkin kamu mengira nilai rapormu jelek semua, bahkan mungkin kamu mengira tidak akan naik kelas. Eiitss.... Kamu akan terkejut. Itu semua tak akan terjadi. Percayalah! Rapor zaman dulu ada nilai merah. Nilai merah berarti kemampuan anak kurang memadai. Zaman dulu hal seperti ini wajar saja. Sekarang, saat aku jadi guru, rupanya tak ada lagi nilai merah. Semua siswa "harus" diberi nilai di atas KKM, meskipun nyatanya ada siswa yang benar-benar tak layak dapat nilai di atas KKM. Nilai rapor tak lagi mencerminkan kemampuan peserta didik yang sebenarnya. Sudah bukan rahasia lagi bahwa nilai rapor adalah nilai ya...

Kaligrafi Karya Kelas 5 - MI GUPPI Rakitan - Tahun Pelajaran 2024/2025

Pada Ramadhan tahun ini, kami kembali mengadakan lomba membuat kaligrafi. Kali ini, ketentuannya adalah membuat kaligrafi dari salah satu surah dalam Al-Quran, yaitu Al-Ikhlas, Al-Falaq, atau An-Nas. Ini adalah hasil karya kelas 5 yang sempat kuabadikan dalam foto. Kuunggah di sini sebagai kenang-kenangan.  Hasilnya memang tidak terlalu bagus, selain karena memang jarang latihan, waktu pembuatannya juga mepet sekali dengan keharusan memilih salah satu surat yang untuk dibuat kaligrafi sebenarnya terbilang cukup panjang untuk kelas 5. Tapi, ini sudah lumayan, kok. 

Tidak Ada Anak Bodoh di Dunia Ini

" Mencintai anak-anak tidaklah cukup, yang juga penting adalah membuat anak-anak menyadari bahwa mereka dicintai orangtuanya ." - St. John Bosco - Tidak ada anak bodoh. Mereka yang kamu anggap bodoh sebenarnya hanya anak-anak yang kurang beruntung. Aku tak tahu ini naif atau tidak. Menurutku semua anak pada dasarnya cerdas dan baik. Tak ada anak bodoh. Tak ada anak jahat. Dalam bukunya Frames of Mind: The Theory of Multiple Intelligences (1983), Howard Gardner mengidentifikasi setidaknya delapan kecerdasan berbeda yang digunakan manusia untuk bertahan hidup, berkembang, dan membangun peradaban. Kecerdasan yang dimaksud yaitu kecerdasan linguistik, kecerdasan logika-matematis, kecerdasan spasial, kecerdasan kinestetik-jasmani, kecerdasan musikal, kecerdasan interpersonal, kecerdasan intrapersonal, dan kecerdasan naturalistik. Setidak-tidaknya anak-anak pasti memiliki salah satu dari delapan kecerdasan tersebut sebagai bekal tumbuh kembangnya. Bekal unik inilah yang harus dima...

Meninggalkan Jejak Kebaikan

"Aku tak cuma seorang guru di sana. Aku menjelma menjadi tukang cat dinding, tukang potong rumput dan tanaman hias, tukang membetulkan atap yang bocor, tukang antar siswa pulang sekolah, petani singkong dan jagung, sampai menjadi tukang air." - Guru Mulang - Ketika aku masih kuliah di semester delapan, aku mendapat tawaran bekerja di salah satu sekolah di desaku. Tepatnya di MI GUPPI Rakitan. Aku menolak. Saat itu, aku masih mengerjakan skripsi. Mengerjakan skripsi saja rasanya sudah keteteran sekali, apalagi ditambah dengan beban pekerjaan. Aku merasa tak mampu. Aku berencana mengejar target lulus sebelum pembukaan rekrutmen CPNS dimulai dan akan mengikuti rekrutmen CPNS. Namun, sialnya aku lulus ketika proses rekrutmen telah berakhir. Dan sejak saat itu proses rekrutmen CPNS tak kunjung dibuka.  Aku teringat tawaran untuk bekerja di MI GUPPI Rakitan, tempat dulu aku bersekolah. Aku datang ke sana memakai baju lengan panjang berwarna biru dan mengajukan lamaran pekerjaan. ...

Bahagia Menjalani Hidup Seperti Anak-Anak

Saya rasa, satu kualitas hidup yang dimiliki anak-anak dan membuat mereka mudah bahagia adalah kemampuan mereka untuk memaafkan kesalahan orang lain. Sebagai guru SD jarang sekali saya mendapati murid-murid saya bersedih atas suatu masalah. Mereka memang mudah menangis kalau mengalami satu masalah yang sulit mereka atasi. Misalnya, saat berantem dengan temannya. Namun, itu tak pernah berlangsung lama. Hari itu juga mereka bisa berbaikan lalu kembali ketawa-ketiwi seolah tak terjadi apa-apa. Mereka terlihat selalu bahagia. Apa rahasianya? Saya penasaran mengapa anak kecil selalu terlihat bahagia. Sebagai guru SD, saya punya banyak waktu dan kesempatan untuk berinteraksi dengan mereka dan mencoba mencari tahu mengapa mereka selalu terlihat bahagia. Setidaknya, ada beberapa hal yang saya kira menjadi penyebab anak kecil relatif terlihat selalu bahagia. 1. Mudah memaafkan Saat mengajar kelas 4, ada seorang siswa yang berkelahi dengan temannya. Waktu itu saya sedang memeriksa kelom...

Karya Fotografi Kelas 5 MI GUPPI Rakitan

Melihat foto ini jiwa bolangku terusik. Bisa menyaksikan pemandangan seperti dalam foto ini secara langsung pasti sangat mendamaikan pikiran. Kapan, ya? Karya Fotografi Kelas 5           Ada satu mapel baru buat kelas 5 tahun ini, yaitu informatika. Materinya berkaitan dengan algoritma, software komputer, penalaran, editing foto dan video, dan lain sebagainya. Aku menyambut baik adanya mata pelajaran baru ini. Dari materi-materi itu aku pilih yang barangkali lebih dekat dengan dunia siswa, yaitu editing foto dan video. Aku memberikan tugas pertama buat mereka untuk mengambil foto apa saja yang menurut mereka indah dan pantas dibagikan. Beberapa siswa berinisiatif mengedit foto yang mereka ambil. Itu bagus dan memang itu tujuan awalku memberi tugas ini. Ini adalah hasil tugas mereka: Bunga putih dengan latar belakang tanaman lain. Komposisinya lumayan bagus. Namun, jika yang ingin ditampilkan atau ditonjolkan adalah bagian bunganya, alangkah baiknya j...

13 Rekomendasi Film Inspiratif Untuk Anak-Anak; Cocok Untuk Mengisi Liburan Sekolah

"Film ini bercerita tentang seorang alien rindu kampung halaman yang mendaratkan pesawat ruang angkasanya di dekat Hutan Afrika yang penuh warna. Teman-teman hewan barunya perlu membawanya kembali ke kapalnya dan mengajarinya tentang persahabatan dan kesenangan sebelum ayahnya yang Penakluk Luar Angkasa dapat mengambil alih planet bumi ini." -- Jungle Beat: The Movie -- 13 Film Inspiratif Dalam dan Luar Negeri           Untuk mengisi kegiatan selama pesantren kilat di madrasah, aku ditugasi mengunduh film yang cocok untuk anak-anak MI. Kelas 1 dan 2 direncanakan menonton pada hari Senin, sedangkan kelas 3 hingga 6 pada hari Selasa. Aku dapat tugas mencari film untuk kelas 3 hingga 6. Agak susah mencari film untuk kelas 3 hingga 6 karena kriteria yang diberikan kepala sekolah adalah harus inspiratif.           Masalahnya, anak-anak sekarang mudah sekali bosan. Mereka terbiasa menikmati video-video pendek yang sangat menarik de...