![]() |
Sebagai mahasiswa di salah satu universitas di Semarang (dulu), saya sering bolak-balik Semarang-Banjarnegara mengendarai sepeda motor. Perjalanan bisa mencapai 3-4 jam. Apalagi jika kondisi motor seperti milik saya: ban depan dan belakang gundul serta rem belakang alakadarnya. Kondisi ini membuat saya sangat hati-hati dalam berkendara.
Kalau tidak hujan, dengan kondisi ban yang gundul seperti itu, saya masih berani tancap gas sampai kecepatan rata-rata 70 km/jam. Tapi, kalau hujan, paling saya berani sampai 60 km/jam. Itu batas maksimal yang saya tetapkan sendiri. Kecepatan 60 hanya apabila jalanan lengang dan trek cukup lurus. Kalau tidak saya harus puas dengan kecepatan 40-50 km/jam saja.
Waktu tempuh yang tadinya berkisar 3-4 jam bisa menjadi 4-5 jam perjalanan. Ini tentu menjadi perjalanan yang cukup berat lantaran jalur yang saya lalui adalah jalur-jalur di daerah yang super dingin. Tidak hujan saja rasanya dingin, apalagi kalau hujan.
Dalam perjalanan biasanya saya memikirkan banyak hal agar tidak mengantuk. Saya memikirkan hal-hal yang ringan-ringan saja supaya tidak jatuh pada aktivitas melamun. Bahaya kalau berkendara sambil melamun. Bisa menyebabkan kecelakaan.
Kondisi ban gundul ini terus menyita perhatian saya sepanjang perjalanan. Kadang saya memikirkan berbagai kemungkinan yang bisa menimpa saya, seperti tergelincir lalu dilidas truk. Amit-amit nauzubillah. Ini membuat saya sangat hati-hati dalam perjalanan.
Kalau saya berkendara sendirian, saya akan sering berhenti untuk memastikan bahwa konsentrasi benar-benar terjaga. Dalam perjalanan ke Semarang, kadang saya sampai lima kali berhenti. Saya berhenti di tempat-tempat yang enak buat berhenti. Saya bisa menikmati pemandangan meskipun tidak bisa berswafoto karena saya kurang mahir dalam hal ini.
Terkadang ini membuat saya mengingat masa-masa SMA, saat motor yang saya gunakan untuk bersekolah adalah motor tua supra fit keluaran 2005. Saat itu, saya sekolah tahun 2015, yang artinya motor saya sudah berusia lebih kurang 10 tahun saat digunakan untuk bersekolah. Sekarang (saya menulis ini tahun 2020), usia supra saya sudah 15 tahun.
Sepeda motor umumnya tidak seperti keladi, yang makin tua makin jadi. Makin tua makin ngos-ngosan motor saya itu. Sering mogok kalau kena hujan. Rem sering macet dan gagal berfungsi. Oli sering bocor. Speedometer tidak jalan. Jarum bensin tidak jalan juga. Akibatnya harus rajin ngecek apa bensin masih ada atau sudah tinggal sedikit. Kadang-kadang saya lupa mengisi bensin dan akhirnya mogok di jalan.
Masa-masa bersama supra fit sangat berkesan buat saya. Dia menemani saya selama tiga tahun. Meski sering mogok, saya tidak pernah takut membuat perjalanan jauh bersama si supra fit ini.
Sebagai seorang remaja (dulu) saya kadang tergoda untuk mengetahui batas maksimal kecepatan si supra ini. Saya kadang memacunya kencang-kencang dari Jalan Semampir sampai Perempatan Pucang di depan sekolah. Saya menengok speedometer dan ternyata tetap menunjuk angka nol. Ini saya lakukan terutama kalau sedang buru-buru ke sekolah karena bangun kesiangan.
Kalau bepergian jauh bareng teman-teman, saya sering tertinggal. Tapi saya santai saja, dan selalu mengulang-ulang petuah bapak: selambat-lambatnya motor, masih lebih lambat yang jalan kaki. Petuah ini membuat saya makin mendalami pepatah Jawa, alon-alon asal kelakon.
Saya memahami betul kemampuan motor yang saya naiki tidak terlalu bagus, dan saya memilih untuk lebih berhati-hati.
Pengalaman bersama si supra memberi pelajaran berharga kepada saya agar mengukur diri secara benar. Saya belajar untuk menerima kekurangan-kekurangan dalam diri alih-alih berpura-pura sempurna. Saya tidak mau terjebak dengan cara-cara berpikir positif dengan kepura-puraan. Saya menyebutnya Delusi Kepercayaan Diri (DKD).
Ada pepatah, “kamu bisa jika berpikir bahwa kamu bisa.” Dalam beberapa kasus mungkin pepatah ini membantu. Namun, pepatah ini juga bisa menyesatkan dan saya tidak mau menggunakannya secara buta atau asal-asalan. Percaya bahwa kamu bisa melakukan segalanya, hanya karena berpikir bahwa kamu bisa melakukannya, tanpa pernah membuktikannya adalah delusi kepercayaan diri.
Merasa 'bisa' berpotensi menumbuhkan kesombongan alih-alih rendah hati. Saya tidak bermaksud mengajakmu masuk ke dalam pesimisme. Pesimis itu tidak baik. Sama halnya dengan optimisme buta.
Saya hanya ingin mengajakmu menerima kekurangan-kekuranganmu, yaitu dengan benar-benar mengenalinya. Kalau kamu bisa mengenali kekurangan-kekurangan yang kamu miliki, kamu akan lebih terdorong untuk melakukan hal-hal yang lebih realistis untuk menambal kekurangan itu. Jangan sampai DKD menjadikan kita manusia yang konyol.
Sekarang saya beralih ke vega. Kemampuannya cukup bagus dan telah terbukti mampu menaklukkan medan-medan berat saat saya KKN di Kabupaten Batang, Jawa Tengah. Dia juga sudah lama menemani saya, kurang lebih sekitar tiga tahun.
Secara kualitas, tentu si Veve ini, alias motor vega saya, lebih unggul daripada supra saya yang dulu. Namun, saya sama sekali tidak tergoda untuk memacunya sekencang mungkin hanya demi memuaskan hasrat penasaran saya terkait seberapa cepat dia sesungguhnya.
Sekarang saya lebih suka pelan-pelan saja, menikmati benar perjalanan, dan memberi kesempatan kepada orang yang sedang terburu-buru ingin menyalip. Saya sadar betul bahwa saya tak bisa selamanya selamat jika terus-terusan memacu motor sekencang-kencangnya.
Apakah ini tanda-tanda bahwa saya semakin dewasa? Hemm. :D
-------------------
Artikel Lain di Blog Ini:
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!