Memahami Ilusi Pengetahuan
Ilusi pengetahuan terjadi saat kamu meyakini bahwa kamu tahu lebih banyak dari pada yang sebenarnya kamu ketahui. Dengan kata lain: sok tahu. Ini bisa terjadi, karena paparan informasi dangkal untuk sesuatu yang sebenarnya sangat kompleks.
Misalnya, aku menemukan seorang pemuda yang menyodorkan video operasi caesar dari kanal YouTube. Dia menulis bahwa sekolah atau kuliah itu tidak penting, karena kita bisa mempelajari apa saja di YouTube. Dia merasa mampu menjelaskan bagaimana prosedur operasi caesar berdasarkan video yang disodorkannya itu. Padahal, video yang dia sodorkan hanya berdurasi dua hingga tiga menit. Kenyataannya, operasi caesar tak sesingkat itu, dan tak sesederhana apa yang ada di YouTube. Dia telah terjebak ilusi pengetahuan.
Ilusi pengetahuan terjadi karena rasa percaya diri yang berlebihan, informasi yang salah, atau pembelajaran yang dangkal. [1]
Ilusi pengetahuan membuatmu buta dari keterbatasan pengetahuanmu sendiri. Kamu tidak tahu apa yang sebenarnya tidak kamu ketahui. Kamu merasa sudah mengetahui semua hal yang perlu diketahui. Ini akan membuatmu stagnan, puas dengan pengetahuanmu, dan menutup semua kemungkinan membuka pintu-pintu pengetahuan baru.
Era Banjir Bandang Informasi
Di era ini, kita diterjang banjir bandang informasi dari berbagai sumber. Ini meningkatkan potensi ilusi pengetahuan. Dengan beberapa klik saja, kita dapat mencari informasi di internet dengan membaca, mendengar, dan menonton hampir semua topik yang kita inginkan. Namun, yang kita peroleh dari internet seringkali informasi dangkal tentang subjek yang sebenarnya sangat kompleks.
Internet telah menjadi sumber informasi tentang dunia yang hampir ada di mana-mana. Kini hampir semua orang mempunyai akses ke internet. Menariknya, sebuah penelitian yang dilakukan Fisher, M., Goddu, MK, & Keil, FC (2015), menemukan bahwa kemudahan mencari informasi di internet menciptakan ilusi yang membuat orang salah mengira akses ke informasi sebagai pengetahuan pribadi mereka sendiri. [2] Orang-orang secara keliru mengira mereka memiliki lebih banyak pengetahuan "di dalam kepala" hanya karena mereka memiliki lebih banyak akses informasi melalui internet. Padahal, informasi dan pengetahuan adalah sesuatu yang berbeda.
Kemudahan akses informasi telah memberi makan rasa percaya diri kita yang terlalu tinggi. Bisa kita lihat di media sosial, banyak pakar-pakar dadakan yang seolah-olah mampu membahas apa saja secara mendalam. Dengan membaca beberapa artikel di internet, mereka lantas merasa mampu mengomentari apa saja seperti seorang pakar, meski sebenarnya mereka tidak tahu apa-apa tentang apa yang mereka komentari.
Inilah mengapa era ini mendapat nama Era Post-Truth atau Era Pasca Kebenaran. Dalam era ini, emosi dan keyakinan pribadi lebih berpengaruh dalam membentuk opini publik dibandingkan fakta objektif atau analisis mendalam dari para ahli. Informasi yang beredar di media sosial seringkali lebih didasarkan pada popularitas dan narasi yang menarik daripada kebenaran yang terferivikasi. Kita tenggelam dalam informasi, namun haus akan pengetahuan.
Peran Media Sosial
Platform media sosial memperburuk keadaan dengan menciptakan situasi yang membuat penggunanya terpapar informasi yang memperkuat keyakinan mereka. Selain membuat penggunanya kecanduan, lewat algoritmanya yang canggih, media sosial cenderung menampilkan informasi yang terseleksi sesuai dengan kebiasaan penggunanya dalam menggunakan media sosial. Paparan informasi selektif ini dapat menyebabkan pandangan yang menyimpang tentang realitas, yang memperkuat ilusi pengetahuan. Alih-alih mencari informasi pembanding agar mendapatkan gambaran yang lengkap terhadap sesuatu, kita terus tenggelam dalam informasi yang menguatkan keyakinan kita.
Selain ilusi pengetahuan, media sosial juga berpotensi menyebabkan ilusi kepakaran. Orang-orang mungkin beranggapan bahwa informasi yang disampaikan dan disebarluaskan oleh akun dengan jumlah pengikut yang banyak adalah informasi yang valid dan ilmiah. Padahal jumlah pengikut seringkali tak ada hubungannya dengan kredibilitas seseorang. Hal ini bisa menyebabkan penyebaran informasi yang salah terjadi lebih cepat hingga viral. Orang-orang mungkin menilai bahwa kepakaran dalam bidang tertentu ditentukan oleh banyaknya pengikut di akun media sosial.
Implikasi Bagi Siswa
Ilusi pengetahuan bisa membuat siswa enggan belajar karena merasa sudah mengetahui semua hal. Mampu mengakses informasi dengan beberapa kali klik lewat smartphone, membuat mereka menyangka telah memiliki pengetahuan. Padahal, itu hanya akses terhadap informasi. Mereka masih membutuhkan kemampuan khusus untuk memproses informasi yang mereka dapatkan lewat internet, misalnya kemampuan berpikir kritis. Lagi pula, informasi berbeda dengan pengetahuan. Siswa salah mengira bahwa akses ke informasi sama dengan pengetahuan pribadi mereka.
Terjebak ilusi pengetahuan membuat mereka enggan belajar. Aku kerap mendapat protes dari siswa-siswaku saat mengajar operasi penjumlahan, pengurangan, perkalian, dan pembagian. Siswa menganggap pelajaran itu sia-sia, sebab sekarang sudah ada kalkulator yang lebih praktis. Padahal mereka tak hanya belajar tentang dua tambah dua sama dengan empat. Mereka belajar konsep operasi hitung secara mendalam.
Seringnya siswa mengonsumsi informasi dalam bentuk yang cepat dan dangkal tanpa benar-benar mendalami konsepnya membuat mereka terjebak ilusi pengetahuan padahal mungkin saja pemahaman mereka masih sangat terbatas.
Stephen Hawking pernah berkata, "Musuh terbesar pengetahuan bukanlah ketidaktahuan, melainkan ilusi pengetahuan." Ilusi pengetahuan membuat kita enggan menyibak tirai pengetahuan yang belum terbuka. Kita berhenti belajar. Menyadari ketidaktahuan kita lebih berguna daripada merasa telah mengetahui segala hal. Dengan menyadari ketidaktahuan, kita membuka kemungkinan untuk belajar. Pengetahuan begitu luas hingga setiap kali kita berhasil mempelajari satu hal kita akan tahu bahwa hanya sedikit sekali yang kita tahu dan itu akan mendorong kita untuk kembali belajar.
Belajar itu seperti menjelajahi lautan. Semakin jauh kita berlayar, semakin kita sadar bahwa samudra pengetahuan ini luas tak bertepi. Setiap pulau yang kita singgahi memberi kita wawasan baru, tetapi di kejauhan masih ada banyak daratan yang belum kita jelajahi. Justru di situlah letak keindahannya—petualangan untuk terus mencari dan menemukan hal-hal baru yang membuat hidup lebih bermakna.
Sayangnya, kemudahan akses informasi kerap menumbuhkan ketidaksabaran siswa terhadap proses belajar. Proses belajar di sekolah membutuhkan waktu, latihan, dan bimbingan. Sementara itu, internet memberikan jawaban instan. Siswa yang terbiasa dengan akses cepat ke informasi sering kali merasa frustrasi dengan metode belajar tradisional yang lebih lambat dan terstruktur.
Selain itu, tidak semua informasi di internet benar atau relevan, tetapi banyak siswa tidak memiliki keterampilan berpikir kritis yang cukup untuk memilah mana yang benar dan mana yang menyesatkan.
Implikasi Bagi Guru
Guru juga bisa mengalami ilusi pengetahuan. Guru mungkin merasa telah sangat memahami bidang yang ia ajarkan karena telah mempelajarinya sejak di bangku kuliah. Padahal, bisa jadi apa yang ia pelajari di bangku kuliah telah berkembang. Ilmu pengetahuan terus berkembang, begitu juga dengan apa yang dipelajari guru saat kuliah. Faktor lainnya adalah ingatan guru yang bisa jadi berkurang seiring waktu berlalu.
Guru yang mengalami ilusi pengetahuan bisa terjebak keyakinan bahwa metode yang ia gunakan untuk mengajar selalu efektif. Ia mungkin tidak menyadari bahwa metodenya ternyata tidak efektif lagi bagi sebagian siswa atau bahkan bagi banyak siswanya.
Selain metode pembelajaran, ada pula potensi usangnya sebuah materi yang disampaikan guru. Ilmu pengetahuan terus berkembang karena upaya manusia yang tak henti-hentinya untuk mencari kebenaran. Apabila guru menganggap ia sudah tahu segalanya terkait materi yang diajarkan, tanpa membuka pikirannya bahwa mungkin saja materi yang diajarkannya sudah usang, maka siswalah yang akan menjadi korbannya.
Perlu kesadaran kritis bahwa pengetahuan yang kita miliki sekarang barangkali sudah usang dan perlu diperbarui. Untuk itulah, tugas utama seorang guru selain mengajar adalah belajar. Guru yang terjebak ilusi pengetahuan mungkin tak akan tertarik untuk mempelajari hal-hal baru yang berkaitan dengan bidang yang pernah mereka pelajari.
Selain itu, guru yang terjebak ilusi pengetahuan biasanya tidak terbuka terhadap pertanyaan dan kritik. Guru yang merasa sudah tahu segalanya mungkin akan mengabaikan pertanyaan kritis dari siswa atau bahkan merasa terancam ketika ada yang mempertanyakan penjelasannya. Ia mengabaikan pertanyaan karena menanggapinya berarti meragukan pengetahuannya sendiri. Ini bisa membuat iklim pembelajaran di kelas tidak mendukung berkembangnya kemampuan berpikir kritis siswa.
Memerangi Ilusi Pengetahuan
Kita harus rajin mempertanyakan pengetahuan yang telah kita miliki dan menyelidiki kebodohan-kebodohan yang bersarang dalam diri kita. Untuk memerangi ilusi pengetahuan, ada beberapa hal yang mungkin bisa kita lakukan:
- Menjadi Pembelajar Berkelanjutan 📖 Ini membutuhkan kerendahan hati. Menjadi pembelajar berkelanjutan artinya mengakui bahwa hanya sedikit sekali yang kita tahu. Dengan kata lain mengakui bahwa kita hidup dalam ketidaktahuan. Ketidaktahuan inilah yang harus kita gunakan sebagai bahan bakar untuk terus menyalakan api semangat seorang pembelajar.
- Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis 🙇 Mengembangkan kemampuan berpikir kritis bisa dimulai dengan berlatih secara sadar membedakan anatara fakta dan opini dalam setiap informasi yang kita dapatkan. Kita harus mampu menyaring fakta dan opini dalam dunia yang dibanjiri informasi. Kita juga harus berlatih menilai kredibilitas sumber informasi yang kita dapatkan.
- Memperbanyak Kolaborasi untuk Umpan Balik Berkualitas 👫 Lewat kolaborasi kita lebih mungkin mendapatkan umpan balik yang bermutu daripada hanya bekerja sendirian. Ingatlah sebuah pepatah semut di seberang lautan terlihat jelas, gajah di pelupuk mata tak tampak sama sekali. Lebih mudah mengoreksi kesalahan orang lain dari pada mengoreksi kesalahan sendiri. Itulah mengapa kita harus bekerja sama dengan orang lain untuk saling memberi umpan balik yang berkualitas.
- Memberi Perhatian Penuh pada Satu Topik Saja 🔍 Memberi perhatian penuh pada satu topik yang kita pelajari membantu kita mengembangkan pemahaman mendalam terkait topik itu. Misalnya, kita bisa memanfaatkan fitur pencarian ketika menonton video-video di YouTube. Sekarang YouTube telah menyediakan fitur tetap fokus pada satu topik. Ini bisa kita manfaatkan untuk berlatih fokus pada satu topik saja.
- Terbuka Terhadap Kritik dan Pertanyaan 🙋 Khusus untuk para guru, tak perlu merasa terancam jika ada siswa yang melontarkan kritik atau pertanyaan atas penjelasan yang Anda berikan. Jika mereka melakukannya, artinya Anda punya siswa yang cerdas. Jangan kecewakan mereka dengan menolak kritik maupun pertanyaan mereka. Sebaliknya, jadikan itu sebagai motivasi untuk terus belajar dan memberikan pelayanan terbaik untuk siswa Anda.
- Menyiapkan Materi Pembelajaran dari Berbagai Sumber 📋 Umat manusia terus melakukan penelitian dalam berbagai bidang dan menghasilkan pengetahuan baru. Untuk itulah, sebagai seorang guru, Anda perlu rajin mempertanyakan apakah materi yang Anda ajarkan di kelas masih bisa digunakan atau justru telah usang. Dengan menggunakan materi dari berbagai sumber, memperkecil kemungkinan Anda menggunakan materi yang telah usang.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!