Ketika aku masih kuliah di semester delapan, aku mendapat tawaran bekerja di salah satu sekolah di desaku. Tepatnya di MI GUPPI Rakitan. Aku menolak. Saat itu, aku masih mengerjakan skripsi.
Mengerjakan skripsi saja rasanya sudah keteteran sekali, apalagi ditambah dengan beban pekerjaan. Aku merasa tak mampu. Aku berencana mengejar target lulus sebelum pembukaan rekrutmen CPNS dimulai dan akan mengikuti rekrutmen CPNS. Namun, sialnya aku lulus ketika proses rekrutmen telah berakhir. Dan sejak saat itu proses rekrutmen CPNS tak kunjung dibuka.
Aku teringat tawaran untuk bekerja di MI GUPPI Rakitan, tempat dulu aku bersekolah. Aku datang ke sana memakai baju lengan panjang berwarna biru dan mengajukan lamaran pekerjaan. Waktu itu, jumlah guru di sana sudah mencukupi. Ada tujuh guru kelas, satu guru mapel, dan kepala sekolah. Kukira, aku tak akan diterima di sana. Nyatanya, aku diterima juga.
Waktu itu guru mapel olah raga, Pak Jamal, sedang cuti. Jadi untuk sementara, aku menggantikannya mengajar olah raga.
Mengajar olah raga sangat menyiksaku, sebab aku tak menguasai teknik-teknik berolah raga. Teorinya pun aku tak menguasainya. Untunglah, ada kebiasaan jalan-jalan saat jam olah raga sehingga aku bisa memanfaatkannya. Tapi, setelah itu sungguh seperti siksaan. Aku tak tahu harus berbuat apa. Kuambil bola voli dan kuajarkan pasing bawah kepada anak-anak kelas lima. Aku terselamatkan berkat bola voli. Tapi hanya itu yang aku bisa. Tidak mungkin selamanya kuajari mereka pasing bawah, bukan?
Aku langsung terpikir kelasku esok hari. Masih mata pelajaran olah raga, namun kali ini dengan kelas satu dan kelas dua. Apa yang mau kuajarkan. Untunglah ada Youtube dan internet. Aku mencari meteri olah raga kelas satu dan dua lantas menonton di Youtube bagaimana cara mengajarkannya. Namun, tetap saja praktek langsungnya tak pernah berjalan mulus.
Untunglah, aku tak selamanya menjadi guru olah raga. Pada bulan berikutnya aku diberi tugas untuk mengajar matematika. Ini masih lebih baik dari pada mengajar olahraga. Aku masih bisa pelajari lagi materi-materi matematika tingkat dasar. Dan ternyata memang aku bisa. Aku memang tak ada bakat di bidang olah raga. Jadi, mengajar matematika 100% lebih baik dari pada mengajar olah raga.
Aku cukup cepat beradaptasi di sini. Dan yang mengejutkanku adalah, aku merasa senang dan ingin memajukan madrasah tempatku dulu menimba ilmu. Ya, ada perasaan memiliki. Aku merasa bahwa memajukan madrasahku adalah tugas dan tanggung jawabku sebagai seorang alumni.
Aku bekerja dengan perasaan yang ringan dan tak menganggap pekerjaanku sebagai beban. Apapun kulakukan untuk membuat madrsahku menjadi lebih baik.
Aku tak cuma seorang guru di sana. Aku menjelma menjadi tukang cat dinding, tukang potong rumput dan tanaman hias, tukang membetulkan atap yang bocor, tukang antar siswa pulang sekolah, petani singkong dan jagung, sampai menjadi tukang air. Tapi aku tak merasa terbebani. Kadang aku kembali ke madrasah di sore hari bersama Pak Japar untuk melakukan hal yang perlu dilakukan seperti mengganti lampu yang mati, memperbaiki pintu yang rusak, dan lain sebagainya. Aku menjalaninya dengan ringan dan tak merasakan semua itu sebagai beban. Mungkin inilah yang disebut dengan ketulusan. Aku melakukannya semata-mata ingin madrsahku lebih baik lagi dan mendapat kepercayaan dari masyarakat. Mungkin karena ketulusanku ini, Tuhan memberikan hadiah kepadaku seorang istri yang juga bekerja di madrasah ini.
Lucunya, saat pertama kali aku bertemu dengannya, ia menganggapku penjual sepatu. Sebenarnya aku dengannya tak begitu akur di sekolah. Para guru bahkan tak menyangka bahwa pada akhirnya kami memutuskan untuk menikah. Sekarang kami telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang lucu dan menggemaskan.
Menjadi Bendahara BOS
Salah satu pengalaman yang membuatku banyak belajar adalah menjadi bendahara BOS. Aku tak punya dasar-dasar ilmu keuangan dan tiba-tiba ditunjuk menjadi bendahara BOS. Bendahara BOS sebelumku terlibat konflik dengan kepala sekolah dan akhirnya dipindahkan ke sekolah lain. Salah satu guru mencoba menggantikannya menjadi bendahara BOS, namun dia hanya mampu bertahan selama setengah tahun. Saat itulah, aku ditunjuk menjadi bendahara BOS. Tak ada yang bersedia menjadi bendahara BOS. Aku terpaksa melakukannya. Dari pada dana BOS tidak bisa cair dan sekolah akan terkena imbasnya.
Bendahara BOS yang berkonflik dengan kepala sekolah ternyata meninggalkan masalah keuangan yang cukup serius. Dengan tertatih-tatih dan berdarah-darah aku mencoba mengurai masalah itu pelan-pelan dan sebagian besar masalah telah teratasi.
Aku belajar banyak hal dari tugasku sebagai seorang bendahara. Misalnya bagaimana membuat anggaran belanja, membuat laporan, dan yang paling penting adalah bagaimana mengelola konflik keuangan.
Yang paling kunikmati dari pekerjaanku sebagai seorang bendahara adalah aku bisa menganggarkan dana BOS untuk hal-hal yang menurutku bagus untuk kemajuan sekolah. Sebelum menjadi bendahara BOS, aku ingin sekali sekolahku ini punya perpustakaan. Namun, sayangnya bendahara lama menganggap hal itu bukan prioritas. Alhasil, yang selalu dibeli adalah buku-buku paket yang jujur saja ada kepentingan bisnis di sana. Sekolah-sekolah seperti “diwajibkan” membeli buku paket. Padahal nyatanya buku paket yang dibeli lebih sering tergeletak tak digunakan.
Menghidupkan Perpustakaan
Saat aku menjadi bendahara BOS, saat itulah aku bertekad akan menganggarkan pembelian buku bacaan setiap tahun agar koleksi bacaan di sekolahku tak melulu diisi buku paket. Memang ada buku bacaan selain buku peket, namun jumlahnya sangat sedikit dan bukunya sudah usang sehingga sama sekali tak menarik minat baca siswa.
Waktu itu tidak ada perpustakaan. Buku-buku diletakkan di pojok baca kelas. Minat membaca siswa akan bergantung sekali dengan guru kelas masing-masing. Dan celakanya, hanya aku seorang yang punya minat baca cukup bagus. Alhasil, pojok-pojok baca di kelas tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Tempat tersebut hanya tempat meletakkan buku paket setelah digunakan. Bahkan ada yang menggunakannya untuk tempat menaruh berbagai macam kerjajinan tangan, sapu, dan tempat sampah kelas.
Saat itu aku tidak tahu harus memulai dari mana untuk membuat perpustakaan. Namun, pada akhirnya aku memulainya juga. Aku mulai dari kelasku sendiri. Kubawa semua bukuku yang kuanggap akan disukai oleh siswa ke kelasku. Aku mewajibkan mereka membaca 15 menit sebelum pelajaran. Mereka lumayan suka namun meminta agar buku-bukunya terus ditambah dengan buku-buku yang baru. Dari sini aku manarik satu kesimpulan bahwa sebenarnya siswa tak suka membaca karena tak dibiasakan dan tak ada buku yang menarik di sekitar mereka.
Beruntungnya, sekolahku akan diakreditasi. Kami menyulap sekolah kami sebagus mungkin dalam waktu yang sesingkat mungkin. Termasuk dalam hal membuat ruang perpustakaan. Saat pelaksanaan tiba, tim penilai mengkritik habis-habisan sekolah kami yang tak punya perpustakaan. Perpustakaan yang kami buat tak dianggap ada oleh mereka lantaran isinya menurut mereka masih jauh dari kata layak. Ya, memang isinya hampir 100% buku paket. Aku setuju dengan kritik mereka. Meski sebagian guru terlihat kesal karena jerih payah mereka tak dihargai.
Dari kejadian itulah aku mulai berinisiatif membeli buku-buku bacaan seperti novel, komik, ensiklopedi, sains, buku agama, kisah bergambar, majalah, dan lain sebagainya. Aku semakin mendapat legitimasi setelah hasil tes ANBK menyatakan bahwa sekolah kami termasuk darurat literasi. Aku terus membenahi perpustakaan sekolahku. Aku meminta tukang memperbaiki atap yang bocor, bekerja sama dengan OSIMI untuk memilih buku-buku yang layak dipajang di rak perpustakaan, membuat aturan peminjaman buku, membeli karpet, dan lain sebagainya. Aku membuka perpustakaan saat jam istirahat pertama, dan ini berarti tak ada waktu istirahat buatku.
Saat ini kami memiliki sebuah perpustakaan kecil dengan koleksi buku bacaan kurang lebih telah mencapai 300 judul buku, dan tidak termasuk buku paket. Semua buku paket telah kupindahkan ke pojok baca masing-masing kelas.
Membentuk OSIMI
OSIMI adalah organisasi siswa yang aku bentuk pada tahun 2023, sampai saat ini OSIMI telah satu kali berganti kepengurusan. Sebenarnya, untuk ukuran anak SD belum mampu menjalankan sebuah organisasi. Namun, aku melatih mereka untuk lebih percaya diri. Aku membuatkan mereka program yang harus mereka laksanakan. Program-program OSIMI meliputi penarikan infaq Jumat, pengondisian siswa untuk solat duha, upacara, dan senam, merazia ketertiban siswa dan memberikan sanksi, membantu menyiapkan acara-acara tertentu di sekolah seperti peringatan HUT RI, pengajian, acara perpisahan, memungut dana kebersihan bagi pedagang yang berjualan di area sekolahan, dll.
Saat ini ada 16 anggota OSIMI yang aktif mengurus dan melaksanakan program-program yang telah disusun. OSIMI sangat meringankan tugas para guru. Satu contoh ketika pelaksanaan HUT RI tahun 2024, biasanya kami tak akan membuat banyak acara lomba-lomba. Tapi di tahun 2024 kami bahkan membuat lomba khusus untuk wali murid, yaitu lomba menghias tumpeng. Lomba ini bisa dilakukan karena sebagian guru tidak harus mengurus lomba-lomba lain yang telah diambil alih oleh OSIMI, sehingga mereka memiliki kelonggaran waktu untuk mempersiapkan lomba menghias tumpeng.
Membangun Media Sosial
Awal mula aku bekerja di sekolahku, kami tak punya akun media sosial. Tidak ada Facebook, Instagram, Youtube, dan sebagainya. Padahal media sosial bisa sangat membantu madrasah dalam menyosialisasikan program-program yang dilaksanakan. Sayang sekali bila ada sekolah yang tak memiliki media sosial. Dari sini, aku berinisiatif membuat akun media sosial untuk sekolahku. Aku memanfaatkan tiga platform media sosial yang cukup terkenal, yaitu Facebook, Instagram, dan Youtube.
Facebook, Instagram, dan Youtube banyak dihuni generasi milenial yang saat ini kemungkinan besar sudah memiliki anak satu atau dua yang siap memasuki dunia sekolah, baik TK/RA maupun SD/MI. Sangat cocok sebagai target sosialisasi program-program madrasah. Harapanku, dengan aktif di media sosial membagikan berbagai kegiatan yang kami laksanakan, masyarakat akan lebih mengenal MI GUPPI Rakitan dan pada akhirnya mereka akan mempercayakan pendidikan untuk anak-anak mereka kepada kami.
Akun Facebook dan Instagram aku khususkan untuk mengunggah foto-foto kegiatan disertai dengan narasi-narasi yang positif. Sesekali aku juga mengunggah video di akun Facebook atau Instagram. Sedangkan akun Youtube aku khususkan untuk mengunggah video. Saat ini sudah lebih dari 350 video yang aku unggah di Youtube.
Media sosial ini menjadi sarana untuk berinteraksi dengan masyarakat. Aku sering dapat komentar dari para alumni MI yang menyatakan kebanggaannya karena pernah bersekolah di MI GUPPI Rakitan.
Aku pernah berpesan kepada temanku, kemana pun kamu melangkah, melangkahlah dengan penuh cinta karena kamu akan meninggalkan jejak kebaikan setelahnya. Jangan pernah melangkah dengan kebencian karena yang tertinggal adalah jejak-jejak keburukan. Aku akan terus berusaha meninggalkan jejak-jejak kebaikan di belakangku, meski aku tahu pada akhirnya aku akan terlupakan. Kita semua akan terlupakan. Kita akan mati. Jejak kitalah yang abadi.
Ya, begitulah. Mungkin.
Postingan Terkait:
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!