Mengapa Hukuman Tak Selalu Membuat Siswa Kapok
Saya cari gambar dengan kata kunci kapok, yang keluar malah pohon kapok. 😅 Sumber gambar: pixabay.com |
Ada sebuah teori yang dinamakan stimulus dan respons. Dulu, ketika pertama kali mendengar dari mana teori ini dihasilkan, saya langsung tidak setuju jika teori ini dijadikan dasar dalam pendidikan.
Namun, saya tidak punya argumen yang kuat untuk menolak teori ini. Boleh dikatakan, saya masih terlelu cupu soal dunia pendidikan. Sekarang pun mungkin demikian. Hehehe
Teori ini dihasilkan dari sebuah penelitian yang dilakukan terhadap seekor anjing. Seekor anjing yang diberikan stimulus yang tepat akan merespons stimulus tersebut jika dibiasakan dengan benar.
Stimulus yang diberikan adalah bunyi lonceng dan makanan yang diberikan kepada anjing. Setiap lonceng dibunyikan, maka si anjing akan diberi makanan. Itu adalah stimulusnya.
Stimulus ini diberikan secara berulang-ulang hingga si anjing terbiasa. Setelah terbiasa, saat mendengar suara lonceng dibunyikan, si anjing akan mendekat ke arah sumber suara sambil meneteskan liur karena tahu akan diberi makanan. Dengan demikian respons anjing terhadap suara lonceng dapat diprediksi dengan akurat.
Dulu saya tidak menyukai teori ini digunakan dalam dunia pendidikan hanya lantaran teori ini dihasilkan dari penelitian terhadap seekor anjing. Tentu, alasan saya ini hanyalah alasan sentimen manusia terhadap binatang, sentimen yang tumbuh berdasarkan asumsi bahwa manusia derajatnya lebih tinggi dari binatang. Saya beranggapan bahwa mendidik anjing dan mendidik manusia tidaklah bisa disamakan.
Stimulus dan respons mungkin tepat untuk binatang, namun tidak tepat untuk manusia. Di antara stimulus dan respons harusnya ada sebuah ruang kosong tempat manusia berada, mari kita sebut saja “ruang bebas”, sehingga menjadi stimulus-ruang bebas-respons. Dalam ruang bebas ini manusia menentukan pilihan respons yang menurutnya paling tepat atas stimulus yang diterimanya.
Contohnya, ada seseorang yang tiba-tiba mendapatkan uang dalam jumlah sangat besar dengan cuma-cuma. Ini adalah stimulus. Dia bebas memilih respons apa yang akan dia lakukan terhadap stimulus tersebut.
Dia mungkin akan menyimpannya di bank. Bisa juga dia akan menghabiskannya untuk berpesta, membeli rumah baru, dan menghabiskannya tanpa sisa. Mana yang dia pilih? Dia bebas memilih yang mana pun yang dia mau, yang menurutnya tepat. Dengan kata lain, dia punya pilihan sebelum memberikan respons.
Manusia mempunyai kesadaran diri untuk memilih respons yang menurutnya paling tepat. Sedangkan binatang tidak. Mungkin itulah mengapa banyak yang bilang bahwa hidup adalah pilihan.
Suatu hari, bisa saja ponsel kita dicuri orang, tapi kita, dengan sadar memilih untuk tetap tenang. Kita memilih untuk sadar, bahwa kita sebenarnya tak punya apa-apa. Semua hanya titipan. Respons kita terhadap peristiwa tersebut bisa dengan sadar kita pilih.
Mari kita kembali lagi ke pendidikan.
Stimulus dalam pendidikan sering diberikan dalam dua bentuk, yaitu imbalan dan hukuman atau reward and punishment. Siswa yang rajin, terampil, dan aktif dalam kelas diberi imbalan, mungkin pujian atau nilai yang bagus agar terdorong untuk terus bertindak demikian.
Siswa yang malas, sering bolos, merokok di sekolah diberi hukuman, mungkin dijemur di lapangan atau dipajang di depan barisan saat upacara hari Senin agar dia jera dan tak melakukannya lagi. Cara seperti ini kerap berhasil, kerap juga gagal.
Ada banyak siswa yang tetap buruk perangainya tak peduli seberapa banyak hukuman yang telah dia peroleh. Dulu saya punya teman seperti itu di sekolah. Dia tidak pernah jera. Sangat sulit untuk “menjinakkannya” dan banyak guru yang akhirnya putus asa.
Stimulus berupa hukuman telah diberikan. Lalu kita berharap siswa merespons stimulus tersebut dengan berhenti melakukan hal-hal yang melanggar aturan. Pendidik kerap mengabaikan “ruang bebas” antara stimulus dan respons.
Ruang bebas inilah yang membuat teman saya dulu, tidak pernah jera dengan hukuman yang diberikan oleh guru. Dia dengan sadar memilih respons yang menurutnya tepat, yaitu menikmati hukuman itu.
Mengapa dia memilih respons itu? Karena hanya dengan cara itulah dia merasa diperhatikan oleh guru-gurunya dan mendapat semacam pengakuan dari teman-temannya bahwa dia ada, dia bagian dari yang lain, meskipun dalam bentuk yang tak disukai teman-temannya.
Akan sangat berbahaya jika para pendidik merasa bahwa dengan memberi stimulus berupa reward and punishment maka masalah selesai. Para pendidik perlu menyadari bahwa setiap siswa mempunyai kesadaran untuk memilih berdasarkan kerangka berpikirnya masing-masing.
Untuk mengetahui kerangka berpikir itu, para pendidik perlu bertanya mengapa, dan tentu mencari tahu jawabannya. Mengapa dia melakukannya? Mengapa dia tidak pernah jera? Mengapa dia sering bolos? Dan mengapa-mengapa yang lain.
Hal ini pasti akan sulit dilakukan karena memaksa pendidik berpikir dengan kerangka berpikir siswa.
Oleh sebab itulah, tak banyak pendidik yang mau melakukannya.
Jika pun ada yang bertanya mengapa, itu hanyalah sebuah basa-basi yang benar-benar basi sebelum akhirnya guru menjatuhkan hukuman yang itu-itu saja.
Salam.
Baca artikel lain di blog ini:
- 7 Peran Guru Menangani Siswa yang Sulit Diatur
- 7 Kesalahan Fatal yang Dilakukan Guru Saat Mengajar
- 8 Peran Guru dalam Memfasilitasi Diskusi Siswa
- Kurikulum Prototipe Sebagai Solusi Mengatasi Learning Lost
- Kurikulum Prototipe Sebagai Pemulihan Pembelajaran Tahun 2022 - 2024
TERIMA KASIH
SUDAH MAMPIR DI BLOG INI!
👍👍👍👍
JANGAN LUPA TINGGALKAN KOMENTAR ANDA!
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!