Belajar dari Dunia: Mengapa Guru di Indonesia Masih
Tertinggal?
Aku telah lama tahu guru di Indonesia digaji sangat
rendah, mungkin terendah di antara negara-negara ASEAN. Dibandingkan
negara-negara maju, gaji guru di Indonesia terpaut sangat jauh, bagai langit
dan bumi. Banyak guru terpaksa bekerja sampingan demi memenuhi kebutuhannya.
Hal ini sangat berpengaruh terhadap kualitas guru sebagai pelaksana
pembelajaran.
Aku menemukan buku kumpulan artikel mengenai sistem
pendidikan berbagai negara di dunia. Buku tersebut berjudul Pendidikan Guru
di Dunia ditulis oleh para mahasiswa S3 UPI. Mereka membahas sistem
pendidikan beberapa negara di dunia, yaitu Jerman, Finlandia, Malaysia, Jepang,
Indonesia, Australia, China, Inggris, Korea Selatan, Mesir, dan Kanada. Garis
besar buku ini membahas seleksi calon mahasiswa keguruan, proses pendidikan,
rekrutmen, kontrol kualitas, pengembangan profesi, hingga sertifikasi guru.
Gaji Guru
Persoalan gaji dibahas cukup lengkap mulai dari gaji
pertama mengajar, gaji pokok, tunjangan guru, hingga kenaikan gaji dengan
berbagai syarat-syaratnya.
Gaji guru di Indonesia adalah yang terendah di antara
negara-negara lain yang dibahas dalam buku ini. Semua orang mungkin sudah tahu.
Namun, aku baru tahu bahwa perbedaannya terlalu jauh. Kita bisa bandingkan dengan
Malaysia yang menggaji guru-gurunya rata-rata 8 hingga 13 juta Rupiah. Ini dua hingga
tiga kali lipat rata-rata gaji guru di Indonesia yang hanya 3 hingga 4 juta
rupiah. Dalam hal menyejahterakan guru, kita kalah jauh dari Malaysia. Masih
banyak cerita tentang guru yang hidup di bawah garis kemiskinan.
Selain gaji, aspek penting lain yang turut menentukan
kualitas guru adalah proses seleksi calon mahasiswa keguruan.
Memilih Calon Mahasiswa Keguruan
Rendahnya gaji guru di negeri ini sangat berpengaruh
terhadap minat lulusan SMA sederajat terhadap jurusan keguruan. Program studi
keguruan kerap menjadi pilihan terakhir lulusan SMA sederajat yang akan
melanjutkan ke perguruan tinggi. Lulusan-lulusan terbaik yang akan menjadi
mahasiswa tak berminat memilih program studi keguruan. Hal ini membuat kita tak
bisa memilih bibit-bibit terbaik yang akan kita semai menjadi calon guru.
Sebagai perbandingan, di Malaysia lulusan-lulusan
terbaik SMA diprioritaskan mendaftar program keguruan di pendidikan tinggi. Bahkan
di Finlandia, selain lulusan-lulusan terbaik tidak diperbolehkan mendaftar program
keguruan.
Hanya 10 persen dari sekitar 5.000 pelamar yang
diterima setiap tahun untuk Fakultas Pendidikan di universitas Finlandia. Ini
berarti bahwa mereka dapat memilih beberapa siswa terbaik di negaranya pada
saat ujian masuk. Mereka sangat memperhatikan kualitas guru dari proses seleksi
calon mahasiswa keguruan.
Selain Finlandia dan Malaysia, negara-negara yang
memprioritaskan lulusan-lulusan terbaik agar masuk ke program keguruan adalah
Jerman, Jepang, China, dan Korea Selatan. Hal ini membuat persaingan untuk
masuk program keguruan di perguruan tinggi menjadi sangat ketat dan hanya yang
terbaik yang bisa diterima.
Surplus Sarjana Pendidikan
Selain pembatasan terhadap calon mahasiswa keguruan,
Finlandia juga membatasi perguruan tinggi yang boleh membuka program keguruan.
Hanya beberapa universitas paling baik yang diperbolehkan membuka program
keguruan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan kontrol atas kualitas guru-guru
yang dihasilkan dan untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan guru dengan
lulusan program keguruan.
Tak sampai di situ, Finlandia menerapkan kriteria yang
sangat tinggi untuk calon guru-guru mereka. Guru di Finlandia paling tidak
harus bergelar S2 atau magister meskipun mereka mengajar tingkat SD atau SMP.
Tak heran jika Finlandia menjadi negara dengan pendidikan terbaik di dunia.
Di Indonesia hampir semua universitas membuka program
keguruan, mulai dari universitas top hingga yang abal-abal, tak lengkap rasanya
kalau tak ada program keguruan. Kontrol terhadap kualitas guru menjadi relatif lebih
sulit.
Banyaknya universitas yang membuka program keguruan
mengakibatkan lulusan program keguruan jauh melebihi kebutuhan guru. Banyak
lulusan keguruan yang akhirnya menganggur, atau memilih menjadi guru meski
dibayar sangat rendah, seolah-olah gelar "pahlawan tanpa tanda jasa"
cukup untuk mengobati ketidakadilan tersebut. Ini tak lain adalah perbudakan
terselubung yang dibiarkan oleh pemerintah. Eksploitasi yang tidak manusiawi.
Kebijakan yang dikeluarkan pemerintah seperti tak
melihat fakta ini. Pemerintah justru membolehkan lulusan dari luar program
keguruan menjadi guru asalkan telah mengikuti PPG yang kurang lebih ditempuh
selama satu sampai dua tahun. Lulusan program keguruan saja sudah sangat banyak
dan tak semuanya menjadi guru. Pemerintah malah membolehkan lulusan dari
jurusan lain menjadi guru.
Kebijakan ini menuai protes keras dari lulusan
keguruan. Bagaimana tidak, mereka harus bersaing dengan sesama lulusan program
keguruan ditambah lulusan dari luar program keguruan. Hal yang sama terjadi
juga di Australia. Pemerintah Australia juga membolehkan lulusan dari luar
jurusan keguruan menjadi guru asal sudah mengikuti program pendidikan khusus
untuk persiapan menjadi guru. Bedanya, Australia tak mengalami surplus lulusan
jurusan keguruan. Jadi, hal ini bukan masalah di Australia.
Kontrol Kualitas Guru
Dalam hal kontrol kualitas guru, Korea Selatan mungkin
menjadi yang paling serius di antara negara-negara lain. Hal ini disebabkan
karena masyarakatnya pernah tak percaya dengan kualitas guru-guru di sana
meskipun para guru sudah bersertifikat.
Pemerintah mengambil tindakan dengan mengeluarkan
kebijakan yang mengharuskan sertifikat guru diperbarui setiap tahun. Jika kamu
seorang guru di sana, artinya setiap tahun kamu harus mengikuti ujian untuk
mendapatkan sertifikat mengajar. Kamu tak boleh lagi mengajar jika tak lulus
ujian ini. Sertifikat mengajar menjadi syarat mutlak untuk mengajar di Korea
Selatan. Apakah Indonesia bisa meniru Korea Selatan dalam hal mengontrol
kualitas guru-guru kita? Entahlah.
Negara-negara yang dibahas dalam buku ini memiliki
cara mereka masing-masing dalam mengontrol kualitas guru. Ada yang secara rutin
mengadakan pelatihan berkualitas yang harus diikuti para guru. Ada pula yang
memanfaatkan kelompok kerja guru. Persamaan di antara negara-negara yang
dibahas dalam buku ini adalah harus adanya sertifikat mengajar sebagai syarat
seorang guru dapat melaksanakan praktek mengajar di kelasnya.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Buku ini mengingatkan kita bahwa sistem pendidikan
yang baik tidak lahir dari kebetulan. Ia dibentuk oleh kebijakan yang
berorientasi pada kualitas dan kesejahteraan. Membaca buku ini adalah langkah
kecil, tapi penting, bagi siapa pun yang peduli pada masa depan pendidikan
Indonesia.
Membaca buku ini di tengah kompleksitas permasalahan
sistem pendidikan di Indonesia yang tak kunjung terurai, bisa menjadi bahan
refleksi untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan pendidikan di Indonesia.
Membaca buku ini memperluas pemahaman kita mengenai
permasalahan sistem pendidikan di Indonesia dengan membandingkan berbagai
sistem pendidikan yang ada di dunia.
Terus berupaya mengembangkan diri barangkali adalah esensi dari seorang guru. Membaca buku ini adalah bagian dari upaya kita untuk terus mengembangkan diri. Begitulah.
--------------------
Ulasan buku lainnya:
- Ulasan Buku Pemikiran, Konsepsi, Keteladanan, Sikap Merdeka; I (Pendidikan) karya Ki Hadjar Dewantara
- Meneguk Inspirasi dari Para Pendidik Negeri Ini | Ulasan Buku "Oase Pendidikan di Indonesia; Kisah Inspiratif Para Pendidik"
- Potret Carut-Marut Pendidikan Nasional | Ulasan Buku Retakan Nalar Karya JC Pramudia Natal
- Membaca Percikan Pemikiran Dr. M. Arfan Mu’ammar,M.Pd.I dalam Nalar Kritis Pendidikan
- Guru Generasi Milenial; Buah Kontemplasi dan Interpretasi Tri Winarno yang Patut Disimak
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!