“Ketika aku melihat mulut yang mengganyang semua itu, aku berpikir ia
seperti sesuatu yang mengganyang kekuatanku, dan membuatku berpikir kita semua
hidup dan mati untuk para parasit.” (hlm. 49)
Perjumpaan Pertama
Ini adalah kali pertamaku membaca karya Maxim Gorky. Jujur saja, namanya
terdengar asing di telingaku. Tapi ketika melihat nama Eka Kurniawan sebagai
penerjemah, aku langsung tertarik. Eka adalah salah satu sastrawan Indonesia
yang karyanya sudah dikenal dunia. Kupikir, kalau Eka yang menerjemahkan, pasti
hasilnya bagus. Dan memang benar, terjemahannya enak dibaca, mengalir, dan
penuh rasa.
Buku Si Tukang Onar berisi lima belas cerita pendek. Ceritanya terasa
sederhana, tapi sebenarnya menyimpan kompleksitas yang dalam. Salah satu cerpen
yang paling membekas untukku berjudul Monster. Ini adalah kisah tentang seorang
ibu yang melahirkan anak cacat dan harus membesarkannya seorang diri. Seiring
waktu, anak itu tumbuh menjadi sosok yang rakus. Ia tidak memberi apa-apa
kepada ibunya selain penderitaan, di tengah lingkungan masyarakat yang juga
hidup dalam kemiskinan.
Entah mengapa, cerita ini membuatku teringat pada kondisi di Indonesia.
Ibu yang berjuang membesarkan anak cacat itu seperti rakyat yang saban hari
bergulat dengan kemiskinan. Sedangkan anak cacat yang selalu lapar itu—si
monster—mengingatkanku pada para pejabat dan penguasa di negeri ini. Mulutnya
seperti sumur tak berdasar yang terus menelan apa pun. Bukankah ini mirip
dengan para koruptor? Rakus, tak pernah merasa cukup, dan justru menyengsarakan
rakyat yang telah membesarkan mereka.
“Ia melahap hasil kerja, darah, dan hidup ibunya.” (hlm. 48)
Monster itu tak pernah memberi apa pun, hanya mengambil. Ia cacat,
bahkan tak mampu keluar dari kotaknya sendiri. Seperti pejabat-pejabat kita
yang tak becus bekerja, tapi terus-menerus digaji dari uang rakyat. Mereka
seharusnya hadir di tengah kesulitan, tapi malah memperparahnya.
“Ketika aku melihat mulut yang mengganyang semua itu, aku berpikir ia seperti sesuatu yang mengganyang kekuatanku, dan membuatku berpikir kita semua hidup dan mati untuk para parasit.” (hlm. 49)
Cerpen Kebencian juga meninggalkan kesan kuat. Cerita ini menggambarkan
bagaimana kebencian bisa tumbuh menjadi dendam, dan dari dendam lahirlah
kebencian baru yang tak ada habisnya. Tokohnya adalah seorang asing yang
dulunya tak dianggap siapa-siapa. Setelah sukses, ia membalas dendam pada
orang-orang yang dulu memandangnya rendah—bukan pada mereka yang menyakitinya
langsung, tapi kepada orang-orang tak berdaya yang datang meminta bantuan.
Cerpen ini menyindir bagaimana luka masa lalu yang tak selesai bisa berubah
menjadi kekejaman.
Beberapa cerita lain bertema tentang ibu, seperti Ibu Seorang
Pengkhianat dan Dendam. Cerita Dendam ini bahkan mengingatkanku pada novel
Gabriela, Cengkih, dan Kayu Manis karya Jorge Amado, dengan latar masyarakat
patriarki yang mengagungkan “kehormatan” laki-laki. Tapi Gorky memberi ruang
bagi perempuan untuk melawan. Tokohnya, Emilia Bracco, membunuh ibu mertuanya
yang menuduhnya berselingkuh, meski ia tak pernah mengkhianati suaminya bahkan
dalam mimpi. Ia dipenjara, tapi masyarakat menganggapnya lambang kesucian.
Ironisnya, setelah keluar dari penjara, ia justru benar-benar berselingkuh.
Emilia kemudian menjalin hubungan dengan Donato, seorang pria yang
membunuh istrinya sendiri karena berselingkuh dengan ayahnya. Mereka sama-sama
pembunuh, dan meskipun pernah dipuja sebagai pembela kehormatan, mereka tetap disisihkan
dari masyarakat. Cerpen ini seperti menyindir kemunafikan sosial: masyarakat
bisa memuja seseorang secara kolektif, tapi tetap menjauhinya sebagai individu.
Cerita lain yang juga menarik berjudul Bagaimana Giovanni Menjadi
Seorang Sosialis. Di cerita ini, aku belajar bahwa rasa kemanusiaan bisa
menembus batas-batas ideologi, keyakinan, bahkan permusuhan. Ketika seseorang
sakit, kita tak lagi peduli siapa dia, dari kelompok mana dia berasal—kita
hanya melihat sesama manusia.
Sayangnya, informasi tentang Maxim Gorky dalam buku ini sangat minim.
Karena penasaran, aku pun mencari tahu lebih jauh. Gorky ternyata adalah
seorang pengarang Soviet, pendiri aliran realisme sosialis, sekaligus aktivis
politik. Ia kehilangan orang tuanya sejak kecil dan dibesarkan oleh neneknya
yang dikenal sebagai pencerita ulung. Setelah kematian sang nenek, Gorky sempat
mencoba bunuh diri, lalu mengembara keliling Rusia selama lima tahun. Dari
pengalamannya itu, ia memungut kisah-kisah kehidupan rakyat kecil dan
menjadikannya bahan tulisannya.
Mungkin pengalaman hidup yang keras itulah yang membuat cerpen-cerpennya
terasa jujur dan kuat dalam menyuarakan sisi kemanusiaan. Misalnya, ada satu
cerita tentang dua orang miskin yang memutuskan menikah meski tak punya
apa-apa. Keputusan mereka dihujat banyak orang, tapi justru memantik
solidaritas dari sesama kaum miskin. Mereka pun dibantu—ada yang menyumbangkan
kasur, bekas kandang kambing, bahkan perabot rumah seadanya. Kisah cinta yang
sederhana ini berpadu indah dengan semangat gotong royong.
Ciri khas Gorky terasa di setiap awal cerita: selalu dimulai dengan
penggambaran suasana yang tenang dan kalem, tapi tak membosankan. Saat
membacanya, aku merasa seperti sedang mendengarkan musik alam yang menyejukkan,
sebelum akhirnya dituntun masuk ke konflik yang menggugah.
Cerita-cerita dalam Si Tukang Onar terasa dekat dengan hidup kita. Gorky
menulis tentang hal-hal kecil, tapi maknanya bisa sangat dalam. Beberapa cerpen
membuatku memikirkan kondisi Indonesia sekarang—tentang rakyat yang terus
berjuang, dan tentang kekuasaan yang sering kali hanya jadi beban.
Buku ini cocok buat siapa saja yang ingin membaca sastra yang tenang,
tapi tetap punya kekuatan. Cerita-ceritanya sederhana, tapi menyentuh.
---------------
Ulasan lain di blog guru mulang:
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!