"Kami memilih duduk di deretan kursi yang tidak terlalu
di depan dan tidak pula di belakang. Aku tidak tahu mengapa orang-orang
cenderung menghindari kursi di baris depan dan lebih menyukai kursi di baris
belakang."
Sebuah Pertanyaan Retoris
Apakah kami termasuk SDM rendah atau ini hanya soal
kebiasaan, kalian yang menentukan!
Aku berkendara pelan menuju salah satu rumah makan
paling terkenal di Banjarnegara; Saung Mansur. Aku sengaja berkendara
pelan-pelan meski waktu sudah menunjukkan pukul delapan lebih. Jika sesuai
dengan surat pemberitahuan dimulainya acara, maka aku pasti terlambat pada
acara halal bi halal yang diselenggarakan oleh sekolah-sekolah di salah satu
kecamatan di Banjarnegara.
Di surat pemberitahuan tertulis acara dimulai tepat
pukul delapan. Tapi aku tahu, aku tak mungkin terlambat meski sekarang sudah
pukul delapan dan aku masih dalam perjalan.
Sampai di Saung Mansur terbukti aku tidak terlambat,
malah menjadi salah satu yang tercepat. Di sana sudah ada teman-teman dari
sekolahku. Baru dari sekolahku saja. Padahal, peserta acara ini adalah seluruh
guru dan karyawan dari berbagai sekolah.
Sambil menunggu peserta dari sekolah lainnya, kami
membicarakan berbagai hal terkait agenda sekolah. Kami bahkan masih sempat
berfoto-foto sebelum masuk ke ruang yang akan digunakan. Setelah selesai
berfoto kami berjalan ke meja presensi dan ternyata petugas presensi belum
datang.
Kalau dilihat dari persiapan panitia dan masih
sedikitnya peserta yang datang, aku berani memprediksi bahwa acara baru akan
dimulai sekitar pukul 10.00, terlambat dua jam dari waktu yang diumumkan.
Dan... prediksiku tentu saja terbukti.
Ini sudah hal yang biasa, sampai-sampai WIB yang
aslinya Waktu Indonesia Barat sering dipelesetkan menjadi Waktu Indonesia
Berubah atau Waktu Insyaallah Berubah. Aku bertanya-tanya mengapa orang-orang
begitu menyepelekan waktu. Padahal ada pepatah waktu adalah uang dan waktu
adalah pedang.
Kami memilih duduk di deretan kursi yang tidak terlalu
di depan dan tidak pula di belakang. Aku tidak tahu mengapa orang-orang
cenderung menghindari kursi di baris depan dan lebih menyukai kursi di baris
belakang.
Kursi di baris paling belakang biasanya penuh lebih
dahulu dibandingkan kursi di baris depan. Panitia kemudian akan menyuruh
orang-orang yang ada di belakang untuk maju.
Kami masih mengobrol sambil menunggu acara dimulai.
Pewara mempersilakan siapa saja yang ingin menyumbangkan suara atau menyanyi di
depan sekadar mengisi kekosongan acara sambil menunggu acara dimulai.
Aku agak jengkel lantaran disuruh-suruh untuk duduk di
depan, mengisi yang kosong terlebih dahulu. Harusnya orang yang datang lebih
awal bebas pilih duduk di kursi mana saja asal bukan yang disediakan untuk tamu
undangan.
Aku menduga bahwa orang-orang sengaja datang terlambat
supaya bisa duduk di belakang.
Memang ada keunggulan yang sangat besar bila kamu
memilih duduk di barisan belakang. Kamu bisa main HP dengan lebih leluasa. Iya,
serius.
Acara-acara perkumpulan, workshop, seminar, biasanya
didahului sambutan-sambutan dari berbagai pihak yang sangat membosankan. Saking
banyaknya sambutan-sambutan itu, salah satu guru yang duduk di sampingku
tiba-tiba menceletuk, “Kayak lagi dengerin lomba pidato!”
Kalau kamu serius mendengarkan sambutan-sambutan
mereka bisa-bisa kamu malah diserbu kantuk yang tak tertahan. Di baris belakang
seandainya kamu mengantuk tidak akan terlalu diperhatikan pembicara atau
pembawa acara. Di baris belakang juga memungkinkanmu untuk mengobrol dengan
teman sebelah tanpa perlu khawatir suaramu akan terdengar dari depan. Aman.
Jadi, pilihan duduk di belakang adalah yang terbaik.
Setelah menunggu lama sekali akhirnya pukul 10.00
acara dimulai dan benar saja apa yang dikatakan temanku: “lomba pidato” segera
dimulai.
Berawal dari sambutan ketua panitia, sambutan
perwakilan guru, sambutan pengawas 1, sambutan pengawas 2, sambutan pejabat
kemenag, dan sambutan-sambutan lainnya yang terasa seperti lomba pidato. Pewara
memberikan waktu sekitar 10 menit untuk masing-masing sambutan, namun yang
terjadi kerap lebih dari itu. Ya, begitulah. Padahal yang mereka sampaikan
kurang lebih sama saja.
Setelah acara selesai, kami bubar dan satu lagi yang
menjadi perhatianku adalah sampah wadah kudapan yang dibiarkan teronggok di
meja masing-masing. Aku tahu bahwa di tempat itu ada petugaskebersihan yang
nantinya akan memunguti semua sampah itu. Tapi tidak bisakah kita berusaha memudahkan
urusan orang lain? Padahal barang siapa memudahkan urusan orang lain, maka
urusannya juga akan dimudahkan oleh Allah SWT. Bayangkan jika setiap orang
membawa serta sampahnya dan membuangnya ke tempat sampah yang sudah disediakan.
Bukankah itu perkara yang ringan?
Kami juga tak lupa berfoto bersama setelah acara
selesai. Momen berkumpul seperti ini memang hanya terjadi satu tahun sekali dan
sayang kalau tak diabadikan dalam sebuah foto.
Bagaimana teman-teman, apakah kami termasuk SDM
rendah?
Sumber gambar: clickmeeting
----------------
Artikel lain di blog guru mulang:
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!