Setiap perbuatan ada konsekuensinya.
Namun, terkadang konsekuensi baru kita rasakan dalam jangka waktu yang lama.
Beberapa perbuatan kita memiliki konsekuensi langsung yang teramat kecil namun
besar dalam jangka panjang.
Hukuman dan Konsekuensi
Dahulu, hukuman kerap digunakan oleh para guru atau orang tua
untuk mendisiplinkan anaknya. Biasanya, hukuman diberikan ketika anak melakukan
kesalahan atau hal-hal yang tidak pantas.
Aku
masih ingat, jari-jariku dipukul dengan penggaris besi oleh seorang guru
gara-gara kukuku panjang. Aku juga pernah berdiri di depan barisan teman-teman,
tepatnya di dekat tiang bendera saat upacara hari Senin gara-gara terlambat ke
sekolah. Kupingku juga pernah dijewer sangat keras sampai terasa panas
gara-gara aku memecahkan telur yang akan kupakai untuk praktek membuat telur
asin. Waktu itu aku mengamplasnya terlalu keras. Aku juga pernah dicukur di
dalam kelas dan mencabuti rumput di halaman sekolah karena lupa mengerjakan PR.
Hingga
sekarang, hukuman masih terus ada. Namun, prakteknya sudah jauh berbeda dengan
zaman ketika aku sekolah. Hukuman fisik sekarang dilarang. Banyak kasus guru
dilaporkan ke polisi karena memberikan hukuman fisik kepada anak
didiknya.
Apakah
kelak hukuman akan dilarang sama sekali? Mungkin saja. Pertanyaannya, apakah
kita bisa mendidik tanpa hukuman? Mungkin bisa. Bagaimana caranya? Kita gunakan
konsekuensi. Apa itu konsekuensi? Apakah konsekuensi hanya nama lain dari
hukuman? Jadi, hanya sekadar ganti nama? Tentu tidak. Konsekuensi berbeda dengan
hukuman.
Konsekuensi
terkait langsung dengan tindakan yang anak-anak lakukan. Misalnya, saat anak
menumpahkan minuman ke lantai, maka konsekuensinya anak tersebut harus
membersihkan lantai itu. Saat anak memecahkan vas bunga, maka anak tersebut
harus memperbaiki vas tersebut jika mungkin, atau membeli vas bunga baru untuk
mengganti yang pecah, inilah konsekuensi. Kalau anak memecahkan vas bunga lalu
kita memarahi dan memukulnya, inilah hukuman. Memarahi dan memukul anak tidak
berkaitan dengan pecahnya vas bunga. Seringkali hal itu hanyalah manifestasi
emosi sesaat orang tua. Dengan kata lain, hukuman datang dari orang lain
sementara konsekuensi datang dari perbuatan pelaku.
Tapi,
bagaimana dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan anak di sekolah? Misalnya
anak yang tidak mengerjakan PR, apa konsekuensinya? Bagaimana dengan anak yang
tidak mau mendengarkan guru yang sedang menjelaskan pelajaran? Bagaimana dengan
anak yang tidak mau melaksanakan piket kelas? Bagaimana dengan anak yang tidak
mau memakai topi saat upacara? Bagaimana dengan anak yang jajan di kantin saat
jam pelajaran? Apa konsekuensi dari perbuatan-perbuatan tersebut?
Setiap
perbuatan ada konsekuensinya. Namun, terkadang konsekuensi baru kita rasakan
dalam jangka waktu yang lama. Beberapa perbuatan kita memiliki konsekuensi
langsung yang teramat kecil namun besar dalam jangka panjang. Misalnya
kebiasaan makan gorengan berlebihan, konsekuensinya bagi kesehatan kita mungkin
baru kita rasakan bertahun-tahun di masa depan. Begitu juga dengan perbuatan-perbuatan
siswa di sekolah, misalnya tidak mau memakai topi saat upacara. Konsekuensi
yang langsung dirasakan mungkin kepanasan. Sedangkan yang lebih buruk adalah
rendahnya kesadaran akan kedisiplinan diri yang tentu saja baru akan dirasakan
anak dalam jangka waktu yang lama. Konsekuensi-konsekuensi seperti ini sangat
mudah diabaikan oleh anak-anak, bahkan oleh orang dewasa sekalipun. Itulah
sebabnya, para guru tak mengandalkan konsekuensi melainkan hukuman. Siswa yang
tak memakai topi saat upacara dihukum dengan berdiri di depan barisan siswa
lain. Menjadi tontonan.
Apakah
hal ini membuktikan bahwa kita tidak mungkin membuang hukuman dalam cara kita
mendidik anak? Ternyata tidak. Kita masih mungkin membuang hukuman ke tong
sampah.
Setelah
aku mencari berbagai referensi, aku menemukan bahwa konsekuensi dapat kita
buat. Aku menyebutnya konsekuensi buatan. Aku membagi konsekuensi menjadi dua:
konsekuensi alami dan konsekuensi buatan. Saat kita bermain air lalu baju kita
basah, itu konsekuensi alami. Bagaimana dengan konsekuensi buatan? Konsekuensi
buatan dapat tercipta dari kesepakatan.
Kita
bisa mengubah hukuman sepenuhnya menjadi konsekuensi. Para guru dan siswa duduk
bersama untuk membahas peraturan kelas dan semua sanksi bagi yang melanggar
peraturan. Peraturan ini harus jelas dan dipahami oleh semua siswa, kalau perlu
seluruh siswa diminta menandatangani kesepakatan bersama. Dalam membuat
kesepakatan kelas yang nantinya menjadi peraturan kelas, berikan kesempatan
kepada siswa untuk mengajukan ide-ide mereka menyangkut peraturan yang boleh
atau tidak boleh mereka lakukan termasuk sanksi bila ada yang
melanggarnya.
Jika
peraturan kelas yang berasal dari kesepakatan telah tercipta, maka guru tak
perlu lagi menjadi pihak eksternal yang menghukum siswa. Siswa yang melanggar
peraturan harus menanggung konsekuensinya sesuai dengan kesepakatan kelas.
Dengan begini hubungan baik antara siswa dan guru akan lebih terjaga. Tidak ada
dendam atau kebencian kepada guru karena telah menghukum siswa. Dengan begini siswa
akan lebih mampu belajar bertanggung jawab.
Hal
seperti inilah yang sudah aku terapkan di kelas pada tahun ajaran lalu.
Ketika ada yang melanggar aturan kelas, siswa langsung tahu apa yang harus
mereka lakukan untuk menerima konsekuensinya. Kalau ada siswa yang tak mau
menanggung konsekuensinya, maka siswa lain akan segera menegurnya. Sebagai
guru, aku hanya perlu mengawasi dan turun tangan jika diperlukan. Ini menghemat
energi dan emosi tentu saja.
Membuat
kesepakatan kelas awalnya memang merepotkan, tapi jika sudah dijalankan dengan
konsisten, percayalah, ini akan sangat membantu meringankan pekerjaan
guru.
Kesepakatan seperti ini juga harusnya bisa diterapkan di level wali murid dan pihak sekolah. Pihak sekolah harus memberikan informasi sedetail mungkin terkait aturan yang diterapkan di sekolah kepada calon siswa dan orang tuanya sebelum mereka memutuskan untuk mendaftar. Kalau perlu, pihak sekolah dan wali murid menandatangani kesepakatan terkait aturan sekolah yang sudah diibuat. Baik guru maupun wali murid sama-sama perlu mengetahui aturan sekolah dan sanksi bagi para pelanggarnya agar tak ada lagi kasus guru yang kebablasan menghukum siswanya atau orangtua yang kebablasan membela anaknya.
-------------------
POSTINGAN LAINNYA:
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!