Negeri Jagung dan Anak-Anaknya | Ulasan Buku Bocah Penjinak Angin, William Kamkwamba
“Bocah Penjinak Angin” adalah sebuah novel yang bisa kutebak alur ceritanya dengan membaca uraian singkat di belakang buku. Memang ada jenis novel yang seperti itu. Buku ini salah satunya. Aku membeli dan membacanya, sebab yang menarik bukanlah alur cerita buku itu, melainkan gambaran kondisi di suatu lingkungan yang asing buatku. Afrika.
Ketertarikanku terhadap buku ini juga karena kisah dalam buku ini diambil dari kisah nyata penulisnya. Latar tempatnya di Malawi, salah satu negara di wilayah benua Afrika. Aku belum pernah membaca novel dengan latar wilayah Afrika. Jadi, sepertinya menarik.
Malawi termasuk negara miskin. Saking miskinnya dari seluruh wilayah, hanya sekitar 11 % yang menikmati listrik. Aktivitas warga setelah matahari terbenam otomatis terhenti dan yang ada tinggal lolongan binatang buas. Begitulah yang tergambar dalam buku ini di suatu desa tempat William Kamkwamba dibesarkan. Dia tak bisa belajar malam hari. Sementara siangnya, setelah sekolah dia gunakan untuk membantu ayahnya di ladang jagung. Seperti itu pula anak-anak lain di sekitarnya. Kemiskinan begitu membelenggu mereka.
Masyarakatnya masih sangat percaya dan mengandalkan sihir. Mereka bergantung kepada sihir saat mengalami masalah dan menyalahkannya pada waktu bersamaan. Saat terjadi kekeringan panjang dan bencana kelaparan, mereka menyalahkan Kamkwamba dan kincir anginnya yang berhasil mengalirkan listrik ke beberapa rumah di sekitarnya. Mereka menuduh bahwa kincir angin itulah yang menghembuskan sihir pembawa bencana. Padahal, mereka juga menikmati sumber listrik itu untuk mengecas radio dan ponsel mereka.
Kamkwamba sebenarnya tahu bahwa bencana kekeringan terjadi akibat ulah mereka yang terlalu banyak menebangi pohon untuk keperluan sehari-hari. Pohon-pohon ditebang dijadikan kayu bakar bahkan pohon yang belum sepat besar. Pohon itu padahal sangat berguna untuk menyerap dan menahan air hujan yang sangat berharga. Akibatnya, saat musim hujan terjadi banjir dan saat kemarau terjadi kekeringan panjang. Orang-orang gagal panen dan tak punya uang untuk membeli minyak tanah lalu terpaksa menggunakan kayu bakar dengan menebangi pohon-pohon mereka. Hal ini menjadi siklus dengan dampak buruk yang terakumulasi selama bertahun-tahun sehingga menyebabkan bencana kelaparan yang sangat mengerikan. Siklus ini harus diputus, begitu pikir Kamkwamba.
Saat aku masih kecil, orang-orang di desaku juga menggunakan kayu bakar. Setiap rumah memiliki para untuk menyimpan kayu. Tumpukan kayu menggunung di belakang dan di samping rumah. Mungkin karena laju pertumbuhan pohon di desaku yang lebih cepat sebab curah hujan yang relatif tinggi dan tanahnya yang subur, sehingga meskipun semua orang menggunakan kayu bakar hal itu tak jadi masalah.
Masalah kelaparan di Malawi diperparah dengan kelakuan pemerintah yang malah menjual persediaan jagung ke luar negeri. Di mana-mana hanya ada sedikit sekali jagung untuk dijual sehingga harganya sangat mahal. Orang-orang bahkan menjual bagian-bagian rumah mereka hingga tak tersisa hanya untuk mendapatkan jagung.
Orang yang tak punya apa-apa terpaksa mencari ganyu atau pekerjaan serabutan yang upahnya tak sesuai dengan tenaga yang dikeluarkan. Kamkwamba dan keluarganya masih sedikit beruntung karena dapat makan walau hanya satu kali dalam sehari. Namun, ia membayangkan masa depannya akan terus seperti itu kalau ia jadi petani. Ia tak mau. Tapi, ia tak tahu harus berbuat apa. Ayahnya tak mampu lagi membiayai sekolahnya. Padahal hanya lewat sekolah saja harapannya agar tak menjadi petani seperti ayahnya.
Penggambaran suasana saat terjadinya bencana kelaparan benar-benar bikin merinding. Orang-orang berjalan gontai seperti zombi. Tubuh mereka kurus seperti menyisakan tulang dan kulitnya saja. Mereka berjalan tak tentu arah. Anak-anak berperut buncit dengan tangan dan kaki bagaikan ranting pohon yang telah mati ada di mana-mana. Orang-orang itu berkerumun di dekat tempat penggilingan jagung hanya untuk berebut tepung jagung yang muncrat jatuh ke tanah. Kamkwamba yang terpaksa membunuh anjingnya sendiri lantaran tak kuat melihat penderitaan si anjing akibat kelaparan, menjadi sebuah adegan yang mengaduk-aduk perasaan.
Kamkwamba masih berharap dapat bersekolah setelah melewati masa-masa kelaparan. Semuanya akan kembali normal, begitu pikirnya. Ia yang tak mau tertinggal pelajaran dengan teman-temannya memutuskan untuk belajar sendiri. Ditemani Gilbert, setiap hari ia pergi ke perpustakaan untuk membaca buku. Di sanalah ia menemukan buku berjudul Using Energy yang kemudian menginspirasinya untuk membuat kincir angin yang dapat membangkitkan listrik.
Di Malawi, atau setidaknya di Desa Kasungu anak-anak dan orang tua tahu pentingnya pendidikan. Anak-anak bersemangat sekali bersekolah karena mereka tahu itu akan menentukan masa depan mereka apakah menjadi petani atau tidak. Mereka sudah berkali-kali melihat bahwa menjadi petani di sana sungguh berat. Mereka terang-terangan tak ingin menjadi petani. Namun apa daya, sekolah di sana cukup mahal dan mereka terlalu miskin.
Para pemuda yang enggan menjadi petani berlomba mendapat nilai tinggi di sekolah dasar agar bisa melanjutkan ke sekolah unggulan di sana. Namun, tetap saja banyak yang gagal dan akhirnya tetap menjadi petani jagung. Tak beda jauh dengan Indonesia kukira. Di sini seperti ada kecenderungan bahwa anak muda enggan menjadi petani. Kerja kantoran dianggap lebih bergengsi. Sayang tak diimbangi dengan semangat bersekolah yang tinggi. Enggan menjadi petani, enggan pula bersekolah.
Meski garis cerita dalam novel ini dapat kutebak dengan mudah, namun buku ini punya nilainya sendiri di mataku. Buku ini menyuguhkan pengetahuan yang lumayan banyak tentang kehidupan di bagian wilayah Afrika, seperti kehidupan petani jagung, bentang alamnya, perekonomian, pendidikan, keyakinan tentang sihir, kebusukan pemerintah, bencana kelaparan, penyakit-penyakit endemik, perjuangan seorang anak yang putus sekolah, kemiskinan, sampai pengetahuan tentang listrik dasar.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!