Memilih Medan Juang dan Menjalaninya Tanpa Gentar (Ulasan Buku The Hen Who Dreamed She Could Fly Karya Hwang Sun-Mi)

Ada banyak manfaat yang dapat anak-anak maupun orang dewasa serap dengan membaca fabel. Meski tokoh-tokoh dalam fabel adalah binatang, kisah di dalamnya tetap punya hubungan erat dengan kehidupan manusia.

Fabel dapat merefleksikan kehidupan manusia laiknya sebuah cermin. Membaca fabel membuat kita bercermin dan mempertanyakan hal-hal yang selama ini kita yakini.

Apakah sulit bagi anak-anak? Tidak juga. Ini adalah cermin yang dibutuhkan oleh siapa saja, berapa pun usia mereka.

The Hen Who Dreamed She Could Fly adalah salah satu fabel terbaik yang saya baca tahun ini.

Ada tiga jenis ayam betina dalam fabel ini. Pertama, ayam betina yang menjalani kehidupan sebagai ayam petelur. Mereka hidup dalam kenyamanan dan tak pernah kekurangan makanan. Namun, sepanjang hidupnya, mereka tak pernah kemana-mana. Telur-telur mereka menggelinding setiap hari tanpa pernah mereka erami.

Kedua, ayam betina yang hidup di halaman. Mereka punya kesempatan mengerami telur-telur mereka dan hidup dengan bahagia. Sayangnya, mereka selalu ketakutan seseorang akan menghancurkan kebahagiaan mereka.

Ketiga, ayam petelur yang punya impian mengubah nasibnya menjadi ayam betina yang mengerami telur-telurnya, menyaksikan kelahiran anak-anak ayam, dan membesarkannya dengan penuh cinta.

Satu-satunya yang masuk dalam jenis ketiga adalah Daun. Dialah tokoh utama dalam buku ini.

Daun terus menjaga impiannya hingga suatu hari dia dikeluarkan dari kandang ayam petelur karena tak mampu lagi menghasilkan telur untuk majikannya.

Di luar kandang, dia berhasil mengerami sebutir telur bebek sampai menetas, dan membesarkan anak bebek itu hingga dewasa, yang ia beri nama Jambul Hijau. Meski bukan telur dari jenisnya, Daun sangat bangga dan menyayangi anak bebek itu. Dia bahagia dengan hidupnya.

Dalam pandangan hewan-hewan lain, hidup Daun terlihat sangat menderita. Dia adalah aib bagi kawanan ayam di halaman karena mengerami telur yang bukan dari jenisnya.

Dia diusir dari halaman. Dia kelaparan, kesepian, kedinginan, tak punya rumah yang aman dari musang pemburu, dan terasing dari kawanannya.

Daun dan anaknya, hidup mengembara dari satu tempat ke tempat lain. Mereka tak bisa jauh dari bendungan karena anak Daun merupakan seekor bebek yang gemar sekali berenang.

Hidup mereka selalu terancam oleh para musang yang mengincar mereka. Mereka harus berpindah-pindah sarang setiap hari agar para musang tak dapat menemukan mereka.

Buku ini bukan hanya cerita mengenai seekor ayam betina luar biasa bernama Daun yang membesarkan seekor bebek liar. Lebih dari itu, buku ini merupakan cerita tentang bagaimana seharusnya manusia hidup; tentang cerita yang membuat pembaca akan bertanya-tanya bagaimana cara mereka hidup dan bagaimana cara mereka ingin hidup.

Apa yang ayam betina di dalam kandang pikirkan ketika menjalani hidup mereka? Bagaimana dengan ayam di halaman? Bagaimana dengan Daun yang meninggalkan halaman?

Pikirkanlah kehidupan manusia dengan cara seperti itu. Ada manusia yang hidup seperti ayam betina petelur; mereka melakukan rutinitas yang sama setiap hari meski sebenarnya mereka tak menikmatinya. Mereka tak tahu yang mereka inginkan.

Ada pula manusia yang hidup seperti ayam betina di halaman, dan sedikit manusia yang hidup seperti Daun, yaitu mereka yang berani mengambil resiko untuk mewujudkan impian mereka dan menanggung derita yang mereka pilih demi impian mereka.

Selain itu, fabel ini masih memiliki poin penting lainnya. Yang sangat menonjol dalam fabel ini adalah tentang memangsa dan dimangsa.

Memangsa dan dimangsa ini erat kaitannya dengan kehidupan dan kematian. Kalau dipahami secara dangkal, memangsa dan dimangsa barangkali hanya akan menjadi urusan mengisi perut untuk bertahan hidup atau tentang siapa yang kuat dialah yang bertahan.

Namun, dalam fabel ini segala hal tentang memangsa dan dimangsa tidak digambarkan sesederhana itu. Lihatlah misalnya, kematian Bebek Pengelana yang sengaja mengorbankan dirinya agar musang pemburu tidak memangsa Daun yang sedang mengerami telurnya. Atau Daun yang terpaksa memakan capung bermata besar, padahal dia sama sekali tak ingin memakannya.

Contoh lain, ketika Daun tanpa sengaja menemukan anak-anak musang yang baru lahir. Dia bisa saja menghabisi anak-anak musang itu dengan mudah untuk membalas perbuatan musang pemburu yang selama ini meresahkannya. Namun, dia memilih tidak melakukannya.

Saat Jambul Hijau akhirnya tumbuh dewasa dan mengikuti kawanannya bermigrasi, Daun merasa telah berhasil sebagai seorang ibu. Di satu sisi dia sangat sedih karena berpisah dengan Jambul Hijau, di sisi lain dia bangga karena Jambul Hijau akhirnya dipercaya menjadi penjaga kawanan bebek liar.

Daun lantas mengorbankan dirinya kepada musang pemburu yang saat itu tengah kelaparan karena tak bisa menemukan buruan untuk dirinya dan anak-anaknya yang masih kecil.

Dalam fabel ini, memangsa dan dimangsa, hidup dan mati, pengorbanan dan cinta kasih, penderitaan dan kebahagiaan, semuanya tumpang tindih membentuk cerita yang mengharukan, membuat penasaran, dan menegangkan. Pembaca akan sulit berhenti di tengah jalan.

Daun yang awalnya hanya hidup di kandang sempit para ayam petelur, pindah ke halaman yang agak luas, lalu ke alam liar, dan terakhir ke alam keabadian.

Kalau kita cermati, perubahan tempat tinggal Daun seperti melambangkan kebebasan. Semakin besar perjuangan dan penderitaan yang rela kita tanggung dengan berani, semakin bebaslah kita dari belenggu-belenggu yang membatasi.

Daun yang menamai dirinya sesuka hati, Daun yang rela menanggung penderitaan dengan hidup di tempat berbahaya, Daun yang dengan ketulusan dan cinta kasih membesarkan anak bebek, Daun yang merelakan anaknya pergi dengan kawanannya, dan Daun yang mengorbankan dirinya demi anak-anak musang. Sungguh fabel yang sangat menarik.

Fabel ini bisa dibaca anak-anak maupun orang dewasa. Bagi anak-anak, fabel ini akan membantu mereka mengenal ketulusan, keberanian, kepedulian, dan cinta kasih. Fabel ini hanya bercerita. Tidak ada kecenderungan mendikte nilai-nilai moral itu kepada anak-anak.

Bagi orang dewasa, fabel ini menuntun kita untuk bertanya, apakah kita sudah menjalani kehidupan dengan cukup berani seperti Daun?

Sepertinya kita lebih suka cari aman. Hehe. 



Info Buku:

Judul: The Hen Who Dreamed She Could Fly

Penulis: Hwang Sun-Mi

Penerjemah: Dwita Rizki

Penerbit: Baca

Tahun terbit: November 2020

Tebal: 211 halaman           

ISBN: 978-602-6486-52-3


 

 

Komentar

Postingan Populer