Melihat Sejarah dari Mata Seorang Wanita | Ulasan Buku Shanghai Girls Karya Lisa See

Sumber: koleksi pribadi

Sering kali kami diberi tahu bahwa cerita-cerita mengenai perempuan tidaklah penting. Bagaimanapun, apa pentingnya mengetahui apa yang terjadi dalam ruang utama, di dapur, atau di kamar tidur? Siapa yang peduli tentang hubungan antara ibu, anak perempuan, dan adik perempuan? Hlm. 462

Cerita-cerita perempuan memang kerap dikesampingkan seolah-olah sejarah hanya milik lelaki. Tak hanya cerita, bahkan perempuan itu sendiri kerap dikesampingkan, direndahkan, dan ditiadakan. Bangsa Arab jahiliah misalnya, mereka membunuhi bayi-bayi perempuan yang lahir dengan cara dikubur hidup-hidup. Orang China dahulu hanya mengharapkan bayi laki-laki saja. Kalau yang lahir bayi perempuan tak ada pesta. Bahkan nama yang diberikan asal-asalan saja. Entah sekarang. 

Menarik melihat sejarah kelam dari sudut pandang wanita dalam novel Shanghai Girls karya Lisa See ini. 

Aku beli buku ini di toko buku online. Harganya murah. Tak sampai duapuluh ribu. Tapi, isinya tidak murahan. Kemiskinan, keberanian, ketulusan, diskriminasi, krisis identitas, kasih sayang, tahayul, perang, dan nasionalisme membuat buku ini begitu kompleks. Semua unsur-unsur ini saling terkait satu sama lain, membentuk kepelikkan yang sulit dan rumit. 

Tokoh utama dalam buku ini pasangan kakak beradik bernama Pearl dan May. Mereka gadis Shanghai dari keluarga cukup kaya. Mereka menikmati kehidupan menyenangkan sebagai masyarakat kelas menengah atas. Menikmati makanan enak, hiburan menyenangkan, pakaian modis, adalah kehidupan sehari-hari mereka sebagai seorang model kalender.

Paerl adalah kakak May yang memiliki pemikiran dan pandangan yang kebarat-baratan, ia tak percaya tahayul yang sering didengar dari ibunya. Ia berpendidikan cukup tinggi sebagai seorang wanita pada zamannya. May, juga demikian. Meskipun ia sendiri tak begitu peduli dengan pendidikannya.

Kisah dalam buku ini mengambil latar tahun 1930-an, berdekatan dengan invasi Jepang ke China pada 1939, Perang Dunia II, serta Revolusi Komunisme pada 1949. 

Invasi Jepang ke China, mengubah kehidupan Pearl dan May secara derastis. Mereka tak menyangka kota tempat tinggal mereka akan menjadi medan perang. Ledakan di mana-mana. Asap dan api membakar kota. Penjarahan besar-besaran terjadi di setiap sudut kota. Dari sinilah perjalanan hidup penuh derita kakak beradik Pearl dan May bermula. Meraka mati-matian bertahan hidup dengan segala cara, menjalani pelarian yang panjang dan penuh penderitaan menuju Amerika.

Sebagai roman historis, detail-detail dalam buku ini membuat aku kagum. Dari buku ini aku dapat pengetahuan baru: kepercayaan dan pola pikir orang-orang China, kebudayaan mereka, gaya hidup, pekerjaan, sampai nasionalisme mereka yang amat kuat. Ada satu pekerjaan unik yang sama sekali tak pernah terpikirkan olehku. Orang-orang miskin di Shanghai bekerja sebagai pengumpul kotoran manusia. Setiap pagi mereka akan mendorong gerobak melewati rumah-rumah hanya untuk mengumpulkan kotoran manusia. Satu tingkat di atas para pengumpul kotoran adalah para penarik angkong.

Ketimpangan sosial tergambar sangat jelas di sini. Di satu sisi banyak sekali orang yang teramat miskin sampai tak mampu membeli pakaian layak. Di sisi lain, segelintir orang bermewah-mewah menyimpan bertumpuk pakaian di lemarinya. Mungkin inilah mengapa ide komunisme tumbuh subur di sini. 

Bapak Tua Louie adalah tokoh penting dalam cerita ini. Lewat dirinya, kita bisa belajar bagaimana orang China membangun bisnis keluarga, menjalankannya dengan ulet, dan mempertahankannya dalam situasi terberat sekalipun. Lewat dirinya pula Pearl dan May harus dipaksa melakoni perjodohan yang tak mereka inginkan. 

Ayah mereka terbelit hutang karena judi dan terpaksa menjual kedua putrinya. Perjodohan ini adalah sesuatu yang sangat ingin ditolak oleh Pearl karena tidak sesuai dengan pemikirannya yang kebarat-baratan. Namun, perjodohan ini pula yang akhirnya menyelamatkan mereka dan mengantarkan mereka sampai ke Amerika.

Perjalanan mereka ke Amerika bukan hal yang mudah. Mereka harus melarikan diri dari kejaran tentara Jepang yang sangat bengis. Pearl menyaksikan ibunya diperkosa beramai-ramai oleh tentara Jepang. Ia juga mengalaminya sendiri. Ia menyaksikan ibunya mati di dalam gubuk kecil, gubuk yang seumur hidupnya berusaha ia lupakan namun tak bisa. May yang sedang hamil harus mendorong kakaknya yang sekarat di dalam gerobak berkilo-kilo meter jauhnya.

Di Pulau Angel, pasangan kakak beradik ini harus menghadapi interogasi dari petugas imigrasi yang sangat ketat sebelum diperbolehkan menemui suami mereka yang sudah lebih dulu tinggal di Amerika. 

Di Pulau Angel ada satu fakta sejarah yang unik, yang tak pernah terpikirkan olehku. Ada satu siasat yang dinamakan “anak di atas kertas” untuk mengelabui para petugas imigrasi. Orang-orang yang ingin masuk ke Amerika Serikat berpura-pura sebagai anak dari pasangan China yang telah lama bermukim di Amerika. 

Pasangan China tersebut memang benar-benar ada. Berkas-berkas pernikahan mereka juga ada. Begitu juga dengan akta kelahiran anak mereka yang memang benar-benar ada. Biasanya anak dari pasangan Tionghoa tersebut meninggal dunia sebelum usia dewasa. Namun, tidak pernah ada surat kematian yang diterbitkan untuk anak itu. Dengan kata lain, anak itu masih dianggap hidup. 

Melalui celah ini, orang yang ingin ke Amerika, dengan sepengetahuan pasangan China tersebut, bisa saja dengan segala daya upaya menyesuaikan dirinya dengan akta kelahiran anak dari pasangan China tersebut. Namun, tentu saja ia juga harus membayar mahal kepada pasangan China tersebut, bahkan membayar dengan pengabdian selama bertahun-tahun. 

Orang yang sangat jeli memanfaatkan peluang ini adalah Pak Tua Louie. Kalau aku tak salah hitung, ia bahkan memiliki lima anak di atas kertas, yang salah satunya menjadi suami Pearl. Pak Tua Louie dengan begitu membangun bisnisnya bersama anak-anak di atas kertasnya. Di keluarga ini aku menemukan bahwa penderitaan yang sama dapat mengikat orang-orang dalam satu rasa persaudaraan yang kuat meskipun tidak sedarah. 

Orang-orang China di Amerika punya rindu yang mendalam terhadap kampung halaman. Mereka bekerja keras mengumpulkan uang agar suatu hari bisa pulang sebagai orang kaya. Namun, itu tak mudah. Mereka menghadapi diskriminasi dalam berbagai hal. Mereka bahkan tak bisa membeli rumah kecuali di Pecinan dan tak bisa menyekolahkan anak-anaknya kecuali di Pecinan.

Untuk menulis buku ini pasti dibutuhkan riset yang panjang karena detail-detail fakta sejarahnya begitu lengkap dan terasa begitu nyata. Dan memang seperti itulah adanya.

Lisa See menulis di bagian akhir buku ini: Shanghai Girls adalah sebuah novel sejarah, Bopeng Huang, Christine Sterling, dan Tom Gubbins merupakan tokoh yang benar-benar ada, Namun, Pearl, May, dan karakter lainnya adalah fiksi, sebagaimana halnya alur cerita. Selama sembilan belas tahun terakhir—dan mungkin selama seluruh hidupku—aku begitu beruntung dapat berbicara dengan orang-orang yang pernah tinggal di beberapa tempat dan mengalami beberapa kejadian yang kutulis di Shanghai Girls. 

Sembilan belas tahun tentu bukan waktu yang sebenatar. Pantas saja novel ini begitu berisi. Lisa See mampu menyatukan detail-detail yang rumit dalam satu alur cerita yang mengalir dan memukau ini.

Informasi Buku

Judul: Shanghai Girls; Perjuangan Sepasang Gadis Mencari Kebahagiaan di Tanah Amerika

Diterjemahkan dari: Shanghai Girls

Penulis: Lisa See

Penerjemah: Nadia L. Hasan

Penerbit: Penerbit Literati

Tahun Terbit: 2011

Tebal: viii + 638 hlm.; 13 x 19 cm

ISBN: 978-602-8740-12-8

Informasi Penulis

Lisa See adalah penulis dari lima novel yang banyak meraih pujian dan masuk dalam daftar New York Times bestseller. Buku-bukunya antara lain Peony in Love dan Snow Flower and The Secret Fan, Flower Net (yang masuk nominasi Edgar Award), The Interior, dan Dragon Bones. Ia juga penulis dari memoar yang diakui secara luas On Gold Mountain. Organisasi perempuan Cina Amerika menggelarinya Perempuan Nasional tahun 2001. Ia tinggal di Los Angeles.

Komentar

Postingan Populer