"Siswa hari ini hidup dalam budaya serba
visual dan serba cepat. Tayangan pendek di media sosial, potongan audio
berdurasi satu menit, dan kebiasaan multitasking membuat mereka semakin sulit
untuk benar-benar fokus." -ABR-
Keterampilan Menyimak: Urgensi, Realita, dan Solusi dalam Pembelajaran Bahasa Indonesia
Konon, kemampuan mendengar adalah keterampilan
pertama yang diperoleh manusia secara alami. Bahkan sebelum bayi bisa melihat
dengan jelas atau mengucap satu kata pun, ia sudah bisa menangkap suara. Sayangnya,
kemampuan mendengar yang bersifat biologis itu sering disalahartikan sebagai
kemampuan menyimak—padahal keduanya berbeda jauh.
Menyimak adalah proses mendengar secara aktif,
sadar, dan penuh perhatian. Ia merupakan salah satu keterampilan berbahasa yang
sangat penting. Namun ironisnya, dalam praktik pembelajaran bahasa Indonesia di
sekolah, keterampilan menyimak justru sering menjadi “anak tiri”.
Mengapa menyimak penting? Karena kemampuan ini
bukan hanya melatih telinga untuk menangkap suara, tetapi juga melatih pikiran
untuk memahami, menganalisis, dan mengevaluasi pesan yang disampaikan. Menyimak
mengasah empati, memperkuat daya tangkap, dan menjadi dasar bagi keterampilan
berbicara yang efektif.
Sayangnya, dalam konteks pembelajaran di kelas, menyimak
belum mendapat tempat yang proporsional. Pada banyak kesempatan, guru lebih
sering menguji siswa dengan soal pilihan ganda, uraian, atau tugas
tertulis—yang semuanya lebih condong ke aspek membaca dan menulis. Sementara
menyimak hanya disebut sepintas dalam silabus atau RPP, namun jarang
benar-benar diajarkan dan dilatihkan secara konsisten.
Tentu ini bukan semata kesalahan guru. Mengajarkan
keterampilan menyimak memang tidak mudah. Dibutuhkan persiapan bahan ajar yang
sesuai, perangkat pendukung seperti audio atau video, dan kondisi kelas yang
kondusif. Di sekolah-sekolah dengan keterbatasan fasilitas, menyimak menjadi
pelajaran yang dianggap “merepotkan”. Bahkan, soal-soal menyimak dalam bahasa
Indonesia pun masih sangat terbatas jika dibandingkan dengan bahasa asing
seperti bahasa Inggris.
Masalah tidak berhenti di situ. Siswa hari ini
hidup dalam budaya serba visual dan serba cepat. Tayangan pendek di media
sosial, potongan audio berdurasi satu menit, dan kebiasaan multitasking membuat
mereka semakin sulit untuk benar-benar fokus. Akibatnya, ketika diminta
menyimak berita, dongeng, atau wawancara, banyak siswa justru kehilangan
konsentrasi sebelum teks selesai diputar.
Namun, kita tidak bisa menyerah. Justru karena
dunia kini begitu bising dan penuh distraksi, menyimak perlu menjadi
keterampilan dasar yang ditanamkan sejak dini. Keterampilan ini bukan sekadar
alat untuk memahami pelajaran, tapi juga bekal penting untuk menjadi warga
digital yang cerdas, kritis, dan penuh empati.
Apa yang bisa kita lakukan?
Guru bisa mulai dengan menyelipkan aktivitas
menyimak dalam kegiatan belajar harian—tanpa harus selalu mengandalkan
teknologi tinggi. Misalnya, membaca teks berita secara ekspresif di depan kelas
lalu meminta siswa mencatat informasi penting. Atau memutarkan potongan audio
sederhana dan mendiskusikannya bersama. Bahkan menyimak teman yang sedang
berbicara dalam diskusi kelompok pun bisa menjadi bentuk latihan yang efektif.
Lebih dari itu, menyimak harus dibentuk sebagai budaya. Budaya saling mendengarkan, menghargai pendapat, dan memahami sebelum menanggapi. Jika keterampilan ini tertanam dalam pelajaran bahasa Indonesia, maka mata pelajaran ini tak lagi sekadar soal jenis teks atau struktur kalimat, tetapi menjadi ruang untuk membentuk manusia yang utuh—yang mampu mendengar dan memahami dunia di sekitarnya.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!