Motivasi tidak
selalu hadir dari hal besar, tapi justru tumbuh dari hal-hal sederhana yang
manusiawi: dihargai, diakui, dan dilibatkan.
Misteri di Balik Motivasi: Pelajaran dari Dan Ariely untuk Para Guru
Saat masih seorang mahasiswa, saya
kerap mengikuti seminar-seminar motivasi yang membuat semangat saya melonjak
drastis. Namun, lonjakan itu hanya bertahan sebentar. Dalam hitungan hari,
semangat itu kembali mengendur. Saya bertanya-tanya: apakah memang seperti itu
cara kerja motivasi? Apakah motivasi harus terus disuntikkan dari luar agar
performanya tetap tinggi? Apakah ada sesuatu di dalam atau di luar diri kita
yang bisa menjadi bahan bakar motivasi yang lebih stabil dan tahan lama?
Pertanyaan-pertanyaan itu membuat
saya tertarik pada buku Alasan Kita Rela Menderita karya Dan Ariely. Mungkin,
pikir saya, di dalamnya ada jawaban yang saya cari. Saya membacanya dengan
perlahan, sembari mengaitkan gagasan-gagasannya dengan kehidupan saya sebagai
seorang guru.
Dalam buku ini, Ariely memaparkan
serangkaian eksperimen psikologis yang mengungkap logika tersembunyi di balik
motivasi manusia. Ia tidak menawarkan rumus pasti, tetapi membantu pembaca
memahami bagaimana motivasi bekerja agar bisa digunakan dalam mengambil
keputusan penting dalam hidup.
Motivasi, kata Ariely, bukan sesuatu
yang bisa dirumuskan seperti rumus kecepatan cahaya atau gravitasi bumi. Ia
juga tidak sesederhana sistem imbalan dan hukuman yang selama ini banyak
digunakan guru untuk memotivasi murid. Jika kita mencoba merumuskan motivasi,
hasilnya mungkin seperti ini: motivasi = uang + pencapaian + kebahagiaan +
tujuan + pasangan + cinta + kebanggaan + jaminan pensiun + hal-hal tak
terbilang lainnya. Motivasi bisa muncul dari hal-hal yang sangat sepele hingga
yang sangat kompleks.
Salah satu dorongan umum dari
motivasi adalah keinginan untuk menaklukkan rasa tidak berdaya dan memiliki
kendali atas hidup. Motivasi ini sering kali bersifat subliminal, tak kita
sadari, dan berada di bawah lapisan motivasi-motivasi besar seperti uang atau
jabatan.
Yang juga menarik, Ariely membahas
bagaimana kesadaran akan kematian bisa menjadi akar motivasi. Saya sering
menemukan gagasan ini dalam buku-buku agama maupun motivasi sekuler. Dalam buku
ini, Ariely menunjukkan bahwa meskipun kita sadar akan kematian, alam bawah
sadar kita tidak ingin kita mati begitu saja dan terlupakan. Kita ingin
meninggalkan jejak—dalam bentuk nama, karya, pencapaian, atau warisan. Karena
itu, manusia berlomba-lomba mencatatkan nama di buku rekor, menamai gedung,
sekolah, atau yayasan dengan nama mereka, demi dikenang lebih lama.
Ariely juga menyoroti betapa
pentingnya pengakuan dari orang lain. Dalam salah satu eksperimennya, dua
kelompok diminta merakit bionik dan diberi bayaran per unit. Kelompok pertama
melihat hasil rakitan mereka dibiarkan berdiri, sementara kelompok kedua
melihat hasil rakitan mereka langsung dibongkar di depan mata. Hasilnya:
kelompok pertama merakit lebih banyak bionik karena merasa hasil kerja mereka
dihargai. Padahal, insentif uang yang diterima kedua kelompok sama besar.
Eksperimen ini menunjukkan bahwa uang bukan satu-satunya (atau bahkan yang
terpenting) dalam memotivasi seseorang.
Penghargaan terhadap hasil kerja
siswa, misalnya dengan memberi nilai atau komentar tulus, juga bisa menjadi
bentuk motivasi yang kuat. Sayangnya, saya masih sering melihat tumpukan karya
siswa yang tak tersentuh penilaian. Padahal, perhatian kecil dari guru bisa
memberi dampak besar bagi semangat belajar siswa.
Selain penghargaan, Ariely juga
menekankan pentingnya identitas. Manusia cenderung lebih mencintai sesuatu jika
mereka merasa terlibat langsung di dalamnya. Semakin besar keterlibatan
seseorang dalam suatu hal, semakin kuat rasa identitas dan motivasinya. Dalam
konteks pendidikan, ini berarti melibatkan siswa dalam proses pembelajaran.
Kita bisa mulai dengan bertanya, “Apa yang ingin kalian pelajari minggu depan?”
atau memberi pilihan cara belajar yang mereka sukai. Bahkan menyusun peraturan
kelas secara bersama-sama dapat meningkatkan rasa kepemilikan dan motivasi
mereka.
Saya merekomendasikan buku ini untuk para guru yang ingin memperkaya sudut pandang mereka tentang motivasi. Buku ini bukan hanya menyajikan teori, tetapi juga mengajak kita merefleksikan praktik sehari-hari di ruang kelas. Sebuah bacaan yang membangkitkan kesadaran, bahwa motivasi tidak selalu hadir dari hal besar, tapi justru tumbuh dari hal-hal sederhana yang manusiawi: dihargai, diakui, dan dilibatkan.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!