Dari Goa hingga Gawai: Jejak Ramadan dalam Esai-esai Penghangat Hati
Ramadan
telah lama berlalu. Namun, berkah itu kembali menghampiriku, kali ini dalam
bentuk ilmu. Aku dapat hadiah dari islamsantun.org berupa kumpulan esai-esai moderasi
beragama yang terkumpul dalam sebuah buku. Bagiku, buku adalah berkah, sebab ia
mengalirkan ilmu bagi siapa saja yang bersedia membuka dan meneguknya dengan
khusyuk.
Buku
yang kuterima berjudul Pijar Ramadan, memuat esai-esai moderasi beragama
yang ditulis oleh dosen, pengajar, mahasiswa, dan alumni madrasah aliyah. Menarik
sekali menyimak pemikiran mereka dalam buku ini.
Esai-esai
yang terdapat dalam buku ini dikelompokkan dalam tiga bagian berdasarkan tema
tertentu, yaitu: 1) Ramadan, Rantau, dan Religiositas, 2) Ramadan, Gaya Hidup,
dan Spiritualitas, dan 3) Ramadan, Perempuan, dan Ekologi. Bagian pertama
menjadi bagian yang paling banyak memuat esai, yaitu 20 esai. Bagian kedua enam
esai. Sedangkan bagian ketiga delapan esai.
Tentu saja, aku tak akan membahas semua esainya di sini. Hanya beberapa esai saja yang akan aku bahas, yang menurutku paling menarik. Pertama, ada esai berjudul Moderasi Kebenaran di Suatu Rapat RT. Esai ini menarik karena bahasanya sederhana, tapi menyampaikan pesan yang teramat penting: kebenaran tidaklah tunggal. Manusia kerap berkonflik dengan sesamanya karena menganggap kebenaran yang ada padanya adalah satu-satunya kebenaran. Padahal, tidak selalu demikian. Kebenaran versi orang lain mungkin berbeda, namun tetap sah dalam sudut pandangnya.
Dalam esai ini diceritakan warga yang sedang bermusyawarah tentang rencana menegur atau bahkan melabrak salah seorang warga, sebut saja Pak B, karena menjadikan area bermain anak-anak komplek sebagai halaman rumahnya. Area yang seharusnya digunakan oleh anak-anak untuk bermain malah penuh dengan barang-barang bekas milik Pak B. Sekilas nampak jelas sudah bahwa Pak B bersalah. Namun, pada akhirnya warga sadar bahwa Pak B melakukan hal itu bukan tanpa alasan. Ia memiliki alasan yang masuk akal dan dapat dipahami oleh warga. Pada akhirnya dicarilah solusi bersama yang bisa memuaskan semua pihak. Tanpa kesadaran untuk saling mendengarkan dan memahami, kita akan mudah terjebak pada kesombongan menganggap bahwa kitalah yang paling benar.
Tak
hanya soal kebenaran, dalam esai lainnya berjudul Bagaimana Al-Qur’an
Memperkenalkan Dirinya dan Kita Sayang Padanya? membuatku paham bahwa tak apa
jika kita baru mampu membaca Al-Quran tanpa mampu menyibak maknanya. Al-Quran
bisa didekati dengan berbagai keperluan. Ia adalah penyembuh, maka kita
membacanya demi kesembuhan. Ia menenangkan, maka kita membacanya saat sedang
galau. Ia petunjuk, maka kita membacanya untuk menemukan arah.
Di
desaku banyak orang mampu membaca Al-Quran tanpa tahu artinya. Dulu aku sempat
berpikir bahwa membaca tanpa paham makna adalah hal yang sia-sia. Namun esai
ini menyadarkanku bahwa cinta terhadap Al-Qur'an bisa tumbuh bahkan sebelum
pemahaman hadir. Melalui esai ini aku paham bahwa berkah
Al-Quran begitu luasnya hingga seorang yang tak tahu artinya sekalipun tetap
dapat mencintainya.
Jika
sebelumnya kita diajak menyelami makna Al-Qur'an, esai lain mengajak kita
merenungkan tentang digitalisasi Al-Quran. Esai berjudul Menyoal Kesakralan
Al-Qur’an Digital Era Modern membahas kesakralan Al-Qur’an digital yang
saat ini sudah sangat marak ada di hampir semua ponsel pintar umat muslim.
Esai-esai
lain di bagian pertama banyak menyoal kehidupan para perantau yang terpaksa
harus menghabiskan Ramadan jauh dari kampung halaman. Kerinduan akan kampung
halaman, perasaan sendiri yang menyulut sepi, hingga keharuan saat akhirnya
bisa mudik dan bertemu dengan sanak keluarga menjelma dalam baris-baris esai
yang menyentuh hati.
Satu
esai terbaik menurutku berjudul Ramadan: Resolusi Spiritual Zaman Edan. Dalam
esai ini, Ramadan dianalogikan seperti sebuah goa yang dahulu dipakai Nabi
Muhammad untuk menyendiri, mengambil jarak dengan masyarakat jahiliahnya, dan
menerima wahyu ilahi. Kita tak perlu lagi mencari goa-goa yang seperti itu.
Ramadan adalah goa yang disediakan untuk kita menepi sejenak dari hiruk-pikuknya
dunia, mengambil jarak agar kita bisa melihat lagi dengan jelas tanpa tertutupi
hawa nafsu, dan kemudian kita keluar dengan kesiapan menghadapi dunia sebagai sarana
mencapai akhirat.
Dalam
bagian kedua buku ini, ada esai yang sepertinya paling berbeda dari yang lain
berjudul Islam di Jepang: Ekspedisi Kapal Ertugrul dan Titian Muhibah Utsmani-Meiji.
Di esai-esai lain membahas Ramadan di Indonesia, esai ini membahas sejarah
pertalian dunia Islam tempo dulu dengan Jepang. Esai ini menceritakan kisah
pelayaran kapal besar Islam ke Jepang untuk menjalin hubungan diplomatik dan
bagaimana akhirnya kapal ini karam karena badai. Orang-orang jepang tidak
melaut selama tiga tahun demi menghormati tenggelamnya kapal ini dan mereka
bahkan membuat monumennya sebagai tanda persahabatan.
Dalam
esai Zikir dan Dunia yang Ugal-Ugalan kita dibuat sadar bahwa saat ini
kita ada dalam zaman yang penuh ketidakpastian dan mungkin selamanya juga seperti
itu. Di era yang penuh dengan ketidakpastian ini, jarak antara kebahagiaan dan
kesedihan bisa jadi hanya hitungan detik. Saat ini kita bisa tertawa tergelak
dan detik berikutnya kita bisa menangis sesenggukan. Ini semakin relevan di
tengah ancaman perang dunia ke-3 yang digadang-gadang akan pecah sebentar lagi.
Esai
terakhir yang akan saya bahas berjudul Menggapai Berkah Ramadan dengan
Membangun Kesalingan Suami Istri. Esai ini menamparku sebagai seorang
suami. Saat bulan Ramadan tiba kita sering sangat berbahagia karena bulan ini
penuh berkah. Namun, tanpa kita sadari seringkali ada sosok yang terlupakan. Mereka
adalah sosok yang dalam masyarakat kita seringkali kali dianggap yang punya
kewajiban menyiapkan makanan untuk sahur dan berbuka. Beban kerjanya bertambah
berkali-kali lipat saat bulan Ramadan. Mereka adalah para perempuan. Mereka
adalah para ibu dan para istri. Mereka kerap menjadi orang dengan tugas paling
berat saat Ramadan tiba, apalagi di tengah masyarakat yang masih sangat
patriarkis. Esai ini mengingatkan kita bahwa tugas-tugas domestik semestinya bisa
dikerjakan bersama-sama tanpa harus memandang istri atau suami, apalagi jika keduanya
sama-sama bekerja di luar rumah.
Itu
saja esai yang kubahas secara singkat dalam ulasan ini. Masih banyak esai-esai
lain di dalam buku Pijar Ramadan ini yang juga sangat layak untuk dibaca.
Semuanya menawarkan potret laku moderat masyarakat Indonesia dalam beragama,
khususnya di bulan Ramadan. Esai-esainya sederhana, namun kehangatannya menelusup
ke hati, seperti pelukan anak kecil yang menanti pulangnya orang tua di depan
pintu.
Membaca Pijar Ramadan bukan sekadar menapaki lembar demi lembar tulisan, melainkan ziarah batin yang mengajak kita menunduk sejenak, merenungi bagaimana menjadi beragama dengan hati yang lapang. Esai-esainya mungkin tak bersuara lantang, namun bisikannya lembut menyentuh sisi terdalam nurani. Buku ini layak menjadi teman ngaji diri—khususnya saat Ramadan, tetapi juga sepanjang hidup.
Informasi Buku:
Judul: Pijar Ramadan: Esai-Esai Moderasi Beragama
Penulis: Ahmad Zainul Hamdi, Abd. Halim, Abraham Zakky Zulhazmi, dkk.
Cetakan pertama, 2023
Isi: 14 x 20 cm. x + 158 hlm
QRCBN: 62-1470-2252-364
Penerbit: islamsantun.org
Ulasan buku Pijar Ramadan: Esai-Esai Moderasi Beragama
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!