Penjara adalah lingkungan yang sangat asing buat saya.
Tak pernah sekalipun saya masuk ke dalamnya. Pengetahuan tentang penjara hanya
saya dapat dari film-film yang pernah saya tonton. Namun, pengetahuan dari film
sering kali dangkal dan terdistorsi. Itulah sebabnya buku yang mengisahkan
kehidupan di penjara berjudul Rumah Mati di Siberia ini sangat menarik
hati saya.
Buku ini penuh tragedi, kerasnya hidup di penjara,
kesedihan, dan keputusasaan. Inilah kisah tentang neraka dunia. Namun, dalam
neraka dunia ini pula kita bisa menemukan bagaimana harapan mendorong manusia
untuk tetap hidup meski harus melalui hari-hari yang keras di bawah hilangnya
kemerdekaan diri. Neraka dunia inilah yang justru mengungkap sisi-sisi
kemanusiaan yang sering kali tersembunyi di balik topeng. Inilah potret
kemanusiaan yang sangat menyentuh, lengkap, dan dalam.
Buku ini mengisahkan seorang bangsawan bernama Alexander
Petrowitsj yang masuk penjara bukan karena kesalahannya. Sebenarnya, Petrowitsj
tidak begitu banyak dikisahkan. Ia lebih sering menjadi narator yang
menceritakan kisah orang-orang yang tinggal bersamanya di dalam penjara. Buku ini
semacam hasil pengamatannya terhadap orang-orang yang dibuang ke dalam penjara.
Namun, lewat cerita-cerita yang disampaikannya, kita juga bisa mengetahui
pemikiran dan karakter Petrowitsj.
Karena Petrowitsj menjadi naratornya, mari kita bahas dia
terlebih dahulu. Hukuman penjara Petrowitsj sebenarnya tak begitu lama jika
dibandingkan dengan narapidana lain. Ia dihukum empat tahun penjara, sementara
banyak narapidana lain dipenjara hingga sepuluh, dua puluh, bahkan seumur
hidup.
Yang menarik dari karakter Petrowitsj adalah
perubahannya. Semula ia begitu menderita ketika pertama kali masuk penjara.
Maklum, ia seorang bangsawan. Ia diseret dari kehidupan mewah yang menyenangkan
masuk dalam kerja paksa di penjara yang sangat melelahkan. Lama-kelamaan, kerja
paksa yang melelahkan ini dapat diterimanya dan terkadang ia senang pula
melakukannya.
Yang paling membuat Petrowitsj menderita bukanlah kerja
paksa, melainkan statusnya sebagai seorang bangsawan. Ia tak diterima di
lingkungan barunya yang sebagian besar dihuni rakyat jelata dan para penyamun,
hanya karena ia seorang bangsawan. Ia dikucilkan. Perasaan tak diterima inilah
yang justru paling menyiksanya sepanjang empat tahun di penjara.
Saat pertama kali masuk penjara, Petrowitsj memang tak
berencana bergaul dengan orang-orang di penjara. Sebagai seorang bangsawan,
sungguh tak tertahankan jika harus bergaul dengan rakyat jelata yang sekaligus
adalah para bajingan. Namun, kesepian dan rasa ingin diterima orang lain telah
mengubahnya. Ia sampai pernah membenci statusnya sebagai seorang bangsawan dan
berharap orang-orang di penjara menganggapnya rakyat jelata. Ia mulai memandang
manusia sebagai manusia, bukan dengan kasta atau status tertentu. Dari sinilah,
ia kemudian mulai mengamati dan mendalami karakter orang-orang di penjara tanpa
peduli seperti apa statusnya. Pendeknya, ia mengamati manusia dengan segala
kompleksitasnya.
Lewat pengamatannya inilah kita bisa menemukan
karakter-karakter unik manusia. Ada seorang bangsawan yang tak peduli di mana
ia tinggal, ada seorang penipu yang tetap menipu meskipun ia di dalam penjara,
ada seorang yang bermental pelayan yang hidupnya sepenuhnya mencari tuan untuk
ia layani, ada pemuda yang sangat tegar, ada seorang tua yang sangat saleh, ada
yang dihukum seumur hidup namun tetap mengangan-angankan kebebasan, ada seorang
penjilat, ada seorang yang berketetapan hati, ada petani yang difitnah, dan
masih banyak lagi. Satu yang menjadi penyama mereka adalah kerinduan terhadap
kemerdekaan.
Lewat pengamatannya, Petrowitsj menyimpulkan bahwa
kemampuan manusia yang sangat spesial adalah kemampuan mereka untuk
beradaptasi. Ia menyadari hal ini saat mengenang masa-masa yang ia lalui di
penjara selama empat tahun. Di tahun pertama penderitaannya begitu tak
tertahankan sehingga ia menyangka tak akan sanggup menjalaninya lebih dari itu.
Namun, ternyata di tahun-tahun berikutnya semuanya terasa biasa-biasa saja.
Yang diceritakannya dalam buku ini bahkan hanya tahun-tahun pertamanya di
penjara dan beberapa momen menjelang kebebasannya. Sementara itu, tahun-tahun
keduanya bahkan mendekati kebebasannya ia anggap sebagai hari-hari biasa yang
sepenuhnya telah membuatnya beradaptasi.
Lewat penggambaran dan penceritaan tokoh-tokoh dalam buku
ini, yang tentunya banyak diisi para narapidana, kita bisa membayangkan seperti
apa kehidupan di dalam penjara. Penjara adalah dunia yang berbeda dari dunia
luar secara umum. Apa yang dianggap tak layak dan tak bernilai di dunia luar
ternyata sangat layak dan bernilai tinggi di dalam penjara. Misalnya, sobekan
kain dapat dijual dan pasti ada saja yang mau membelinya.
Penjara tak melulu berisi orang-orang yang suram,
bajingan, atau penyamun. Di dalamnya juga ada orang-orang baik yang masuk
penjara karena terfitnah, cendekiawan, tahanan politik, bahkan seniman. Itulah mengapa
penjara tak melulu suram. Ada juga keceriaan di sana dan perjuangan. Kita dapat
menemukan kebaikan bahkan di tempat berkumpulnya orang-orang jahat sekalipun.
Orang-orang di sana juga memiliki pekerjaan yang
terkadang membuat mereka mendapatkan uang. Ada yang menjadi koki penjara. Ada
yang menjadi tukang cukur. Ada yang menyelundupkan anggur. Para penjaga penjara
membiarkan mereka karena beranggapan bahwa para narapidana memang seharusnya
demikian agar mereka tidak stres dan kehilangan harapan. Sesekali, mereka
bahkan dibiarkan berdebat, saling mencaci, hingga akhirnya berkelahi. Semua itu
semata-mata agar emosi-emosi negatif tidak menumpuk dalam jiwa mereka yang
suatu saat mungkin bisa meledak dengan hebatnya.
Tentu saja ada cerita tentang orang-orang yang mencoba
melarikan diri, atau yang oleh para narapidana disebut sebagai orang-orang yang
ingin "mengubah nasib" mereka. Dari cerita tentang upaya melarikan
diri, saya menangkap pesan bahwa manusia bisa terhubung satu dengan yang
lainnya meskipun mereka sangat berbeda latar belakang dan sifat-sifatnya. Saat
ada seorang narapidana yang mencoba melarikan diri, hampir seluruh narapidana
berharap orang itu berhasil kabur dan tak terkejar sehingga ia bisa meraih
kebebasannya.
Para narapidana ini akan sibuk berdebat tentang bagaimana
orang yang sedang "mengubah nasib" melakukan pelariannya, jalur mana
yang akan ditempuh, di mana akan bersembunyi, bagaimana akan mendapatkan makan,
dan sebagainya seolah-olah mereka sendirilah yang sedang "mengubah
nasib" di luar sana. Mereka akan sangat bahagia jika orang yang sedang
"mengubah nasib" itu berhasil melarikan diri dan sangat kecewa jika
orang itu gagal. Para "pengubah nasib" yang gagal akan kehilangan
kehormatannya di penjara karena telah dianggap gagal menjadi wakil para
narapidana. Di sini kita bisa melihat bagaimana latar belakang dan
karakteristik orang yang berbeda-beda dapat saling terhubung satu dengan
lainnya karena persamaan nasib dan harapan.
Rumah Mati di Siberia tak hanya menceritakan
para narapidana. Buku ini juga menceritakan orang-orang yang bekerja di sana
antara lain serdadu kawal, komandan, opsir, koki, sersan mayor, hingga Tuan
Mayor. Lewat penggambaran tokoh-tokoh ini kita bisa melihat bagaimana kekuasaan
kerap membuat orang lupa diri hingga membuat mereka menjelma seperti iblis atau
bahkan menganggap diri sendiri adalah wakil Tuhan di muka bumi. Yang paling
parah adalah menganggap diri sendiri sebagai Tuhan seperti yang dilakukan Tuan
Mayor.
Selain menceritakan kehidupan dalam penjara, buku Rumah
Mati di Siberia ini juga menceritakan sekilas tentang orang-orang yang
hidup di luar penjara, tepatnya masyarakat di desa-desa Siberia yang dekat
dengan penjara itu. Kita bisa melihat bagaimana pandangan mereka terhadap para
narapidana. Alih-alih membenci atau jijik karena para narapidana biasanya
adalah seorang bajingan, mereka malah merasa kasihan kepada para narapidana.
Mereka menjuluki para narapidana dengan sebutan "orang-orang yang
malang" dan sering kali memberi sedekah kepada para narapidana saat sedang
melaksanakan kerja paksa di luar penjara. Mereka bahkan kerap mengirimkan
sedekahnya langsung ke dalam penjara. Di masyarakat Indonesia, orang yang baru
keluar penjara mungkin akan kesulitan mendapat tempat di tengah masyarakat.
Berbeda dengan cerita dalam buku ini. Masyarakat di desa-desa Siberia yang
dekat dengan penjara ini menerima dengan baik para narapidana yang dibebaskan,
bahkan banyak dari mereka yang diterima menjadi guru, salah satunya adalah si
narator cerita, Alexander Petrowitsj.
Rumah Mati di Siberia sangat layak menjadi bahan
bacaan yang akan mempertebal dan memperkuat rasa kemanusiaan kita.
Karakter-karakter di dalamnya dapat membuat kita sadar bahwa manusia adalah
makhluk yang sangat kompleks. Tidak ada yang sepenuhnya hitam dan tidak ada
yang sepenuhnya putih. Manusia tetap memiliki dua sisi jiwa yang saling
bertentangan, yaitu jiwa iblis yang kerap menyeret manusia ke dalam kekejian
dan jiwa malaikat yang menuntun manusia ke dalam kebajikan. Dua jiwa ini tidak
dapat sepenuhnya dipisahkan dan itulah yang membuat manusia-manusia di dalam
penjara Siberia yang dikisahkan dalam buku ini begitu menarik.
Rumah Mati di Siberia menunjukkan bahwa
dinding-dinding penjara tak hanya membatasi gerak tubuh, tetapi juga
memantulkan bayangan terdalam jiwa manusia. Di balik jeruji dan kerja paksa,
manusia diuji bukan hanya oleh penderitaan, tetapi juga oleh dirinya sendiri:
harga diri, harapan, kebencian, kasih sayang, hingga kemampuan untuk berubah.
Justru ketika kemerdekaan direnggut, manusia mulai benar-benar melihat siapa
dirinya. Penjara menjadi cermin—tempat di mana seseorang bisa mengenali
kemanusiaannya dengan lebih jujur dan utuh.
-------------------
Ulasan sastra Rusia lainnya:
Anak Rakus Bernama Kekuasaan: Catatan dari Cerita Maxim Gorky
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!