Praktik Buruk Akreditasi, Kalau Begini Terus Kapan Pendidikan Kita Akan Maju!

Suatu hari dalam kehidupanku sebagai seorang guru, aku pulang malam dalam keadaan lesu. Tulang-tulangku ngilu. Aku dan rekan kerjaku mau tak mau pulang malam, sebab pekerjaan yang harusnya kami cicil mulai dari lima tahun lalu, kami borong dalam satu waktu. RPP, prota, promes, silabus, daftar nilai, dan semua hal tentang administrasi penyelenggaraan pembelajaran tiba-tiba harus ada selengkap-lengkapnya. 

Tak hanya itu, kami juga harus mempersiapkan segala macam laporan: laporan keuangan, laporan kegiatan, laporan pembimbingan, laporan kerja sama, laporan ....

Sekolahku, maksudku, sekolah tempatku bekerja akan diakreditasi. Ini kali pertama buatku mempersiapkan sekolah untuk diakreditasi. Aku dan rekan kerjaku seketika berubah menjadi seorang pesulap yang harus mengubah sekolah kami dalam waktu singkat dengan tujuan mendapatkan nilai yang bagus.

Aku akan menceritakan pengalamanku sejujur-jujurnya. Jika kamu seorang guru, kuharap kamu juga mau menceritakan pengalamanmu menghadapi akreditasi. Aku akan menceritakan pengalamanku dalam bentuk daftar praktik buruk yang terjadi sebelum, selama, dan sesudah pelaksanaan akreditasi.

Praktik Buruk Sebelum Pelaksanaan Akreditasi

Sebelum pelaksanaan akreditasi tentu kami mempersiapkan segalanya, mulai dari administrasi, sarpras, bukti-bukti kinerja, dan sebagainya. Semua itu tak lepas dari beberapa praktik buruk berikut ini.

Pertama, lembur sampai malam. Dalam konteks akreditasi, sekolah yang lembur sampai malam berarti menandakan kalau sekolah tersebut tidak siap dengan banyak hal sehingga perlu menyelesaikannya dengan tambahan waktu yang tak sedikit. 

Ada banyak hal yang dipaksakan untuk ada saat pelaksanaan akreditasi, yang dalam kenyataannya dan dalam keseharian sebenarnya tidak ada. Jika asesor tidak jeli, hal ini bisa memengaruhi validitas penilaian sekolah tersebut. Akhirnya, data yang diperoleh hanya fakta-fakta hari itu saja. Ini tentu saja tidak merekam sekolah tersebut selama lima tahun sebelumnya.

Selama dua minggu berturut-turut, kami lembur untuk mencoba mengadakan apa yang sebelumnya tidak ada. Kadang kami lembur hingga menjelang maghrib, kadang hingga tengah malam.

Dari sini aku sadar betul bahwa sekolah kami punya banyak sekali kekurangan. Tapi, alih-alih membuang kekurangan itu dengan membuat perbaikan berkelanjutan, kami malah menutupinya dengan kerja sesaat.

Kedua, memulangkan siswa lebih awal dari biasanya. Dua minggu sebelum akreditasi, kami memulangkan siswa lebih awal dari biasanya. Ini dilakukan untuk menambah waktu guna mengerjakan segala macam administrasi yang perlu kami lengkapi.

Aktivitas seperti mengaji dan solat dzuhur berjamaah di sekolah terpaksa harus dihentikan dulu. Ada juga beberapa orang tua yang protes karena anaknya jadi lebih sering main hp di rumah. Ia lebih suka jika anaknya pulang seperti biasa, yaitu pukul 14.00 untuk mengurangi waktu main hp.

"Kalau pulang jam dua, anak saya biasanya tidur siang sampai waktunya mengaji di surau, kalau pulang cepat malah yang ada main hp saja," begitu kata salah seorang wali murid yang tidak puas.

Ketiga, pola pikir di bawah tekanan. Yang saya maksud dengan pola pikir di bawah tekanan adalah ketakutan para guru, komite, kepala sekolah, hingga pengawas akan nilai akreditasi yang menurun.

Sekolah kami sudah terakreditasi A, kami takut kalau kali ini malah turun jadi B atau C. Ketakutan ini membuat kami melakukan banyak hal yang sebenarnya tak perlu. Kami tidak mau dinilai apa adanya. Padahal idealnya akreditasi itu apa adanya. Itu menurut saya.

Keempat, menyuruh siswa untuk berbohong. Dalam instrumen akreditasi teknik penilaian yang digunakan tak hanya telaah dokumen saja, melainkan ada observasi dan wawancara. Pihak-pihak yang diwawancara antara lain guru, siswa, wali murid, dan anggota komite.

Ketakutan yang telah saya bahas sebelumnya membuat para guru menyuruh siswa untuk memberikan jawaban yang berbeda dari apa yang sebenarnya terjadi di sekolah kami.

Misalnya jika siswa ditanya tentang kegiatan ekstrakurikuler, guru menyuruh siswa untuk menjawab bahwa di sekolah kami ada kegiatan ekstrakurikuler. Yang sebenarnya adalah tidak ada kegiatan ekstrakurikuler. Yang ada hanya latihan-latihan untuk persiapan lomba saja.

Satu-satunya ekstrakurikuler yang berjalan adalah mengaji Yanbua. Itupun jika bisa dianggap ekstrakurikuler. Bahkan untuk ektrakurikuler yang diwajibkan saja seperti pramuka, kami tidak melaksanakannya. Kami hanya berlatih untuk pelaksanaan pesta siaga saja. Namun demikian, siswa diminta untuk memberi keterangan bahwa di sekolah kami kegiatan ekstrakurikuler itu sangat beragam dan dijalankan dengan jadwal yang rutin sesuai program. Ini tentu sangat disayangkan karena guru harusnya mengajari siswa untuk berkata jujur apa adanya.

Apakah kebohongan seperti ini adalah kebohongan yang diperbolehkan? Bukankah jawabannya sudah jelas? Tidak.

Kelima, sarpras sesaat. Sekolah kami adalah sekolah pinggiran dengan fasilitas seadanya. Namun, saat kami mendapatkan informasi bahwa sekolah kami akan diakreditasi, kami berusaha sebisa mungkin untuk "mengadakan" sarana dan prasarana dengan berbagai cara, salah satunya adalah dengan meminjam.

Apakah ini buruk? Ya! Ini buruk karena setelah akreditasi selesai kami harus mengembalikan berbagai sarana tersebut dan sekolah kami kembali sebagaimana adanya. Bagiku ini hanya buang-buang waktu dan tenaga saja.

Lagi pula, bukankah data yang dikirimkan ke pusat menjadi tidak akurat. Jika banyak sekolah melakukan hal yang sama, pemerintah mungkin saja akan menganggap bahwa mereka telah berhasil menyediakan sarana dan prasarana yang merata kepada seluruh sekolah di Indonesia. Padahal nyatannya tidak seperti itu, bukan?

Praktik Buruk Selama Pelaksanaan Akreditasi

Praktik buruk tak hanya terjadi sebelum pelaksanaan akreditasi, pelaksanaan akreditasi pun tak lepas dari praktik buruk. Beberapa yang menurut saya termasuk praktik buruk, yaitu:

Pertama, asesor yang menerima gratifikasi. Saya bertanya-tanya, apakah menginap di hotel merupakan fasilitas asesor yang harus kami sediakan? Apakah memberikan oleh-oleh yang begitu banyak adalah sebuah kewajiban bagi sekolah kami? Apa saja yang boleh dan tak boleh diterima oleh asesor? Belum lagi kami juga mengeluarkan uang saku yang tak sedikit untuk asesor. Apakah itu diperbolehkan? Bukankah mereka sudah menerima gaji dari pekerjaannya? Mengapa mereka tidak menolak pemberian dari kami?

Berbagai pertanyaan berkutat di kepalaku. Namun, pertanyaan tinggal menjadi pertanyaan saja. Akreditasi baru selesai, berbagai agenda susul menyusul bersiap menguras pemikiran dan tenaga kami lagi.

Jika menerima pemberian berlebihan seperti yang kumaksud adalah sebuah larangan, bukankah mereka telah menghancurkan kredibilitas mereka sendiri? Tapi, peduli setan. Selama tak ada yang tahu mengapa tidak!

Hal ini juga tentu saja tak sepenuhnya salah mereka. Kami yang takut mendapatkan nilai jelek juga turut andil dalam hal ini. Kami ingin nilai bagus tapi tidak mau berkaca dan berupaya dengan jujur. Ya, beginilah busuknya pendidikan kita. Aku bilang kita karena aku yakin banyak sekolah yang melakukan praktik yang sama dengan sekolahku ini.

Kedua, kurangnya kemampuan untuk introspeksi diri. Saat proses akreditasi dilakukan, asesor menemukan banyak kekurangan dalam pengelolaan pendidikan di sekolahku.

Kami dikritik dari berbagai aspek. Bukannya introspeksi diri, yang terjadi justru saling menyalahkan dan berusaha mencari kesalahan orang lain. Akibatnya, bukan solusi yang kami temukan melainkan saling membicarakan kesalahan orang lain.

Waktu kami habis untuk saling menyalahkan dan untuk membela diri sendiri Sebenarnya ada program tahunan untuk mengevaluasi kinerja sekolah yang biasa disebut evaluasi diri sekolah/madrasah. Penekanan dari program itu sebenarnya adalah penilaian kinerja dan pelayanan madrasah untuk memperbaiki kualitas madrasah. Namun, program tersebut tampaknya hanyalah sekadar formalitas belaka. Buktinya program itu hanya mewujud dalam administrasi untuk pelengkap berkas-berkas kepala sekolah saja.

Kami tidak pernah betul-betul membahas masalah-masalah di madrasah apalagi sampai membuat program untuk mengatasi masalah-masalah itu. Selama ini yang terjadi terjadilah.

Ketiga, buruknya kualitas kepala sekolah. Ya, aku tidak bercanda! Kualitas kepala sekolah di sekolahku benar-benar buruk. Beliau tidak bisa menjawab pertanyaan sederhana dari asesor seperti berapa jumlah siswa di sekolahnya, berapa jumlah guru yang mengajar, apa visi dan misi sekolah, dan masih banyak lagi.

Bukankah itu adalah informasi dasar yang wajib diketahui oleh seorang kepala sekolah? Kepala sekolah mengambil keputusan berdasarkan informasi yang dia miliki. Bagaimana seorang kepala sekolah bisa menghasilkan keputusan yang berkualitas jika informasi dasar seperti itu saja dia tidak tahu?

Praktik Buruk Setelah Pelaksanaan Akreditasi

Dari semua praktik buruk yang sudah kubahas, berikut ini adalah yang bagiku paling fatal karena berhubungan dengan tindak lanjut atas umpan balik yang sudah kami peroleh. Dengan kata lain, "mau dibawa ke mana" sekolah kami setelah akreditasi ini? Nah, berikut ini praktik buruk setelah pelaksanaan akreditasi.

Pertama, menganggap semuanya selesai. Setelah akreditasi justru adalah awal untuk memperbaiki kinerja suatu sekolah dengan bermula dari umpan balik yang diberikan asesor, pengawas, komite, dan masyarakat. Namun, kami malah menganggap semuanya selesai.

Bahkan ada beberapa guru yang mengusulkan untuk plesiran. Ya, mungkin plesiran memang diperlukan untuk melepas penat sejenak. Namun tentu saja kami harus ingat bahwa banyak sekali pr yang menanti kami.

Kedua, tak adanya tindak lanjut yang jelas. Menganggap semuanya selesai berakibat tak adanya tindak lanjut yang jelas atas semua masukan dan kritik dari berbagai pihak.

Sebenarnya aku menunggu-nunggu kepala sekolah mengadakan rapat tindak lanjut atas hasil akreditasi. Namun, mungkin karena padatnya agenda sekolah, kami belum sempat membahasnya. Meski demikian, aku tak melihat adanya tanda-tanda akan dibahasnya tindak lanjut yang perlu kami lakukan.

Ketiga, kembali ke keadaan awal. Karena tak ada tindak lanjut yang jelas, alhasil kami kembali ke keadaan awal. Tak ada perubahan yang berarti pada kinerja kami secara keseluruhan. Yah, beginilah.

Baca juga:

Mengapa Hukuman Tak Selalu Membuat Siswa Kapok


Komentar

Postingan Populer