Ulasan Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat; Meninjau Ulang Nilai yang Kita Hidupi

 

Sumber gambar: Kompasiana

Saya jarang membaca buku-buku motivasi karena kebanyakan isinya sama saja; menyuruh saya untuk berpikir positif, jangan menyerah, miliki mimpi, ubah mindset, visualisasikan impian, dan lain-lain. Biasanya, anjuran-anjuran itu berdampak satu sampai dua hari saja. Namun, buku kali ini berbeda.

Sebelum saya membaca buku ini, saya kira akan menemukan kiat-kiat yang sama seperti pada buku-buku motivasi lain yang sudah saya baca. Ternyata dugaan saya salah. 

Saya malah langsung disuguhi judul yang anti-mainstream; Jangan Berusaha. Ini sedikit janggal, pikir saya. Saat buku-buku lain menyuruh pembacanya untuk jangan menyerah dan terus berusaha, buku ini justru malah menyarankan untuk jangan berusaha. 

Awalnya, saya kira judul itu hanya akal-akalan si penulis untuk menarik minat pembaca. Paling isinya sama saja, begitu pikir saya. Namun, ternyata dugaan saya lagi-lagi salah. Judul itu benar-benar sesuai dengan isinya, yaitu mengajak pembacanya untuk tidak berusaha.

Mark menuliskan kisah seorang penulis yang selalu berusaha dan selalu gagal dalam usahanya. Anehnya, ketika si penulis sudah berhenti berusaha menjadi penulis yang baik, dia malah berhasil. Anjuran Mark untuk jangan berusaha menjadi masuk akal dengan kisah yang disampaikannya. 

Apakah sampai di sini saja? Tidak. Mark kembali menyuguhkan kejutan buat saya. Dia bilang, kebahagiaan itu masalah. Saat orang lain justru mengejar kebahagiaan, Mark malah bilang kebahagiaan itu masalah. 

Kali ini, Mark menyuguhkan kisah seorang pangeran yang hidup dalam kungkungan kerajaan. Pangeran itu diselimuti dengan kemewahan. Apapun yang diinginkannya dipenuhi oleh sang ayah. Namun, pangeran merasa hampa dan kosong. Dia tidak bahagia. 

Pangeran itu kemudian mencari kebahagiaan dengan meninggalkan kerajaan lalu menjadi orang miskin. Ternyata setelah menjadi orang miskin, pangeran tetap tidak bahagia. Pangeran tersebut kemudian memetik hikmah dari apa yang dialaminya dan dia menemukan satu kesadaran bahwa hidup adalah suatu bentuk penderitaan. 

Mark juga bilang bahwa Anda ada kalanya tidak istimewa. Dia mencerca apa yang sering disampaikan motivator, bahwa semua manusia itu istimewa. Kalau semua manusia istimewa, lantas apa istimewanya Anda? Begitu kata Mark dalam bukunya. 

Kita telah lama terjerat oleh tirani keistimewaan. Menjadi “rata-rata” telah dianggap sebagai sebuah standar baru kegagalan. Karena itu, orang cenderung berusaha untuk menjadi yang paling baik. 

Mereka merasa bahwa mereka harus lebih ekstrem, lebih percaya diri, lebih sukses, lebih cantik, lebih kaya, lebih mapan, dan lebih-lebih yang lain. Ini kecenderungan untuk naik ke puncak. 

Satu lagi kecenderungan yang disebabkan oleh tirani keistimewaan adalah turun ke dasar paling bawah. Banyak orang yang gagal naik ke puncak lantas memilih strategi ini: membuktikan ke semua orang bahwa merekalah yang berada di dasar paling bawah. Merekalah yang paling menderita, merekalah yang paling tertindas, atau merekalah yang paling menjadi korban. 

Banyak orang takut menerima bahwa mereka sedang-sedang saja. Maka, paling tidak, dengan menjadi orang yang paling dikorbankan atau paling sengsara, minimal Anda dianggap istimewa dan berhak menerima perlakuan istimewa. 

Keistimewaan dan kebahagiaan hanyalah beberapa nilai dalam kehidupan manusia yang tidak layak untuk dihidupi. 

Saya beri contoh sederhana seperti ini; kamu punya seorang kekasih dan ingin membahagiakan kekasihmu. Nampaknya, tidak ada yang salah dengan keinginanmu. 

Kamu pun berusaha mewujudkannya. Kamu membelikannya baju baru, mengajaknya jalan-jalan, mengiriminya bunga, dan lain-lain. Kamu mengira dia bahagia. Nyatanya kekasihmu tetap tidak bahagia. Kamu kecewa, bingung, dan tidak tahu harus bagaimana lagi. 

Hal itu terjadi karena ukuran keberhasilanmu adalah kebahagiaan kekasihmu. Padahal kebahagiaan kekasihmu adalah satu hal yang berada di luar jangkauanmu. Kamu tak bisa menentukan sendiri ukuran kebahagiaannya. Dialah yang menentukannya. 

Pada akhirnya, ukuran keberhasilanmu ditentukan oleh orang lain. Karena ukuran keberhasilanmu ditentukan oleh orang lain maka kamu tak punya kendali terhadap keberhasilanmu sendiri. Saat sudah seperti itu, bersiaplah untuk ambyar. 

Mark tidak hanya menunjukkan nilai-nilai kehidupan yang sebaiknya tidak kita hidupi. Dia juga menunjukkan bagaimana caranya meninjau ulang nilai yang selama ini kita hidupi. 

Mark memberi tiga rambu-rambu: 1) berdasarkan pada kenyataan, 2) membangun secara sosial, dan 3) segera dapat dilakukan dan dapat dikendalikan. 

Contoh nilai yang layak dihidupi adalah kejujuran. Kejujuran dapat sepenuhnya Anda kendalikan, mencerminkan kenyataan, dan ini memberi manfaat kepada orang lain (bahkan jika terkadang terdengar tidak menyenangkan). 

Contoh nilai yang tidak layak dihidupi adalah popularitas. Jika nilai ini menjadi ukuran keberhasilan Anda, maka Anda kesulitan berpijak pada kenyataan. Anda mungkin merasa terkenal atau tidak terkenal, namun di saat yang bersamaan, pada kenyataannya, Anda tidak pernah tahu apa yang dipikirkan orang lain terhadap Anda. Dan oleh sebab itu, Anda akan selalu dihinggapi keraguan apakah sebenarnya Anda terkenal atau tidak. 

Di akhir bukunya, Mark menawarkan satu nilai yang menurutnya sangat layak kita hidupi. Dan, di luar dugaan saya, nilai yang dia tawarkan adalah mengingat kematian. 

Kematian itu sendiri berada di luar kendali kita. Namun, kita selalu punya kendali untuk mengingatkan diri kita bahwa suatu hari nanti, entah kapan, kita akan mati. 

Mark mengutip Bukowski, “Kita akan mati, semuanya. Menakutkan bukan? Alasan itu saja seharusnya membuat kita saling mencintai, tetapi tidak. Kita diteror dan digilas oleh hal-hal yang remeh dalam hidup; ditelan oleh kehampaan.” 

Mari meninjau ulang nilai yang selama ini kita hidupi. Jangan sampai kita ditelan oleh kehampaan gara-gara menghidupi nilai yang tak layak kita hidupi.

Judul Buku: Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat (Terj. The Subtle Art of Not Giving A Fuck); Penulis: Mark Manson; Penerjemah: F. Wicakso; Penerbit: Gramedia; Tahun Terbit: 2018; Cetakan 1: Februari 2018; Jumlah Halaman: 246 hlm; ISBN 978-602-452-698-6.

Baca ulasan buku lainnya di blog ini:

Hidup Kalem Bersama Filosofi Teras 

Cara Membesarkan Anak yang Tangguh dan Bahagia Seperti Orang Denmark


Komentar

Postingan Populer