Ulasan Buku Filosofi Teras: Hidup Kalem Bersama Filosofi Teras

Manusia tak bisa lepas dari masalah. Setiap hari, ada saja masalah yang menghampiri kita. Mulai dari masalah yang sepele hingga masalah berat yang kadang rasanya sulit sekali ditanggung. 

Respons orang terhadap masalah sangat beragam. Ada yang cuek, semangat, ada pula yang malah jadi frustrasi gara-gara masalah yang menimpanya. 

Saya kira, kita semua ingin jadi orang yang bisa dengan kalem menghadapi masalah yang menerpa kita. Bagaimana caranya? 

Membaca buku Filosofi Teras karya Henry Manampiring ini barangkali bisa menjadi langkah awal untuk belajar kalem menghadapi masalah. Pasalnya, buku ini membahas filsafat stoa dan bagaimana penerapannya dalam hidup sehari-hari. 

Awalnya, saya kira buku ini akan sulit dibaca karena berhubungan dengan filsafat. Eh, tapi ternyata saya salah. Bagi saya, buku ini justru enak sekali dibaca. 

Meski membahas filsafat stoa yang asalnya dari Yunani kuno, buku ini sama sekali tak membosankan. Ada contoh-contoh nyata penerapan filsafat stoa, ada wawancara dengan narasumber kece-kece, dan ada rangkuman di akhir setiap bab. 

Nah, sekarang mari kita kembali ke pokok pembahasan mengapa membaca buku Filosofi Teras ini bisa menjadi langkah awal menghadapi masalah dengan kalem. Langsung saja, ya.

Bab pertama buku ini membahas survei khawatir nasional yang melibatkan 3.634 responden. Di bab ini Henry mengupas apa saja yang menjadi kekhawatiran para responden: pelajar yang khawatir akan nilai ujian dan kelulusannya; orang tua yang khawatir masa depan anak-anaknya; pacar yang khawatir pasangannya selingkuh; wirausahawan yang khawatir akan bisnisnya; jomblo yang khawatir menjomblo seumur hidup; dan masih banyak lagi. 

Kita semua mengkhawatirkan sesuatu. Apa pun itu. Pasti ada yang kita khawatirkan. Apakah ini salah? Tidak salah. Hanya saja, pertanyaannya adalah apakah hal-hal yang kita khawatirkan sebanding dengan energi yang kita keluarkan untuk khawatir? 

Jika kita berhasil mengurangi kekhawatiran, bukankah ada energi tambahan untuk melakukan hal-hal yang bermanfaat? 

Energi yang tadinya kita pakai untuk mengkhawatirkan pasangan, energi yang tadinya kita pakai untuk mengkhawatirkan masa depan, bisa kita pakai untuk melakukan tindakan yang lebih bermakna dan berguna. Bagaimana caranya? 

Filosofi stoa mengajarkan dikotomi kendali. Ada hal-hal yang dapat kita kendalikan dan ada yang tidak.

Kekhawatiran pada hal-hal yang tidak dapat kita kendalikan adalah kekhawatiran yang mubazir alias membuang-buang energi dan waktu kita.

Contohnya: khawatir pada penilaian orang atas penampilan kita; khawatir akan cuaca buruk; khawatir akan alien menyerang bumi; khawatir akan sikap pasangan tak sesuai dengan keinginan kita. 

Filosofi stoa mengajarkan untuk membuang kekhawatiran seperti itu dan fokus pada hal-hal yang dapat kita kendalikan. 

Penilaian orang lain tidak bisa kita kendalikan. Mau seganteng apa pun kita sudah berdandan, mau secantik apa pun kamu sudah pakai maku up kalau orang lain bilang kita jelek, kita bisa apa? 

Hal-hal yang dapat kita kendalikan adalah pikiran tindakan, makna, dan persepsi. Namun, ini tentu tak mudah. Menerapkan filosofi stoa dalam hidup sehari-hari butuh latihan. 

Kalau ada orang lain memaki-maki kita, mungkin secara otomatis kita akan balas memakinya. Namun, sebenarnya jika mau kita bisa bertindak lain, misalnya dengan berlalu begitu saja tanpa menghiraukan cacian orang itu. Atau dengan kata lain, anjing menggonggong kafilah tetap berlalu. 

Dalam filosofi stoa atau filosofi teras kita diajak untuk menyelidiki pilihan-pilihan lain sebelum mengambil keputusan atau tindakan. Hal ini tentu memerlukan keterampilan berpikir dan akan sangat sulit dicapai jika kita selalu bergantung pada emosi kita. 

Bergantung pada emosi untuk mengambil keputusan tidaklah tepat sebab emosi sifatnya sementara. Itulah mengapa kita tidak dianjurkan mengambil keputusan saat sedang marah, sedih, atau sedang sangat gembira. Dengan kata lain, filosofi teras mengajak kita untuk mengandalkan nalar alih-alih mengandalkan emosi. 

Selain membahas dikotomi kendali, Henry juga membahas perihal menyiasati kekecewaan dengan cara yang bisa dibilang tidak biasa. 

Di seminar-seminar pengembangan diri, kita mungkin sering mendengar ajakan untuk berpikir positif dan optimis menghadapi hidup. Namun, sayang sekali banyak orang yang justru terjebak pada optimisme buta karena sikap berpikir positif yang keliru diterapkan. Nah, pada akhirnya orang yang seperti itu justru kecewa karena optimisme butanya sendiri. 

Henri justru mengajak sebaliknya. Dia mengajak kita untuk memikirkan skenario terburuk yang mungkin menimpa kita. 

Seringkali skenario terburuk tidak pernah terjadi, dan itu malah akan membuat kita terhindar dari kekecewaan. Di sini yang perlu digarisbawahi adalah skenario terburuk yang kita pikirkan haruslah yang berbasis pada nalar bukan perasaan. 

Kita memikirkan skenario terburuk yang mungkin terjadi agar kita punya kesiapan mental sekaligus kesiapan rencana menghadapinya. Dengan begitu, kita bisa menjadi manusia yang lebih tangguh dan lebih bahagia. 

Henry sering mengutip kata-kata para filsuf Yunani yang tercatat ribuan tahun lamanya dan kemudian mengungkapkan relevansinya dengan hidup kita di masa modern. Menggunakan contoh-contoh yang realistis, kata-kata para filsuf itu jadi lebih mudah kita serap dan kita hayati. 

Contohnya, kata-kata dari Seneca, “Seorang praktisi stoa harusnya senantiasa merasakan keceriaan dan suka cita yang mendalam, karena ia mampu menemukan kebahagiaannya sendiri, dan tidak menginginkan suka cita yang lebih daripada suka cita yang datang dari dalam (inner joys).”

Permasalahan-permasalahan yang membuat orang-orang khawatir—yang disampaikan Henry di bab pertama—juga dibahas dengan perspektif filosofi stoa. Henry membahas bagaimana menyingkirkan permasalahan-permasalahan itu dengan pertama-tama menyingkirkan kekhawatiran kita lebih dulu. 

Henry juga kerap menyuguhkan pengalaman-pengalamannya selama berusaha menerapkan filosofi stoa dalam hidupnya. Ini membuat bukunya jadi lebih mudah dibaca dan terasa lebih mengalir. 

Di bagian akhir bukunya, Henry memberi judul “Mempraktikkan Filosofi Teras” mungkin dengan maksud mengingatkan pembaca untuk tidak berhenti sampai pada pengalaman membaca saja, melainkan mempraktikkannya secara langsung dalam kehidupannya. 

Di zaman yang serba cepat dan penuh tekanan ini, membaca buku Filosofi Teras menurut saya sangat penting dilakukan. Dan, yang lebih penting lagi adalah terus memupuk kemauan untuk belajar, salah satunya saya merekomendasikan untuk belajar menerapkan filosofi teras dalam kehidupan sehari-hari.

Selamat mencoba menempuh hidup kalem bersama Filosofi Teras. 

Judul: Filsafat Teras; Filsafat Yunani-Romawi Kuno, Untuk Mental Tangguh Masa Kini; Penulis: Henry Manampiring; Penerbit: Penerbit Buku Kompas; Tahun terbit: 2019; Tebal: 320 halaman; ISBN: 978-602-412-518-9.

Baca Juga: Cara Membesarkan Anak yang Tangguh dan Bahagia Seperti Orang Denmark

Komentar

Postingan Populer