Buku Tak Pernah Menghakimi: Refleksi Seorang Guru tentang Anak yang Selalu Hadir
Aku pernah mempunyai seorang
murid yang begitu sulit diatur. Mari kita sebut saja dia A. Hampir setiap hari
ada laporan yang masuk kepadaku mengenai A—dan hampir semuanya laporan yang
negatif. Mulai dari A memecahkan botol minum temannya, membuat siswa lain
menangis, memegang pantat temannya, berbicara kasar, dan segudang perilaku
tidak menyenangkan lainnya. Dulu A bahkan sempat diisolasi. Ia belajar
sendirian di ruang kelas yang berbeda dengan satu guru khusus karena para wali
murid khawatir anak-anak mereka tertular "virus" kenakalan si A.
Sampailah
saat aku ditunjuk menjadi wali kelas A. Aku tidak tahu apakah ada sesuatu yang
bisa aku lakukan untuk mengubah kepribadian A. Aku menempatkannya duduk di
bangku paling depan agar mudah diawasi. Tapi ia tidak mengerjakan tugas yang
aku berikan. Ia tidak mendengarkan penjelasan yang aku sampaikan. Ia dianggap
beban oleh kelompok belajarnya. Setiap kali aku membagi siswa menjadi beberapa
kelompok, tak satu pun yang mau berkelompok dengannya. Ia sendirian.
Di
antara para guru, A sudah terlanjur diberi cap buruk. Meski begitu, aku tahu
mereka tidak benar-benar kehilangan harapan. Aku pun demikian. Aku masih
menyimpan secercah harapan bahwa suatu hari A bisa berubah menjadi pribadi yang
lebih baik—meski aku sendiri tidak tahu caranya.
Satu
hal yang cukup mengejutkan, justru menjadi kelebihan A: ia sangat rajin
berangkat ke sekolah. Tidak seperti anak-anak bengal lainnya yang biasanya juga
enggan datang ke sekolah, A berbeda. Ia tetap datang, apapun yang terjadi.
Meskipun mungkin tidak belajar banyak, meskipun teman-temannya lebih suka jika
ia bolos atau bahkan tidak naik kelas, A tetap hadir. Ia datang meski yang ia
dapatkan hanyalah hukuman: mencabuti rumput liar, membuang sampah, menyapu
lantai kelas, hingga berlari mengitari lapangan. Itulah hari-harinya.
A
tidak pernah melihat jadwal pelajaran. Tas sekolahnya selalu berat karena ia
membawa semua buku pelajaran sekaligus. Bisa dipastikan ia tidak belajar di
rumah. Ia bahkan sering tidak mandi sebelum berangkat sekolah. Lalu, apa yang
dilakukan orang tuanya?
Aku
ingin melakukan sesuatu untuk anak ini. Tapi aku sering teringat kata-kata
temanku: bahwa ini bukan lagi saatnya kita sebagai guru terlalu fokus pada
anak-anak yang sulit diatur atau bengal. Ada banyak anak yang punya potensi
besar. Energi kita sebaiknya dicurahkan pada mereka yang siap diarahkan.
Gagasan ini memang terdengar masuk akal, apalagi dengan beban kerja yang tidak
sedikit. Tapi setiap kali aku mencoba membenarkan pembiaranku terhadap A,
hatiku menolak. Aku termenung. Ada yang terasa salah.
Di
sekolahku tidak ada guru BK. Mungkin akan berbeda jika ada. Aku bisa
menyerahkan A kepada ahlinya dan fokus pada siswa lainnya. Tapi sekarang tidak
bisa. Isolasi juga bukan pilihan yang manusiawi. A butuh ruang untuk
bersosialisasi. Setidaknya agar ia belajar bahwa tindakannya tidak diterima
dalam pergaulan. Namun, ini pun mengkhawatirkan. Ia bisa saja tumbuh dengan
keyakinan bahwa semua orang membencinya—dan itu bisa memotivasinya untuk
menjadi benar-benar seperti yang orang pikirkan tentangnya.
Aku
selalu merasa bersalah karena tidak pernah benar-benar berusaha untuk A.
Perasaan itu akhirnya mendorongku untuk mencoba langkah kecil: mengobrol
dengannya. Sebenarnya, kesempatan untuk berbincang dengannya cukup sering ada,
terutama saat setoran hafalan Juz Amma yang aku jadwalkan dua kali seminggu
untuk tiap siswa. Tapi baru kali ini aku benar-benar memanfaatkan momen itu
untuk mengenalnya lebih jauh.
Aku
mulai mengorek kehidupannya di rumah. A tinggal bersama kakek dan neneknya.
Ayahnya berjualan buah. Ibu kandungnya sudah meninggal, dan ia memiliki ibu
tiri, meskipun aku tak tahu keberadaannya. Kakek dan neneknya sangat keras,
sering berkata kasar kepadanya, namun juga memanjakannya. Mereka selalu membela
A ketika ada laporan kenakalan, meskipun mereka tahu A memang bersalah. Dari
cerita tetanggaku yang bekerja di dekat rumah A, pola asuh semacam inilah yang
mungkin membuat A merasa tidak pernah benar-benar bersalah atas apa yang ia
lakukan.
Rupanya,
orang tua A pun menyimpan banyak masalah. A pernah bercerita bahwa ayahnya
sering membawa teman-temannya ke rumah sambil minum-minuman keras. Mereka mabuk
sampai pagi. A bahkan pernah disuruh meminum segelas minuman keras oleh
ayahnya. Saat aku minta ia menyebutkan jenis-jenis minuman itu, ia dengan
lincah menyebutkan beberapa yang bahkan aku sendiri tak mengenalinya.
Anak-anak
adalah peniru yang sangat ulung. Mereka lebih mudah meniru yang buruk daripada
yang baik. Aku pernah memanggil A ke ruang guru karena laporan bahwa ia mencuri
uang temannya untuk jajan. Ia mengakuinya, tanpa sedikit pun raut bersalah.
Ketika aku bertanya apakah ada yang pernah mengajarinya mencuri, ia menjawab
dengan tenang bahwa ia pernah melihat ayahnya mencopet di terminal. Aku tidak
tahu apakah sang ayah sengaja menunjukkan itu atau tidak. Tapi aku benar-benar
terdiam.
Aku
pernah bertemu ayah A saat ia membayar buku pelajaran anaknya. Berbeda dengan
kakek-neneknya yang selalu membela, sang ayah justru sebaliknya. Ia sadar bahwa
anaknya sering membuat masalah. Ia bahkan menyarankan guru-guru memberinya
hukuman fisik jika perlu, dan ia tak akan memperkarakan hal itu. Ia menyerahkan
A sepenuhnya kepada pihak sekolah. Tapi bukankah pendidikan bukan hanya
tanggung jawab sekolah? Bukankah rumah dan masyarakat juga punya andil besar?
Terakhir
aku lihat, sang ayah membuka usaha toko buah. Entah mengapa aku berharap dari
usaha kecil itu bisa lahir perubahan. Mungkin, dengan sibuk berjualan, ia punya
lebih sedikit waktu untuk melakukan hal-hal buruk. Mungkin.
Aku
memang tidak berhasil mengubah A menjadi anak baik. Ia masih sering berkata
kasar, membuat onar, dan sulit diatur. Tapi mungkin kini A tahu bahwa ada
seseorang yang memperhatikannya. Aku bukan temannya, bukan juga penyelamatnya.
Aku hanya mencoba hadir.
Aku
pernah mengajaknya ke perpustakaan dan membiarkannya memilih buku-buku yang
menarik baginya. Ia kini sering ke perpustakaan, meskipun kadang berisik. Aku
menegurnya kalau ia terlalu ribut. Tapi ia tak pernah jera. Ia tetap datang. Ia
tetap membaca.
Mungkin karena buku tak pernah menghakiminya, seperti manusia. Mungkin, di sana, akhirnya ia menemukan temannya.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!