Sepanjang Pengetahuan Saya tentang Bahasa: Catatan dari Buku Holy Adib
Lama sekali aku tak membaca buku. Sejak menjadi guru MTs, kesibukanku bertambah banyak sehingga waktu untuk membaca hampir hilang. Suatu hari, di tengah kejenuhan mengikuti kegiatan Latsar CPNS, aku mencari bacaan ringan untuk mengusir penat. Saat itulah aku menemukan buku berjudul Sejarah Nama Bahasa Indonesia karya Holy Adib. Judulnya langsung menarik perhatianku—sebagai guru bahasa Indonesia, aku merasa buku ini bisa memberi manfaat, sekaligus menjadi hiburan di sela rutinitas.
Kini, aku menyadari bahwa kemewahan membaca buku hiburan sudah lenyap dariku. Buku yang kupilih harus memberi manfaat nyata, bukan sekadar mengisi waktu. Karena itu, aku menganggap buku ini sebagai pilihan yang tepat.
Hal pertama yang mengejutkanku adalah nama Tabrani. Bagaimana mungkin aku, guru bahasa Indonesia, tidak mengenalnya? Ternyata, dialah pencetus nama “bahasa Indonesia.” Riwayatnya disajikan ringkas tetapi penting, menambah pemahamanku tentang asal-usul bahasa yang kuajarkan setiap hari, sekaligus memberi sedikit rasa percaya diri sebagai guru.
Selain sejarah nama, buku ini membahas beragam persoalan bahasa Indonesia: masuknya huruf dan kata dari luar, kesalahan berbahasa, hingga fenomena bahasa sehari-hari. Semua dituturkan dengan ringan, membuatku betah membaca pelan-pelan dan menikmati pemahaman baru yang ditawarkan.
Salah satu bagian favoritku adalah esai berjudul “Membedah Ungkapan Sependek Pengetahuan Saya.” Sejak lama aku merasa janggal dengan ungkapan ini, meski tak tahu alasannya. Dalam buku ini kutemukan jawabannya. Holy Adib menjelaskan bahwa ungkapan “sepanjang pengetahuan saya” tidak mengandung kesombongan, sebab kata sepanjang hanya menunjukkan ukuran yang netral—sama seperti kata tinggi saat kita menanyakan tinggi badan seseorang, meskipun ia pendek. Penjelasan sederhana ini membuatku lega sekaligus meneguhkan bahwa bahasa sering kali disalahpahami.
Keresahan lain yang ditulis Holy Adib adalah tentang pakem paragraf di media daring. Banyak media kini memenggal paragraf menjadi hanya satu-dua kalimat, padahal masih berkaitan. Menurutnya, cara ini justru memperlambat pemahaman pembaca, padahal tujuan utama berita adalah agar pembaca segera mengerti. Keresahan ini menarik perhatianku karena aku pun kerap merasa janggal membaca berita daring yang terlalu terputus-putus.
Buku ini juga menyentuh ranah sosial, misalnya dalam esai “Perihal Entri Perempuan dalam KBBI, Kamus Bukan Pendidik Moral.” Holy Adib menegaskan bahwa tugas penyusun kamus hanyalah merekam bahasa yang hidup di masyarakat. Karena itu, entri seperti perempuan sundal, perempuan jalanan, perempuan jalang bukan cerminan kebencian penyusun kamus terhadap perempuan, melainkan catatan tentang realitas bahasa. Jika kamus diatur berdasarkan norma kesopanan, ia justru gagal menjalankan fungsinya sebagai rekaman kebudayaan bangsa.
Kejelian Holy Adib dalam membaca fenomena bahasa membuatku semakin yakin bahwa berbahasa bukan sekadar “yang penting orang lain paham.” Bahasa adalah cerminan pikiran: pikiran yang ruwet melahirkan bahasa yang ruwet, sedangkan pikiran yang jernih melahirkan bahasa yang mudah dipahami.
Dari sejarah nama bahasa Indonesia hingga refleksi tentang bahasa sehari-hari, buku ini memberi banyak hal—pengetahuan baru, hiburan, sekaligus pengingat bahwa bahasa adalah wajah pikiran kita. Buku ini layak dibaca, baik oleh guru bahasa, pemerhati bahasa, maupun masyarakat umum.
Selamat membaca.
Komentar
Posting Komentar
Silakan tinggalkan komentar Anda!